Minggu, 10 Maret 2013

Mengenal Konsep-Konsep Imamah Dalam Syiah (2)

Mari Mengenal Konsep-Konsep Imamah Dalam Syiah

Artikel Sebelumnya : Mengenal Konsep Imamah Dalam Syiah (part 1)

Sebelumnya kita sudah membahas bagaimana kaum Syi’ah berdebat sepanjang masa mengenai pewarisan imaamah. Kunci permasalahannya terletak pada pendapat mereka sendiri yang memasukkan masalah kepemimpinan ini bukan ke dalam kategori ikhtilaf  yang bisa diselesaikan dengan syura, melainkan pada kategori ‘aqidah yang sifatnya ‘take it or leave it’; kalau tidak sependapat, maka kafirlah.
 
Atas dasar itu, maka Abu Bakar ra, ‘Umar ibn al-Khattab ra, ‘Utsman ibn al-Affan dan semua sahabat yang mendukungnya (atau membiarkan mereka terpilih) mereka kafirkan pula. Betapa besar kebencian kaum Syi’ah kepada mereka, sehingga kepada nama-namanya pun mereka benci. Teramat jarang sekali kita jumpai nama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aisyah pada anak-anak yang lahir dari orang tua yang beragama Syi’ah. Ini adalah fakta yang cukup ironis, mengingat para sahabat Rasulullah saw dahulu saling menikahkan keturunannya dan saling mengambil nama sebagai bukti kecintaannya. Itulah sebabnya di antara anak-anak ‘Ali ra ada yang bernama Abu Bakar, ‘Utsman dan ‘Abbas (ketiganya syahid dalam peristiwa Karbala). Hasan ra pun memiliki anak bernama Abu Bakar (syahid di Karbala), ‘Umar dan Zaid (selamat dari pembunuhan di Karbala). Ja’far ash-Shadiq, yang digadang-gadang sebagai salah satu pewaris kepemimpinan, merupakan keturunan Abu Bakar ra dari pihak ibunya.
Konsep Imamah Dalam Syiah

Pada awalnya, mereka berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya berada di tangan ‘Ali ra. Akan tetapi, ternyata umur kepemimpinan ‘Ali ra tidaklah panjang. Oleh karena itu, ‘berdasarkan wahyu’, mereka tetapkan bahwa kepemimpinan diwariskan melalui garis keturunan ahlul bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, ketetapan ini pun langsung terlihat inkonsisten ketika kaum Syi’ah mengabaikan ‘Aisyah ra dan istri-istri Nabi saw lainnya, demikian juga keluarga Nabi saw yang lain, misalnya dari jalur ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib ra.

Dengan demikian, dukungan kepada ahlul bait lebih tepat untuk disebut sebagai dukungan terhadap ‘anak-cucu keturunan ‘Ali ra’. Sampai di sini pun teori imaamah ala Syi’ah masih saja menemukan batu sandungan. Sebab, anak ‘Ali ra bukan hanya satu. Bagaimana memilih satu di antara mereka untuk menjadi pemimpin? Apakah satu atau sebagian dilebihkan dari sebagian yang lain? Andaikan Hasan ra dan Husein ra diutamakan dari yang lain (karena Nabi saw pernah memuji mereka), bagaimana menentukan siapa yang lebih berhak? Dan sepeninggal Hasan ra dan Husein ra, apakah kepemimpinan berlanjut ke saudara mereka yang lain, atau langsung ke keturunannya? Keturunan Hasan ra atau Husein ra? Ini adalah masalah-masalah pelik yang dihadapi oleh Syi’ah, yang seharusnya tak perlu mereka hadapi, jika saja masalah kepemimpinan tidak dikategorikan ke dalam masalah ‘aqidah.

