Rabu, 29 Agustus 2012

Antara Korupsi (Kejahatan) dan Koruptor (Pelaku)

Antara Korupsi (Kejahatan) dan Koruptor (Pelaku)
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
SINDO, 29 Agustus 2012


Pertukaran kata antara Profesor Yusril Ihza Mahendra dan Profesor Denny Indrayana di dunia maya, belakangan ini telah mengundang perhatian publik sehingga menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang kebenaran kata-kata kedua profesor tersebut. 
Sudah tentu karena keduanya adalah guru besar ilmu hukum, maka sepatutnya pula tukar kata bersendikan pada asas-asas hukum dan norma hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia. Pendapat Profesor Denny Indrayana bahwa pengacara koruptor juga adalah koruptor itu sendiri; berbalas kata Profesor Yusril bahwa logikanya jika pengacara pemerkosa, adalah juga pemerkosa itu sendiri, sungguh memprihatinkan karena terjebak dalam nalar logika yang dapat menyesatkan generasi muda kita.

Sesungguhnya pertentangan sengit antara kedua profesor tersebut memasuki ranah hukum pidana dan mutatis mutandiswewenang akademik para ahli hukum pidana, karena pokok perdebatan menukik pada apakah kejahatan (korupsi) dan siapa pelakunya (koruptor).

Pada titik pokok pembicaraan ini perlu diketahui bahwa sejak tahun 1830, Cesare Lombroso (ahli antropologi kriminal Italia), dikenal dengan bukunya, L’Uomo Delinquente (Manusia Penjahat), telah mengemukakan pendapat yang terkenal, “Manusia adalah penjahat sejak lahir”; “laki-laki dilahirkan sebagai penjudi dan perempuan dilahirkan sebagai pelacur”. Pendapat Lombroso kemudian sirna karena telah ditentang oleh Lacassagne (ahli sosiologi Prancis), bahwa manusia tidak pernah dilahirkan sebagai penjahat namun karena pengaruh lingkungan masyarakatnya.

Masyarakat yang melahirkan penjahat. Dalam bidang hukum pidana sekalipun, tidak ada hubungan pengaruh langsung dari kedua ahli antropologi dan ahli sosiologi tersebut. Almarhum Profesor Moelyatno (Guru Besar Hukum Pidana UGM) telah membedakan antara sisi pembuatnya (pelaku) dan perbuatannya (kejahatan). Perbuatan pelaku adalah dengan membuktikan ada tidaknya unsur tindak pidana pada perbuatannya; dan pelakunya sendiri dengan membuktikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas kesalahannya.

Hukum pidana terhadap pelaku masih memberikancelahuntukmenghapus hukumannya, jika pelaku (pembuat) terbukti tidak waras atau di bawah umur atau ada alasan pemaaf lain yang dibenarkan menurut KUHP. Bertolak dari perkembangan hukum pidana mengenai masalah perbuatan (korupsi) dan pelakunya (koruptor), maka diasumsikan bahwa tidak semua perbuatan sertamerta pelakunya dianggap bertanggung jawab dan dapat dihukum, dan tidak semua pelaku kejahatan (koruptor) sekalipun unsur kesalahan telah terbukti mutatis mutandis dijatuhi hukuman jika ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang dapat menghilangkan unsur melawan hukum dari perbuatannya.

Bertolak dari perkembangan doktrin hukum pidana di atas, sesungguhnya pernyataan bahwa penasihat koruptor adalah koruptor itu sendiri, dengan alasan bahwa penasihat itu memperoleh honor dari uang hasil korupsi. Itu tampak logis, tetapi tidak benar karena sama saja dengan mengatakan: karena gorila berjalan di atas dua kaki dan juga manusia, maka manusia sama dengan binatang gorila.

Hukum, karena tujuannya jelas, adalah menemukan kebenaran dalam bingkai kepastian hukum, dan dalam keadilan tidak boleh ada perlakuan yang berbeda-beda (diskriminatif) terhadap siapa saja yang telah melakukan kejahatan dan di mereka muka hukum harus diperlakukan sama. Atas dasar tujuan hukum tersebut, seyogianya setiap mereka yang mengaku ahli hukum baik teoretisi dan praktisi memahami betul makna di balik hukum dan tujuan hukum itu.

Mereka harus bijak melihat, mengamati, dan memandang serta berpendapat terhadap situasi lingkungan masyarakat di mana mereka berada. Karena tanpa masyarakat itu, para ahli hukum itu tidak relevan lagi eksistensinya baik di hadapan mereka yang berpunya, tidak berpunya termasuk sekalipun penjahat. Tugas para ahli hukum adalah menciptakan kedamaian dalam pergaulan manusia, bukan sebaliknya, karena hukum tidak memiliki makna apa pun tanpa perdamaian.

Teori yang melandasi tujuan perdamaian dalam hukum adalah teori konsensus dan teori keadilan restoratif, yang kini berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Sebaliknya, aliran hukum yang bertujuan menciptakan konflik dalam masyarakat telah dipengaruhi oleh teori konflik dan teori keadilan retributif, yang telah berkembang dan mengalami masa keemasan pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18.

Dalam konteks pertukaran kata ahli hukum di atas, apalagi salah satunya pejabat publik, tentu sepatutnya kita berpijak pada landasan Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa ini. Selain itu, sejalan dengan perkembangan doktrin hukum pidana serta perkembangan teori hukum dan teori keadilan dalam hukum pidana. Sepatutnya kita cukup merasa prihatin melihat perkembangan perjuangan bangsa dan negara ini dalam mencapai cita kesejahteraan sosial, yang dilandaskan pada sila pertama, kedua, dan ketiga.

Apakah kita telah mengalami kemajuan signifikan atau sebaliknya? Atau bahkan menuju peradaban bangsa yang lebih maju dari sudut Pancasila sebagai filsafat bangsa sejak 1945 atau sebaliknya. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

◄ Newer Post Older Post ►