Selasa, 28 Agustus 2012

RAPBN dan Inefisiensi Belanja


RAPBN dan Inefisiensi Belanja
Ahmad Erani Yustika ;  Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif INDEF; Dewan Nasional Seknas FITRA
SINDO, 28 Agustus 2012


Pemerintah kembali membuat RAPBN 2013 berpola seperti tahun-tahun sebelumnya sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengubah tatanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

RAPBN 2013 disusun defisit lagi (1,6%),atau dengan kata lain, belanja pemerintah lebih besar ketimbang pendapatan yang diperoleh. Dengan begitu,pemerintah harus menambah utang dalam jumlah yang cukup besar untuk menutup belanja. Janji pemerintah untuk membuat anggaran berimbang pada 2014 tentu makin jauh dari realitas.

Berikutnya, subsidi dianggarkan sangat besar (Rp316 triliun) sehingga menekan alokasi anggaran untuk kepentingan lain semisal dana pengurangan kemiskinan. Sementara itu, lagi-lagi belanja pegawai tidak bisa ditekan oleh pemerintah sehingga alokasi belanja modal jauh dari kebutuhan yang diperlukan (alokasinya kurang Rp200 triliun). Lebih fatal lagi, pemerintah kembali melanggar UU karena mengalokasikan anggaran kesehatan kurang dari 5% (Rp31,2 triliun).

Subsidi dan Alokasi Sektoral

Pemerintah sebetulnya tidak perlu menyusun anggaran defisit apabila asas efisiensi penerimaan dan belanja betul-betul diperhatikan dalam penyusunan RAPBN 2013. Kami yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan telah membuat simulasi APBN Alternatif, di mana APBN tidak perlu didesain defisit untuk menghasilkan capaian yang sama, bahkan dengan kualitas yang lebih bagus.

Pertama, belanja pegawai tak seharusnya mengalami kenaikan yang sedemikian besar, dari Rp212 (2012) triliun menjadi Rp241 triliun (2013). Pemerintah mestinya berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan moratorium penerimaan pegawai (karena selama enam tahun terakhir jumlah PNS meningkat drastis) dan mengevaluasi kenaikan gaji yang selama ini dilakukan dengan perbaikan kinerja.

Kedua, subsidi energi dan nonenergi mestinya bisa ditekan menjadi sekitar Rp250 triliun (selisih Rp65 triliun dengan pemerintah) sehingga dapat dipakai untuk kepentingan lain. Soal subsidi ini perlu diperhatikan beberapa poin berikut. Kami membagi Rp250 triliun untuk subsidi energi (khususnya listrik dan BBM) sebesar Rp175 triliun dan subsidi nonenergi sebesar Rp75 triliun.

Dengan struktur subsidi seperti ini, bobot mutu subsidi menjadi lebih baik sebab tidak seluruhnya dipakai untuk sektor energi––meski kami berpendapat bahwa subsidi energi sampai saat ini masih tidak dapat dikurangi secara drastis. Poin lainnya, apakah pengurangan subsidi energi ini berimplikasi terhadap kenaikan harga minyak dan listrik?

Jawabannya tidak, asalkan dua hal berikut dilakukan pemerintah: (i) konversi gas sejak sekarang sudah disiapkan dan tidak menjadi wacana saja.Migrasi ke gas akan mengurangi secara drastis jumlah konsumsi BBM; (ii) pola yang sama juga dikerjakan untuk produksi listrik yang tidak bertumpu kepada minyak, tapi gas dan batu bara. Jika harga listrik tetap naik,hanya untuk pelanggan daya di atas 900 watt.

Pada sisi alokasi anggaran berdasarkan fungsi, terdapat pola yang sama dengan tahuntahun sebelumnya sehingga APBN menjadi kurang bertenaga. Kami lebih menekankan kepada alokasi untuk sektor pertanian dan industri (plus koperasi/UMKM, ketenagakerjaan, dan kelautan) untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dinikmati sebagian besar warga. Sektor-sektor tersebut merupakan penyerap tenaga kerja yang besar dan Indonesia memiliki potensi yang hebat untuk menjadi pemain besar dunia.