Masalah dalam hal imaamah masih terus berlanjut. Sebab, orang-orang yang mereka anggap sebagai pewaris kepemimpinan justru tidak merasa mewarisinya. Hasan ra, misalnya, setelah terlanjur dianggap sebagai pewaris ‘Ali ra, kemudian justru berbai’at pada Mu’awwiyah ra. Akibatnya – lagi-lagi karena masalah imaamah ini dianggap masalah ‘aqidah – sebagian dari pendukungnya malah berbalik mengkafirkannya. Hal yang demikian terlihat pula pada sikap ‘Ali Zainal ‘Abidin yang menolak provokasi kaum Syi’ah untuk mencela (apalagi mengkafirkan) para sahabat Nabi saw (lihat artikel sebelumnya). Bagaimana pun, hingga detik ini Syi’ah masih saja memasukkan nama Hasan ra dan ‘Ali Zainal ‘Abidin dalam nama imam mereka.

Di antara sekte-sekte lainnya, Sekte Syi’ah Istna Asyariyah atau Syi’ah Dua Belas adalah yang terbesar kini. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw telah menetapkan dua belas orang Imam sebagai penerus risalahnya. Dimulai dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, kemudian berlanjut ke Hasan bin ‘Ali ra (putra ‘Ali ra) dan Husein bin ‘Ali ra (saudara kandung Hasan ra). Dari sini, kepemimpinan berlanjut ke ‘Ali Zainal ‘Abidin (putra Husein ra), Muhammad al-Baqir (putra ‘Ali Zainal ‘Abidin), Ja’far ash-Shadiq (putra Muhammad al-Baqir), Musa al-Kazhim (putra Ja’far ash-Shadiq), ‘Ali ar-Ridha (putra Musa al-Kazhim), Muhammad al-Jawwad (putra ‘Ali ar-Ridha), ‘Ali al-Hadi (putra Muhammad al-Jawwad), Hasan al-Askari (putra ‘Ali al-Hadi), dan terakhir kepada Muhammad al-Muntazhar.

Nama yang terakhir, yaitu Muhammad al-Muntazhar, diyakini sebagai Imam Mahdi yang diyakini belum wafat hingga detik ini. Sesudahnya, tak ada imam-imam lagi. Akan tetapi, justru Imam Mahdi yang satu inilah yang menimbulkan sebuah masalah besar bagi Syi’ah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak ada.
Muhammad al-Muntazhar adalah sosok yang seratus persen hanya spekulasi. Semua catatan yang diyakini kebenarannya menunjukkan bahwa Hasan al-Askari wafat tanpa meninggalkan anak lelaki seorang pun. Padahal, kelompok Syi’ah Itsna Asyariyah sudah terlanjur membuat doktrin bahwa dunia tidak boleh absen dari kelahiran seorang Imam. Oleh karena itu, mereka pun mengeluarkan pernyataan bahwa kelahiran Imam Mahdi (yaitu Muhammad al-Muntazhar tadi) memang dirahasiakan oleh Allah SWT.

Dari sini, muncullah tiga golongan yang bersikeras bahwa Hasan al-Askari telah meninggalkan keturunan pewaris imaamah. Golongan pertama berpendapat bahwa Hasan al-Askari telah dikaruniai seorang putra dua tahun sebelum wafatnya. Golongan kedua berpendapat bahwa putra Hasan al-Askari dilahirkan delapan bulan setelah Hasan al-Askari wafat. Adapun golongan ketiga berpendapat bahwa al-Askari telah meninggalkan pengganti, tapi siapa pun tak boleh membahasnya, tak boleh menanyakan tempat dan namanya. Golongan ketiga inilah yang ternyata paling banyak pendukungnya.
Sesuai keyakinan kaum Syi’ah, Imam yang kedua belas, yang tak lain adalah Imam Mahdi tersebut hingga kini masih hidup namun ia tak dapat dijangkau oleh umum. Pada akhir zaman kelak, ia akan muncul kembali. Dengan kata lain, Imam Mahdi al-Muntazhar kini diyakini ‘sedang gaib’. Selama masa kegaibannya itu, umat dipimpin oleh seorang fuqaha atau mujtahid yang bergelar na’ib al-imam(wakil imam). Ayatullah Khomeini, misalnya, adalah salah seorang na’ib al-imam tersebut. Pada perkembangannya, pelantikan wakil-wakil imam ini pun melahirkan pengkultusan berikutnya.

