Kini Banyak perhatian tertuju pada masalah kerukunan antara kaum Sunni dan Syi’ah. Meskipun sebagian pihak sudah menyatakan bahwa akar permasalahannya bukan antara kedua golongan itu, melainkan masalah yang bersifat pribadi, namun opini masyarakat telah digiring ke arah teori ‘Sunni vs. Syi’ah’. Keadaan juga diperpanas dengan situasi di Yaman yang tidak menentu, di mana kelompok radikal Syi’ah menggempur kaum Sunni, termasuk sebuah pesantren. Kegentingan itu telah menelan korban jiwa, termasuk beberapa santri asal Indonesia.
Jika di Indonesia, yang mayoritasnya Sunni, muncul isu intoleransi dari pihak Sunni terhadap kalangan Syi’ah, maka yang terjadi di Iran, Irak dan beberapa negara lain justru sebaliknya. Pemerintah Iran telah menetapkan Syi’ah sebagai agama resmi negaranya, sehingga ruang gerak Sunni memang sangat terbatas. Di Irak, berkat rekayasa yang dilakukan oleh pendudukan Amerika Serikat, banyak kekuatan Sunni yang dilucuti, dan di beberapa daerah kaum Syi’ah mendominasi. Banyak laporan tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga Syi’ah terhadap warga Sunni, meskipun masalahnya sangat sepele. Misalnya, ada yang melapor telah mendapat siksaan dari aparat Syi’ah hanya lantaran namanya adalah ‘Umar.
Di Indonesia, masih banyak yang belum paham akar konflik antara Syi’ah dan Sunni. Masyarakat awam masih banyak yang berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara keduanya masih dalam batas-batas ikhtilaf atau hanya perbedaan ijtihad belaka. Mereka yang menganggap Syi’ah hanyalah salah satu madzhab sebagaimana Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan seterusnya. Jika demikian, mengapa kekerasan terus terjadi dan seolah tak dapat didamaikan?
Contoh pengaduan warga Irak yang disiksa hanya karena bernama ‘Umar adalah kasus yang perlu kita telaah bersama. Masih ada yang berpendapat bahwa kaum Syi’ah adalah kaum yang sangat mencintai ‘Ali ibn Abu Thalib ra dan melebihkannya dari para sahabat lainnya. Akan tetapi, melebihkan seseorang dari yang lainnya berbeda dengan mencintai seorang dan membenci selebihnya. Kecintaan pada ‘Ali ra tidak mesti diwujudkan dengan kebencian pada Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan Utsman ra (ketiganya adalah Khulafaur Rasyidin sebelum ‘Ali ra). Faktanya, kaum Syi’ah sangat membenci ketiga tokoh ini, bahkan membenci namanya pula. Beberapa kitab induk yang menjadi rujukan Syi’ah bahkan mengajarkan sebuah doa yang cukup panjang yang diberinya nama Shanamai Quraisyin, yang secara harfiah berarti “dua berhalanya kaum Quraisy” (yang dimaksud adalah Abu Bakar ra dan ‘Umar ra). Doa tersebut antara lain tercantum dalam Kitab Al-Mishbah, Bihar al-Anwar karya al-Majlisi, dan Ihqaq al-Haq karya at-Tusturi.
Dalam Kitab Al-Kafi, ‘kitab hadits’ yang diakui otoritasnya oleh kaum Syi’ah, diriwayatkan sebuah hadits yang memuat kecaman, bahkan pengkafiran, terhadap hampir semua sahabat Rasulullah saw. Hadits yang cukup populer di kalangan Syi’ah tersebut bunyinya adalah sebagai berikut:
Dari Abi Ja’far, ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga.” Aku bertanya, “Siapa yang tiga itu?” Beliau menjawab, “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”Dalam kitab lain, yaitu Kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabrisi, kita juga dapat menemukan jejak kebencian kaum Syi’ah kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw, misalnya dalam hadits berikut:
Dari Sayyidin ‘Ali ra, bahwa sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga akan masuk neraka. Beliau juga berkata, “Demi Allah, sesungguhnya mereka (sembilan sahabat) berada di dalam peti pada lorong sempit di dalam jurang bagian bawah neraka Jahannam.” Aku mendengar hadits tersebut dari Rasulullah saw.Pernyataan ini tentu bertentangan dengan sebuah hadits populer yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang menjelaskan tentang al-‘Asyrah al-Mubasysyaruun bi al-Jannah(sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan jaminan surga). Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sa’id ibn Zayd ra tersebut, Rasulullah saw menyebutkan sepuluh orang sahabatnya yang dijamin masuk surga, yaitu Abu Bakar ra, ‘Umar ra, ‘Utsman ra, ‘Ali ra, Zubair ra, Thalhah ra, ‘Abdurrahman ra, Abu ‘Ubaidah ra, Sa’ad ibn Abi Waqqash ra dan Abu al-A’war ra. Seperti yang dapat kita lihat bersama, ketiga Khulafaur Rasyidin yang senantiasa menjadi sasaran kebencian kaum Syi’ah juga termasuk di dalam daftar sahabat yang dijamin masuk surga.
Kita dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan antara Sunni dan Syi’ah sesungguhnya adalah pada konsep imaamah. Meskipun secara harfiah “imaamah” berarti “kepemimpinan”, namun menyatakan bahwa konflik antara kedua golongan ini bersumber dari perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan adalah penyederhanaan masalah yang terlalu berlebihan.