Namun, akibat keterbatasan anggaran dan komitmen yang rapuh dari pemerintah menyebabkan potensi itu tidak bisa dikapitalisasi menjadi lokomotif gerak pembangunan ekonomi nasional. Keprihatinan lainnya adalah alokasi kesehatan yang masih jauh dari amanah UU Kesehatan karena mestinya sektor ini mendapatkan porsi anggaran sekitar Rp82 triliun.Jika pemerintah bisa menafkahi pendidikan sesuai dengan UU, mengapa hal yang sama tak dikerjakan untuk kesehatan?

Optimalisasi Penerimaan

Bagaimana halnya dengan sisi pendapatan? Kami berpandangan bahwa penerimaan pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dapat ditingkatkan secara meyakinkan. Pada RAPBN 2013 ini kami merancang asumsi bahwa tax ratio bisa ditingkatkan minimal menjadi 14%, bahkan bila pemerintah serius rasio pajak dapat dikerek pada angka 15% dari PDB.

Agenda terpenting adalah peningkatan jumlah wajib pajak (WP) hingga mencapai minimal 30 juta, dengan tingkat kepatuhan rata-rata 70%. Pada akhir Maret 2012 jumlah wajib pajak mencapai 22 juta (terdiri 19,8 juta WP orang pribadi dan 2,2 juta WP badan) dengan tingkat kepatuhan 52,74%,atau hanya sekitar 9,33 juta WP dari 17,69 juta WP yang terdaftar. Jika dirinci, pada 2011 kepatuhan penyampaian SPT WP badan hanya 32,72% dari 1,5 juta WP badan terdaftar.

Sementara untuk WP perorangan, tingkat kepatuhannya lebih tinggi 54,72% dari 16,10 juta. Agenda lain ialah meminimalisasi tunggakan sengketa pajak dan mengkaji ulang kebijakan pengurangan pajak bea masuk ke Indonesia. Hal yang sama juga datang dari PNBP, di mana pada 2013 pemerintah mempunyai potensi penerimaan sebesar Rp450 triliun. Sebaliknya, pemerintah pada RAPBN 2013 hanya merancang PNBP sebesar Rp324 triliun, turun dari 2012 (APBNP 2012) yang sebesar Rp341 triliun.

Perlu disampaikan bahwa tingginya potensi PNBP yang kami rancang bukan disebabkan oleh penambahan eksplorasi SDA, tapi semata bersumber dari optimalisasi dari eksplorasi yang selama ini sudah berjalan dengan cara sebagai berikut: (a) renegosiasi Kontrak Karya PT Freeport dan pertambangan umum lainnya; (b) renegosiasi harga penjualan gas LNG Tangguh dengan China; (c) renegosiasi penguasaan blok-blok migas yang dimiliki oleh asing untuk dikelola oleh perusahaan negara; (d) efisiensi pengeluaran cost recovery; (e) optimalisasi penerimaan negara dari sektor kehutanan; dan (f) peningkatan penerimaan dari BUMN.

Sungguh potensi dari sini luar biasa besar, tapi selama ini dibiarkan luput begitu saja. Jika dilihat secara keseluruhan sebetulnya besaran belanja RAPBN 2013 pemerintah dengan APBN alternatif yang kami susun tidak banyak berbeda. Pemerintah membuat belanja sebesar Rp1.657 triliun, sedangkan kami Rp1.650 triliun. Bedanya, pemerintah menghitung pendapatan negara hanya Rp1.507 triliun, sedangkan kami jumlahnya persis sama dengan belanjanya yakni Rp1.650.

Pendapatan negara itu murni bersumber dari pajak (Rp1.200 triliun) dan PNBP (Rp450 triliun). Sebaliknya, pemerintah harus menutup selisih belanja dan pendapatan yang sebesar sekitar Rp150 triliun dengan utang. Di luar itu, kami betul-betul mematuhi amanah UU dengan memberi porsi sektor kesehatan sebesar Rp82,5 triliun dan alokasi sektoral sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh perekonomian seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan.

Dengan begitu, alokasi anggaran untuk sektor pertanian, perindustrian, UMKM/koperasi, ketenagakerjaan, dan kelautan cukup besar. Silakan publik menilai mana di antara dua konsep ini yang laik untuk dijalankan!
◄ Newer Post Older Post ►