Tulisan-tulisan sebelumnya telah membahas beberapa konsekuensi penting dari konsep imaamah yang diyakini oleh kalangan Syi’ah. Meski demikian, konsekuensi-konsekuensi yang telah dibahas masih berkisar dalam masalah sosial-politik. Misalnya, karena imaamah dianggap sebagai masalah ‘aqidah dan bukan ikhtilaf, maka Syi’ah selamanya takkan mau bersatu dengan Ahlu Sunnah, dan mereka pun tidak henti-hentinya berdebat tentang siapa yang mewarisi kepemimpinan imam. Oleh karena itu, jelaslah kiranya bahwa yang terlebih dahulu melepaskan diri dari umat Muslim yang satu adalah Syi’ah, dan justru karena itulah mereka menyebut dirinya Syi’ah (lihat artikel-artikel sebelumnya untuk memahami makna kata “syi’ah” secara bahasa). Jika mereka tidak hendak memisahkan diri, tentu mereka tak perlu membuat kelompok baru dengan nama tersendiri.
 Selain menghasilkan hambatan-hambatan psikologis untuk bersatu dengan umat Muslim lainnya secara sosio-politis, konsep imaamah juga menghasilkan konsekuensi-konsekuensi serius lainnya. Oleh karena masalah kepemimpinan umat ini dipandang sebagai urusan ‘aqidah, maka sudah barang tentu ia pun menghasilkan konsekuensi-konsekuensi dalam hal ‘aqidah. Perbedaan-perbedaan ‘aqidah inilah yang membuat kita tidak mungkin menyatakan Syi’ah sebagai sebuah madzhab belaka, sebab madzhab-madzhab terbiasa berbeda pendapat, namun tidak dalam hal ‘aqidah. Mereka bisa berdebat dalam menimbang hukum fiqih, namun tidak ada satu pun madzhab dalam Islam yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi saw itu murtad. Seseorang yang mengkafirkan saudaranya – padahal saudaranya itu tidaklah kafir – maka predikat kekafiran itu akan berbalik kepada dirinya. Bagaimana jika para sahabat Nabi saw dinyatakan kafir? Bisakah pelakunya dianggap sebagai penganut madzhab yang berbeda?

Buku karya para santri dari Pesantren Sidogiri patut mendapat apresiasi dalam menjelaskan persoalan-persoalan ‘aqidah dalam keyakinan Syi’ah ini. Buku yang diberi judul Mungkikah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? ini sejatinya merupakan jawaban atas buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? karya Quraish Shihab. Meski demikian, buku ini cukup mendetil dalam menjelaskan aspek-aspek ‘aqidah dalam ajaran Syi’ah demi memberikan landasan yang cukup untuk bantahan mereka.
Ada enam ‘aqidah pokok dalam ajaran Syi’ah yang dijelaskan di dalam buku tersebut, yaitu imaamah, ‘ishmat al-imam, mahdiyyah, raj’ah, badaa’ dan taqiyyah. Imaamah adalah tema umum yang paling mendasar, sedangkan taqiyyah akan dibahas secara terpisah karena merupakan permasalahan yang mewarnai perdebatan Sunnah-Syi’ah kontemporer.

Adapun keempat ajaran ‘aqidah lainnya akan dijelaskan di sini.

