Rabu, 29 Agustus 2012

Nasionalisme Kita


Nasionalisme Kita
Sri-Edi Swasono ;  Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS, 29 Agustus 2012


Tanggal 15 Februari 2005, Kwik Kian Gie dan saya menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan keluhan. Kami diterima Presiden dengan penuh keramahan. Kami menyampaikan kegemasan tentang seorang doktor ekonomi di sekitar presiden yang bicara penuh absurditas, ”… apa itu nasionalisme, kuno itu, masukin saja ke saku....”

Presiden SBY kelihatan gusar mendengarnya dan berpesan, ”… bilang sama dia, saya tidak suka dia bicara demikian....” Sampai kini pesan presiden itu tidak pernah saya sampaikan kepadanya.

Ibarat disambar halilintar, doktor ekonomi yang saya maksudkan di atas baru-baru ini memperoleh jabatan strategis di pemerintahan, justru di tempat yang paling rawan terhadap nasionalisme ekonomi. Semboyan-semboyan nasionalisme dan anti-neoliberalisme predatorik justru marak pada Juni lalu, di mana kerinduan terhadap Pancasila sepanjang bulan itu memenuhi koran-koran kita.

Mengapa doktor ekonomi ini tidak malu dan tidak mau tahu pula bahwa nasionalisme tidak pernah menjadi kuno atau usang. Paman Ho (Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam) menegaskan, ”… kami pasti akan menang perang karena kami punya senjata rahasia. Senjata rahasia itu adalah nasionalisme....” Kemenangan Vietnam melawan dua musuh besar bukan karena dimilikinya senjata pemusnah massal (WMD), melainkan karena teguhnya nasionalisme.

Tentu benar pula bila seorang Guru Besar Universitas Harvard Leah Greenfeld (2001) menyatakan, ”… ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan suatu perekonomian modern tidak berlangsung begitu saja secara berkelanjutan, pertumbuhan akan berkelanjutan justru jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme....” Demikian pula tokoh politik antarbangsa Ian Lustic (2002) menegaskan, ”… nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingnya di dunia masa kini....”

Pandangan-pandangan tentang nasionalisme di atas berbeda dengan buku-buku yang judul-judulnya tendensius, yang melumpuhkan pola pikir ke arah ketertundukan negara-negara bekas jajahan, yang kebetulan elite dan penduduknya masih mengidap servilitas keinlanderan, seperti buku-buku dengan judul The End of Nation-States, The Borderless-World dan The End of History. Buku-buku itu merupakan bentuk perang ideologi (Susan George, 2002) terhadap negara-negara bekas jajahan.

Pemikiran spekulatif tentang the end of history (tentang berakhirnya sosialisme dan hanya ada kapitalisme sebagai ideologi tunggal) telah diragukan pula oleh Samuel Huntington (1996).

Manusia sebagai Saudara

Tembok Berlin diruntuhkan pada ”eleven-nine” (alias 9 November) 1989. Orang sempat berpikir sosialisme berakhir. Ternyata sebulan setelah itu justru didengungkan ”kebersamaan antarmanusia” bahwa sesama manusia adalah saudara, digemakan melalui Beethoven ”Symphony No 9”, pada 25 Desember 1989 di Berlin, dimainkan oleh gabungan orkes-orkes terbesar di dunia dengan konduktor terkemuka Leonard Bernstein dari New York.

Pada fourth movement simfoni terkenal ini dikumandangkan ”Freiheit” (kebebasan) dan kredo ”alle Menschen werden Brüder”— all men are brothers—penuh solidaritas, saling bekerja sama tolong-menolong. Apakah Eropa Barat akan ”mengapitaliskan” Eropa Timur atau Eropa Timur akan ”menyosialiskan” Eropa Barat? Presiden Perancis Francois Hollande dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan bisa menjawabnya. Keduanya sosialis sekaligus nasionalis.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbicara serius dengan PM Xanana Gusmao di atas Bukit Lahane, Timor Leste. Ia minta pendapat dari saya tentang membangun Timor Leste. Saya berkelakar, ”Saya buatkan GBHN untuk Timor Leste, syaratnya Anda teguh bertekad menjadi tuan di negeri Anda sendiri, to be the Master in his own home land.”
Jawabnya, ”Tentu, saya memang tidak mau sekadar menjadi master of ceremony, tetapi menjadi master betulan.” Maksudnya menjadi MC hanyalah sekadar menerima tamu-tamu dengan ramah (baca: servil) yang menyila-nyilakan tamu-tamu mengambili dan memilih apa saja, termasuk menggasak cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, berikut bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.

Mengapa orang Indonesia tak malu nihil nasionalisme, malah memelihara servilisme sebagai hamba inlander, istilah Daoed Joesoef (Kompas, 20/11/2011) ”tidak menjadi master of our own destiny”.

Tanpa nasionalisme, ekonom hanya akan bicara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi, tanpa peduli siapa yang menikmati pertumbuhan. Ekonom macam ini pasti juga tidak peduli akan ketimpangan antara GNP (yang citizen-based) dan GDP (yang territorial-based), lalu lalai membedakan antara ”pembangunan Indonesia” dan sekadar ”pembangunan di Indonesia”. Tidak peduli pula bahwa pembangunan modern menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan, bahwa waralaba-waralaba asing membelokkan dan menyedot daya-beli rakyat ke makanan asing, dana untuk jajanan pasar dan kuliner lokal-tradisional dirampok.

Pemiskinan Rakyat

Mengapa Bandara Soekarno-Hatta tidak menampilkan keberadaan dan kemegahan Indonesia, mengubur Indonesia’s presence? Di bandara dengan nama besar ini hanya sedikit restoran asli Indonesia, lainnya resto dan toko serba asing, bagian dari proses pemiskinan rakyat.

Mengapa ekonom kita tidak malu pertambangan tembaga, emas, tambang-tambang lain, aset perbankan, pasar modal, telekomunikasi, bahkan Aqua dan perkebunan sawit dikuasai asing?

Orang Barat mengatakan, bangsa kita adalah het sachtste volk ter aarde, een koelie onder de volkeren—bangsa terlembek di bumi, kulinya bangsa-bangsa lain. Barangkali sebagaimana dikutip Kwik Kian Gie, tahun 1928 Bung Hatta mengatakan di depan Pengadilan Den Haag, ”Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada jadi embel-embel bangsa lain.”

Begitulah maka pembangunan nasional adalah pembangunan budaya, mencerdaskan kehidupan adalah konsepsi budaya, bukan konsepsi genetika, yang bukan sekadar mencerdaskan otak. Kita lupa membudayakan nasionalisme, gagal membudayakan pengutamaan kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global sebagai bangsa beradab.
◄ Newer Post Older Post ►