MEJA makan ukuran sedang, dilengkapi tempat lauk-pauk dan beberapa kursi plastik, ditata rapi di teras rumah berukuran sekitar 4 x 4 meter. Sebuah spanduk cantik dibeber di depan teras, bertulisan Warung Amal, Makan Secukupnya, Bayar Seikhlasnya. Cukup Bayar Rp 1.500. Tentu saja, pemberitahuan itu bisa diibaratkan undangan bagi orang yang sehari-hari berlalu lalang di Jalan Darmo Kali, tempat warung tersebut berada. Utamanya kalangan tukang becak, pengamen, atau pengangguran.
Dalam sehari sekitar 70 orang datang ke warung yang buka pukul 09.00 sampai 14.30 itu. Menunya sederhana: pecel, rawon, sayur lodeh, sayur asem, sup, juga soto ayam. “Sekitar pukul 14.00 makanan sudah habis semua,” kata Ninis Churati, salah seorang di antara empat relawan di warung tersebut.
Meski sederhana, warung itu cukup dikenal di kalangan kaum duafa. Dengan uang Rp 1.500, pengunjung bisa menikmati sepiring makanan nikmat plus segelas air putih. “Sebelumnya sekali makan cuma bayar Rp 1.000. Karena harga-harga naik, sejak pertengahan Juni lalu, kami ikut naik jadi Rp 1.500,” ujar Ninis.
Tetap murah. Sebab, sesuai dengan namanya, warung tersebut didirikan memang dengan niat mulia, membantu kaum duafa (tak mampu). “Terlalu berlebihan, Mas, kalau saya disebut sebagai orang mulia. Saya hanya mengelola warung,” tutur Mustika, pengelola Warung Amal. “Merekalah (relawan warung, Red) yang lebih mulia,” lanjutnya ketika ditemui Jumat sore, 6 Agustus.
Perempuan 44 tahun itu mengungkapkan, ide untuk mendirikan warung tersebut bermula dari kakaknya, Satria Dharma, yang tinggal di Balikpapan. Pada awal tahun ini, dia berbincang dengan kakaknya. Saat itu Satria mengemukakan konsep membantu kaum duafa.
Sang kakak menyarankan perempuan kelahiran Surabaya tersebut membuka Warung Amal seperti yang dijalaninya di Balikpapan. Konsep yang dicetuskan Satria itu tentu saja bukan warung komersial yang lebih fokus mencari untung. Namun warung makan yang harga menunya terjangkau oleh kaum duafa. Karena itu, harga makanan juga harus sesuai dengan kantong mereka tanpa mengurangi kenikmatan rasa dan gizinya.
“Maka, saya pun membuka warung ini pada Februari lalu,” ucap Mustika. “Tapi, sekali lagi, saya hanya mengelola. Di lapangan saya dibantu empat ibu (Ninis dkk, Red) itu. Sedangkan bahan makanannya di-support kakak,” lanjutnya.
Tiap bulan Satria mengiriminya uang untuk belanja bahan pokok, seperti beras dan minyak. Selain dari Satria, Mustika mendapatkan bantuan dari kakaknya yang lain, Rohyati Wahyuni, dosen Universitas Airlangga (Unair).
Dia tidak hanya membantu keuangan warung, tapi juga menyosialisasikan Warung Amal tersebut lewat jejaring sosial untuk menarik para donatur. “Hasilnya nyata. Saya sering kali mendapatkan sumbangan dari beberapa pihak,” ungkap Mustika.
Dari sumbangan itulah Mustika menjalankan warungnya. Setiap hari dia tinggal belanja keperluan lauk-pauk. Setelah belanja, perempuan yang bekerja di sebuah pabrik farmasi tersebut menyerahkan semuanya kepada empat ibu yang menjalankan warungnya itu. Selain Ninis, ada Umi, Cholifah, dan Nunuk.
Mereka bekerja dengan keikhlasan tinggi, tanpa dibayar serupiah pun. “Wong beliau saja mau membantu dengan pengeluaran yang tak sedikit, tenaga dan uang, masak saya yang hanya modal tenaga tidak mau, Mas,” ujar Ninis. “Istilahnya, saya di sini untuk mencari bekal ke akhirat,” tambahnya.
Karena harga di warung itu disesuaikan dengan kantong kaum duafa, tentu saja pendapatannya lebih kecil daripada pengeluarannya. Jika semua makanan habis (sekitar 70 porsi), warung tersebut hanya mendapatkan Rp 105 ribu. “Hari ini (Jumat lalu, Red) kami hanya dapat sekitar Rp 80 ribu,” kata Ninis. Pendapatan itu tak bisa diukur dengan jumlah pengunjung. “Sebab, kadang ada yang nambah,” ucapnya.
Dalam sehari, Warung Amal menyiapkan sekitar 4-5 kg beras. Bahkan, ketika harga masih seribuan, mereka sampai menghabiskan beras 7-8 kg per hari. Karena beras sudah disuplai dari Satria, Mustika tinggal belanja sayur, ikan, daging, dan lauk-pauk lainnya. “Seperti konsep awalnya, kami memang tidak memikirkan keuntungan. Kami hanya ingin membantu mereka (kaum duafa),” tegas Mustika.
Namun, selama bulan Ramadan, kaum duafa yang tidak menjalani ibadah puasa harus mencari warung lain. “Selama bulan Ramadan kami tidak buka,” terang ibu tiga anak itu.
Di kalangan warga sekitar, keluarga Mustika dikenal suka beramal. Menurut Ninis, setiap bulan keluarga tersebut selalu menyantuni warga sekitar. Tak kurang dari seratus orang selalu mendapatkan bantuan 5 kg beras, 1 kg gula pasir, dan 1 kg minyak goreng. “Beliau (Mustika, Red) sudah begitu baik. Karena itu, kami pun berusaha membantunya dalam usaha warung ini, Mas,” ungkap Ninis. (/c9/cfu)
Oleh MIFTAKHUL FAHAM SYAH
sumber: http://jawapos.co.id !
Semoga Menghibur dan Bermanfaat,
Di Poskan Oleh : www.armhando.com .
Berita Aneh,Unik,Lucu,Hot Terbaik dan Terbaru.
[sumber;qnoyzone.blogdetik.com]