‘Ishmat al-Imam
Kaum Syi’ah percaya bahwa kepemimpinan umat diwariskan secara turun-temurun berdasarkan dalil-dalil dari Tuhan. Artinya, kepemimpinan itu sendiri adalah wewenang yang diberikan secara langsung oleh Tuhan dan tidak bisa diganggu-gugat oleh manusia dengan alasan apa pun. Kita dapat melihat bahwa keterpilihan imam ini tidak berbeda dengan keterpilihan para Nabi dan Rasul yang juga merupakan hak prerogatif Allah SWT. Nah, karena para imam itu dipilih langsung oleh Allah sebagaimana Allah telah memilih para Nabi dan Rasul, maka tidaklah mengherankan jika kemudian kaum Syi’ah pun percaya bahwa Allah telah menjaga para imam mereka dari dosa dan kesalahan sebagaimana Allah juga menjaga para Nabi dan Rasul dari dosa dan kesalahan. Doktrin tentang ke-ma’shum-an para imam ini dikenal dengan sebutan Ishmat al-Imam.
Al-Majlisi, seorang tokoh ulama Syi’ah, misalnya, pernah mengemukakan keyakinannya terhadap ke-ma’shum-an para imam sebagai berikut:
Perlu diketahui bahwa Syi’ah Imamiyah telah bersepakat bahwa para Imam adalah terjaga dari segala dosa, baik yang kecil maupun yang besar. Karena itu, mereka tidak akan pernah mengerjakan dosa sama sekali, baik sengaja atau lupa, juga tidak mengerjakan kekeliruan disebabkan salah persepsi, dan bukan karena dibuat lupa oleh Allah.
Demikian juga Muhamad Ridha al-Muzhhar, salah seorang tokoh ulama Syi’ah lainnya, memberi penegasan yang lebih konkret tentang posisi imam dalam keyakinan Syi’ah:
Kami meyakini bahwa status Imam sama dengan Nabi, harus ma’shum (terjaga) dari segala kejelekan dan kekotoran, baik yang tampak maupun yang tidak, mulai dari masa kanak-kanak sampai meninggal, disengaja atau lupa, begitu pula ia wajib terjaga dari kelengahan, keliru dan lupa.
Dengan doktrin Ishmat al-Imam, sebenarnya Syi’ah telah mengatakan bahwa para imam itu sudah sejajar dengan para Nabi. Tentu saja, doktrin semacam ini tidak dapat diterima oleh kalangan Muslim, sebab Nabi Muhammad saw sendiri sudah menyatakan bahwa tidak akan ada nabi lagi setelah dirinya (“laa nabiyya ba’diy”), sedangkan ke-ma’shum-an itu sudah pasti hanya melekat pada diri para Nabi, dan bukan pemimpin masyarakat pada level apa pun. Oleh karena itu, sebagaimana umat Muslim menolak ajaran Ahmadiyah karena meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad, sudah sewajarnya kita menolak ajaran Syi’ah karena doktrin Ishmat al-Imam ini.

