Komunitas Muslim pertama yang tiba di Brazil berasal dari Afrika yang dalam istilah negara modern disebut Benin, Dahumi dan Swahili. Mereka dikirim sebagai budak lintas-benua pada abad 17, dan bekerja untuk perkebunan gula, namun dalam perkembangannya mereka bekerja di tambang emas dan permata.
Pedagang budak-budak itu berasal dari Spanyol dan Portugis. Mereka memahami betul budaya dan cara berfikir kebanyakan Muslim karena pernah menjajah selama 800 tahun di Semenanjung Iberia. Portugis bisa menghormati Islam, tentu saja memengaruhi cara pandang Muslim Afrika terhadap Portugis sehingga bisa lebih menerima negara Eropa itu ketimbang kawasan lain dari luar Afrika, tulis Islam Online.
Latar belakang masyarakat Brazil sangat erat dengan Afrika, yang tentu saja ada unsur Muslim di dalamnya. Buku Biografi seorang budak Muslim Afrika bernama Mahommad Gardo Baquaqua menyebutkan asal-muasalnya dari Benin, dan terhubung dengan jaringan pedangan Wangara, kakeknya diduga seorang keturunan Arab.
Namun, keberadaan Muslim di Barzil menyebar di sejumlah kawasan Salvador, mulai dari Rio de Jeneiro hingga ke kota-kota urban lainnya, bahkan sampai ke penjuru desa di Brazil.
Hal yang mengejutkan adalah umat Islam di Brazil kemudian menjadi terkenal di kalangan masyarakat Brazil. Komunitas Muslim banyak dipuji setelah adanya pemberontakan di Kota Savador tahun 1835. Revolusi itu bermula di Kota Bahia yang menjadi ibu kota pelabuhan Brazil yang dikenal dengan ekspor gula.
“Revolusi itu berujung pada pemberontakan warga Afrika yang masih terus hidup dalam kesulitan,” kata Professor Michael Gomez.
Ada sekitar 500 pemberontak Afrika yang terlibat dan itu banyak tercatat sebagai sumbangsih perjuangan awal Muslim melawan perbudakan. Para budak Muslim itu memimpin sejumlah pemberontakan penting untuk melawan perbudakan. Salah satunya adalah Pemberontakan MalĂȘ pada tahun 1835, sebuah pergerakan para budak di kawasan perkotaan di Amerika yang sejak lama mengalami penindasan.
Mereka memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial-yang juga diajarkan dalam Islam-sebuah pesan yang sampai saat ini masih disuarakan
“Brazil mempunyai kultur campuran, terdiri dari kebudayaan yang berbeda. Campuran ini membuat Brazil sangat mudah beradaptasi dan toleran,” imbuhnya.
kalangan warga kulit hitam miskin dan suku Indian Amerika yang termarjinalkan.
Sejarah itu menjadi latar belakang mengapa banyak orang-orang Brazil keturunan Afrika yang jumlahnya hampir setengah dari seluruh penduduk Brazil, memilih masuk Islam. Fenomena ini, kata Daniel Farah, terutama banyak ditemui di kawasan industri di pinggiran Kota Sao Bernardo.
Berkah 11 September
SAAT ini, semakin banyak orang yang masuk Islam di Rio De Janeiro. Kondisi ini telah mengubah wajah negara Katolik terbesar di dunia.
“Saya menemukan banyak hal yang saya cari ada di dalam Islam,” kata Omar bin Ibrahim Dawud Israfil, salah seorang muallaf yang dulunya adalah pastor Katolik di sebuah gereja lokal. Omar menyertai istrinya, Faria Alessandra, yang setelah hijrah berganti nama menjadi Fatimah, saat bersiap berangkat ke Masjid da Luz, masjid pertama Rio.
“Di seminari, kami belajar bahwa Islam adalah salah satu agama monoteistik. Tidak ada prasangka terhadap agama ini,” kata Omar berdiri bersebelahan dengan istrinya.