Mahdiyyah
Sejarah Syi’ah, sebagaimana telah kita pahami bersama, penuh dengan kebencian. Esensi dari pemikiran kelompok Syi’ah ini sendiri adalah kekecewaan, oleh karena mereka menganggap umat Muslim yang tidak mendahulukan ‘Ali ibn Abi Thalib ra (dan kemudian ‘Ahlul Bait’) sebagai pengkhianat. Oleh karena itu, mereka senantiasa memendam kebencian yang adakalanya tidak ditampakkan.
Sebagaimana umat Muslim, kaum Syi’ah pun percaya akan kedatangan Imam Mahdi. Dalam sejarah, sudah berkali-kali kalangan Syi’ah memperdebatkan jati diri Imam Mahdi ini yang sebenarnya. Mayoritas masyarakat Syi’ah sekarang meyakini bahwa Imam Mahdi adalah Imam ke-12 yang sedang berada dalam ‘kegaiban’, yaitu imam yang masih diperdebatkan eksistensinya, yaitu Muhammad al-Muntazhar. Muhammad al-Muntazhar inilah yang diyakini akan kembali dari kegaibannya kelak di akhir jaman untuk memimpin kelompok Syi’ah menghadapi musuh-musuhnya (termasuk juga umat Muslim yang tidak mendahulukan ‘Ali ra dan Ahlul Bait).
Dalam kitab Al-Kafi – yang dianggap oleh kalangan Syi’ah sebagai kitab yang setara dengan kitab Shahih Bukhari – kita temukan penjelasan bahwa Imam Mahdi akan datang di akhir jaman dengan membawa syari’at baru:
Abu ‘Abdillah berkata: “Apabila datang pembela keluarga Muhammad (al-Mahdi), maka dia akan memberlakukan hukum Daud dan Sulaiman tanpa bantuan saksi.
Sebagai bagian dari perwujudan kebencian terhadap para Sahabat Nabi saw, terutama Khulafaur Rasyidin sebelum ‘Ali ra, kaum Syi’ah pun percaya bahwa Imam Mahdi kelak akan merobohkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi untuk mengembalikannya ke bentuknya semula seperti ketika di jaman Nabi saw, dan kemudian membongkar makam Abu Bakar ra dan ‘Umar ra. Secara vulgar, al-Majlisi menulis:
Demikian pula, al-Mahdi akan pergi ke makam Rasulullah saw dan makam dua sahabatnya (Abu Bakar dan ‘Umar). Mula-mula dia akan menghancurkan tembok makam… kemudian dia mengeluarkan dua sahabat Rasul yang kelihatannya masih segar itu, lalu dia melaknati keduanya, berlepas diri darinya, kemudian menyalibnya, menurunkannya (dari tiang salib), lalu membakarnya dan menghambur-hamburkan abunya.
Selanjutnya, kita akan temukan berbagai riwayat lainnya yang menggambarkan bagaimana Imam Mahdi memimpin kaum Syi’ah untuk melakukan pembantaian dan pembantaian. An-Nu’mani dalam Al-Ghaibah menulis:
Dari al-Harits bin al-Mughirah dan Dzarih al-Maharibi, keduanya mengatakan: “Yang tersisa antara kita dan orang Arab hanyalah pembantaian.”
Dalam kitab yang sama juga tertulis:
Andaikan orang-orang mengetahui apa yang akan dilakukan al-Mahdi kelak, tentu mereka tidak akan sudi melihatnya, sebab dia akan membunuh banyak orang… hingga orang-orang akan mengatakan: Dia bukan keturunan Nabi Muhammad, kalau dia keturunan beliau tentu dia punya rasa kasih sayang.
Oleh karena doktrin imaamah ini begitu pentingnya, maka Imam Mahdi versi Syi’ah pun diutus tidak lain untuk membalas dendam kepada siapa pun yang menolak ajaran Syi’ah. Tidak heran kiranya jika Imam Mahdi digambarkan dengan deskripsi yang penuh kekejaman. Penjelasan terakhir di atas dari kitab Al-Ghaibah agaknya memang telah ‘disiapkan’ khusus jika kelak kalangan Syi’ah telah mulai membantai dan orang-orang mulai mempertanyakan akhlaq mereka. Dengan adanya penjelasan tersebut, diharapkan orang akan memaklumi kekejaman ‘Imam Mahdi’ itu dan tidak akan menghalanginya.

Raj’ah
Raj’ah adalah kelanjutan dari doktrin Mahdiyyah. Pasca kedatangan Imam Mahdi, kalangan Syi’ah percaya bahwa ‘Ali ra beserta semua imam mereka akan dibangkitkan dari kematian, demikian juga semua orang yang pernah memusuhi mereka. Kedua kelompok ini kemudian akan berhadap-hadapan dalam suatu medan pertempuran. Inilah episode puncak ‘pembalasan dendam’ dalam ajaran Syi’ah.
Dalam kitab tafsir Syi’ah yang dianggap otoritatif yang berjudul Tafsir al-Ayaasi, kita dapat temukan penjelasan berikut:
Tidaklah Allah SWT mengutus seorang nabi maupun rasul kecuali ia akan dikembalikan (oleh Allah) ke alam dunia mulai dari Nabi Adam dan seterusnya sehingga berperang di hadapan Sayyidina ‘Ali.
Kebangkitan ini tentu saja berbeda dengan kebangkitan setelah Hari Kiamat kelak. Sebab, tujuan dari pembangkitan ini adalah pembalasan dendam. Penegasan yang lebih jelas tentang tujuan pembangkitan ini dapat kita baca dalam tulisan karya al-Majlisi:
Setelah tampaknya Imam Mahdi, maka orang yang memurnikan imannya dan orang yang memurnikan kekafirannya akan dikembalikan (dihidupkan) ke alam dunia. Musuh-musuh al-Mahdi akan hidup kembali supaya al-Mahdi dapat membalas dendam kepada mereka di alam ini, agar mereka menyaksikan kebenaran Ahlul Bait yang dahulu mereka ingkari. Maka, tujuan dibangkitkannya orang kafir adalah agar mereka merasakan siksa yang pedih.
Doktrin raj’ah ini, tentu saja, tidak memiliki akar dalam ajaran Islam. Kalangan orientalis kawakan seperti Ignaz Goldziher pun berpendapat bahwa doktrin raj’ah berakar dari ajaran Nasrani dan Yahudi. Hal ini kembali mengantarkan kita pada kecurigaan bahwa ajaran Syi’ah memang merupakan hasil dari infiltrasi ajaran Yahudi ke dalam ajaran Islam. Akar pemikiran raj’ah dapat kita temukan, misalnya, pada ucapan ‘Abdullah ibn Saba’ sebagai berikut:
Aku heran pada orang yang meyakini ‘Isa as akan kembali (ke dunia), namun dia mendustakan jika Muhammad akan kembali, sedangkan Allah telah berfirman, “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” Maka Muhammad lebih berhak untuk kembali daripada ‘Isa.
Dengan mudah kita dapat temukan minimal dua kesalahan serius dalam penalaran ‘Abdullah ibn Saba’ di atas. Pertama, umat Muslim meyakini bahwa Nabi ‘Isa as tidaklah wafat, melainkan diangkat. Oleh karena itu, di akhir jaman beliau tidak dihidupkan kembali, melainkan diturunkan kembali ke dunia. Kedua, keyakinan bahwa Nabi ‘Isa as akan diturunkan kembali bukanlah berdasarkan rasio atau selera masyarakat Muslim, melainkan murni berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh karena itu, tak seorang pun yang berhak menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw lebih berhak dikembalikan ke dunia daripada Nabi ‘Isa as, sebab itu adalah hak prerogatif Allah SWT. Bahkan Nabi Muhammad saw pun tidak pernah mengatakan bahwa dirinya lebih berhak untuk dikembalikan ke dunia daripada Nabi ‘Isa as. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai fenomena kedatangan Imam Mahdi dan Nabi ‘Isa as di akhir jaman, silakan merujuk pada buku Isa & Al-Mahdi di Akhir Jaman karya Dr. Muslih Abdul Karim dan buku-buku lainnya.