Adapun istrinya, membuat keputusan mengejutkan, mengenakan jilbab di kota dimana orang memakai bikini di sekitar pantai merupakan pemandangan normal, keputusan ini tentu saja mengejutkan banyak orang. “Pada awalnya, ibu saya malu saat pergi ke luar dengan saya,” katanya mengakui.
Merasa bangga agama barunya, Fatimah mengatakan keimanannya memperoleh tempat yang pas di negara multi-kultural. “Saya mengenakan jilbab untuk menunjukkan bahwa adalah saya Muslim yang menyadari bahwa saya bagian dari minoritas,” tambahnya.
“Di Rio, ada sekitar 500 keluarga Muslim, 85 persennya adalah pemeluk Islam Brazil yang tidak mempunyai darah Arab,” kata Sami Isbelle, Jubir the Beneficent Muslim Society (SBMRJ) kepada AFP. Namun di kawasan selatan negara itu di Sao Paolo, mayoritas Muslim berasal dari keturunan Arab.
Menurut Mohammed Al Bukai, Muslim Brazil kelahiran Suriah yang mengelola sebuah masjid di Bras, gelombang kedatangan imigran Arab tiba di kota itu pada era tahun 1920-an. Karena lokasinya yang berada tepat di tengah wilayah Brazil, komunitas Muslim di Bras menawarkan berbagai kelas dan menyelenggarakan berbagai seminar bagi mereka yang tertarik dengan Islam.
“Serangan 11 September menjadi kunci munculnya rasa keingintahuan banyak orang tentang Islam, sekarang 15 persen komunitas Muslim kami bukan keturunan Arab tapi orang Brazil asli,” ujar Al Bukai.
Pakar Islam dari Universitas Sao Paulo, Paulo Daniel Farah mengatakan bahwa agama Islam tumbuh hampir di seluruh negara Amerika Latin, khususnya di Brazil sejak budak-budak yang beragama Islam dari Afrika dibawa ke Brazil pada abad ke-19.
Di Brazil sejarah itu baru boleh mulai dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada tahun 2003 berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pemerintah Brazil.
Sensus penduduk Brazil tidak menghitung jumlah Muslim, sensus hanya menghitung penganut Katolik, Evangelis, Yahudi, Spiritualis dan penganut agama Afro-Brazil. “Muslim dikategorikan sebagai lain-lain, seperti halnya penganut Budda,” kata peneliti Paulo Pinto dari Fuminense Federal University.
Dia memperkirakan jumlah Muslim di Brazil mencapai satu juta jiwa. Dengan tidak ada jumlah yang resmi, indikator terbaik dapat dilihat dari pertumbuhan peningkatan pesat dalam jumlah masjid. Sekarang ada 127 masjid, empat kali lebih banyak dari tahun 2000.
Pinto mengakui, setelah peristiwa 11/9, banyak orang mencari tahu tentang apa itu Islam, “Ada peningkatan ketertarikan pada Islam, dan banyak orang memilih untuk memeluk agama Islam,” imbuhnya.
Islam di pandang sebagai agama yang merepresentasikan perlawanan. Bahkan ada sebuah telenovela berjudul “The Clone” diluncurkan hanya tiga pekan setelah peristiwa kelam itu, sinetron itu secara khusus mengangkat cerita tentang Islam, sehingga mempengaruhi persepsi orang tentang Islam. Sinetron itu mengangkat kisah seorang pahlawan Muslim yang baik hati.
“Di Brazil ada semacam tendensi soal budayanya, sebagai budaya yang liberal dan sensual, dan itu semua bertentangan dengan Islam, padahal ada banyak aturan yang sifatnya konservatif sekali, khususnya pada aturan moral dan seksualnya. Itulah mengapa, kalangan Evangelis mencatat sukses dalam menjalankan penyebaran agamanya di sini.”
[sumber;beta.muslimlife.com]