Badaa’
Secara harfiah, “badaa’” berarti “timbulnya pemikiran baru”. Misalnya dalam kasus seseorang yang telah mempertimbangkan suatu hal masak-masak, namun kemudian terjadi sesuatu hal yang tidak diperhitungkannya sebelumnya, sehingga ia mengubah keputusannya tadi. Tentu saja, ini adalah proses evaluasi tindakan yang sangat manusiawi. Bagaimana halnya jika hal ini diterapkan pada sosok Tuhan?
Alkisah, al-Mukhtar ibn Abu ‘Ubaid, seorang pemimpin Syi’ah dari sekte Mukhtariyyah, menyemangati pasukannya yang akan berperang dengan pasukan Mush’ab ibn Zubair. Kepada pasukannya, al-Mukhtar mengatakan bahwa Allah SWT telah menjanjikan kemenangan kepadanya. Oleh karena setiap imam Syi’ah dianggap ma’shum, maka para pengikutnya yakin seratus persen bahwa ramalan ini benar. Apa dinyana, ternyata pasukan itu justru menemui kekalahan, sehingga mereka pun berbalik pada al-Mukhtar dan bertanya, “Mana kemenangan yang dijanjikan Tuhan?” Untuk menjawabnya, al-Mukhtar pun berkata:
Demikianlah janji Allah kepadaku, namun Dia telah badaa’ (mempunyai pemikiran lain), sesungguhnya Dia benar-benar telah berfirman: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendakinya sedangkan di sisinya ada ‘Ummul Kitab.”
Doktrin badaa’ sejak saat itu benar-benar dieksploitasi oleh para imam dan pemimpin Syi’ah untuk menutupi kesalahannya sendiri. Dalam Tafsir al-Qummi, dinyatakan sebuah penjelasan yang kontroversial yang lebih mirip sebagai sebuah pembenaran daripada sebuah dalil agama:
Bila kami mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu dan benar-benar terjadi, maka katakanlah “Maha Benar Allah dan Rasul-Nya”. Namun bila tidak terjadi, maka katakanlah “Maha Benar Allah dan Rasul-Nya,” maka kalian akan mendapatkan pahala dua kali.
Lagi-lagi, para ahli menemukan kesamaan antara doktrin badaa’ dengan ajaran Nasrani dan Yahudi. Dalam kitab Perjanjian Lama, misalnya, kita dapat temukan ayat berikut ini:
Tuhan melihat bahwa tingkah laku manusia semakin menjijikkan di muka bumi, dan semua yang terbayang di hatinya tiap hari hanyalah perbuatan-perbuatan jahat, maka Tuhan pun susah dan merasa bersedih hati karena telah membuat manusia di muka bumi. Dia pun berfirman: “Aku akan membersihkan bumi dari manusia yang telah Ku-ciptakan, manusia bersama hewan, binatang dan burung-burung terbang.”
Demikian pula dalam Samuel I (15:10) dapat kita temukan:
Tuhan pernah berkata pada Samuel: “Aku menyesal setelah Aku menjadikan Saul sebagai Raja, karena dia telah berpaling muka dan tidak menjalankan perintah-Ku sama sekali.”
Tidak dipungkiri lagi, banyak manusia yang tidak menjalankan perintah Tuhan dengan baik dan melakukan kerusakan di muka bumi. Ada juga Iblis yang sudah sekian lama hidup dan menyaksikan kebesaran Allah SWT, namun pada akhirnya kufur juga kepada-Nya. Akan tetapi, Islam tidak pernah mengenal adanya kesedihan dan penyesalan di antara sifat-sifat Allah SWT, sebab keduanya adalah sifat yang hanya pantas bagi para makhluk, bukan bagi Sang Khaliq.
Kita telah melihat sendiri bagaimana doktrin imaamah dapat membawa konsekuensi-konsekuensi ‘aqidah yang luar biasa berat dalam ajaran Syi’ah. Karena masalah pewarisan kepemimpinan ini dianggap sebagai masalah ‘aqidah yang merupakan hak prerogatif Allah SWT, maka para imam pun dianggap ma’shum sebagaimana para Nabi. Kemudian untuk membalas dendam kepada para penentang Syi’ah yang dituding telah menzalimi ‘Ali ra dan kalangan Ahlul Bait, maka dibuatlah doktrin Mahdiyyah dan Raj’ah. Untuk menutupi kekurangan para imam, maka digunakanlah doktrin Badaa’. Dengan demikian, semakin jauhlah ajaran Syi’ah dari agama Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, menyatukan Ahlu Sunnah dan Syi’ah tidak ubahnya seperti hendak menyatukan minyak dengan air.

Oleh : Ahmad  Sjafril - Pria lulusan S1 Teknik Sipil ITB ini dikenal luas sebagai blogger dan peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Penulis Buku berjudul Islam Liberal 101. Beliau juga salah satu mobilisator #IndonesiaTanpaJIL

[sumber;http://www.undergroundtauhid.com]
◄ Newer Post Older Post ►