Sesungguhnya, perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang telah diterima sebagai sunnatullaah oleh para ulama. Jangankan manusia pada jaman sekarang, para sahabat Rasulullah saw pun ada kalanya bersilang pendapat. Adakalanya mereka pun berbeda pendapat, bahkan sampai bertengkar, meskipun ketika itu Rasulullah saw masih bersama mereka. Para sahabat sekalipun bukanlah orang yangma’shum (terbebas dari kesalahan). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata:
Saya tidak bahagia jika tidak ada perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Andaikan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka tidak akan ada rukhshah (toleransi hukum).Perbedaan pendapat yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Salah satu hikmahnya adalah perbedaan-perbedaan tersebut mengajari kita untuk bersikap toleran. Oleh karena itu, para ulama bisa saja berbeda madzhab, meskipun hubungannya adalah guru dan murid. Meski demikian, mereka saling menghargai satu sama lainnya, bahkan saling memuji.
Oleh karena itu, sah-sah saja jika ada kelompok di masa lalu yang berpendapat bahwa ‘Ali ra lebih berhak untuk menjadi Khalifah mendahului Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Pendapat ini sah, dan siapa yang berpendapat demikian tidaklah menjadi cacat keimanannya. Akan tetapi yang amat disayangkan adalah kaum Syi’ah begitu yakin bahwa Allah SWT menghendaki ‘Ali ra menjadi Khalifah penerus Rasulullah saw, sehingga siapa pun yang tidak sependapat dengannya akan dinyatakan kafir. Padahal, tidak pernah sepatah kata pun ‘Ali ra membantah kepemimpinan ketiga orang Khulafaur Rasyidin sebelumnya.
Kita juga tidak menjumpai kata-kata kasar yang diucapkan oleh ‘Ali ra menyangkut pribadi para sahabat Rasulullah saw, kecuali dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kaum Syi’ah. Andaikan kita akan menimbang pula hadits ‘sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga akan masuk neraka’, kita perlu mempertanyakan: wajarkah kata-kata Rasulullah saw diralat? Bukankah kata-kata yang meluncur dari lisan beliau adalah wahyu, dan beliau terpelihara dari kesalahan?
Logiskah berpikir bahwa Rasulullah saw menjamin sepuluh orang masuk surga, dan di kemudian (setelah beliau wafat) hari jaminan tersebut ditarik lagi kecuali untuk satu orang saja? Padahal, ramalan al-Qur’an dalam Surah ar-Ruum pun baru terbukti sekian tahun setelah Rasulullah saw wafat (artinya: tak ada ralat dalam wahyu Allah SWT). Demikian ketatnya pemeliharaan Allah SWT terhadap Rasulullah saw, sehingga ketika beliau bermuka masam pun langsung ditegur dan dikoreksi di dalam al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dari Allah SWT terhadap Rasulullah saw tidak ada bandingannya, dan ketika terjadi kesalahan, koreksi akan langsung dilakukan tanpa waktu jeda. Itulah makna ma’shum. Bahkan kesalahan beliau pun (yang tentu saja langsung dikoreksi) mengandung hikmah, karena dari suri tauladan beliau pula kita belajar cara memperbaiki kesalahan secara legowo dan memohon ampun dari Allah SWT. Jika Nabi kita adalah dari bangsa Malaikat yang tak punya hawa nafsu dan tak pernahkhilaf, maka kita akan sulit mencontohnya, karena manusia sering berlaku khilaf.
Yang amat disayangkan, masalah kepemimpinan – yang tadinya hanyalah ikhtilaf – hingga kini masih menjadi isu utama di kalangan Syi’ah. Dari dulu sampai sekarang, kaum Syi’ah masih mempermasalahkan mengapa ‘Ali ra tidak menjadi Khalifah pertama, walaupun ‘Ali ra sendiri tidak mempermasalahkannya. Dan, sekali lagi, masalah menjadi tambah ruwet karena kaum Syi’ah berpendapat bahwa mereka yang tidak mendukung ‘Ali ra sebagai Khalifah penerus Nabi Muhammad saw adalah orang-orang kafir.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi adalah salah satu ulama yang sangat besar kontribusinya dalam usaha-usaha menjalin ukhuwwah antara Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun bekerja keras, beliau pun sampai pada kesimpulan bahwa hubungan baik antara Sunni dan Syi’ah takkan pernah terwujud sebelum kaum Syi’ah mengubah sikapnya. Sementara kaum Sunni memuji para sahabat Rasulullah saw, kaum Syi’ah justru mengkafirkannya, bahkan secara rutin melaknatnya (di antaranya melalui doaShanamai Quraisyin yang telah disebutkan di atas).
imaamah adalah isu terpenting dalam wacana seputar Syi’ah. Isu inilah yang menyebabkan munculnya Syi’ah dan hingga detik ini pun kelompok Syi’ah masih mempermasalahkan hal yang sama.
Sejatinya, nama “syi’ah” itu sendiri berkaitan secara langsung dengan konsep imaamah, karena makna asalnya adalah “pendukung” atau “pembela”. Dalam sebuah makalah berjudul “Inilah Haqiqat Syi’ah” yang dibawakan pada Seminar Nasional tentang Syi’ah di Aula Masjid Istiqlal, 21 September 1997 yang lalu, KH. Moh. Dawam Anwar (waktu itu menjabat sebagai Katib Syuriah PB NU) menjelaskan sebuah fakta menarik. Menurutnya beliau, pada jaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan ‘Utsman ra, kata “syi’ah” dalam pengertian sebuah kelompok tertentu belum lagi dikenal. Pada waktu pemilihan Khalifah ketiga memang ada yang mendukung ‘Ali ra, namun setelah ‘Utsman ra terpilih, maka mereka pun berbai’at kepada ‘Utsman ra.
Ketika terjadi pertikaian antara kelompok ‘Ali ra dan Mu’awwiyah ra, barulah muncul kata “syi’ah” dalam pengertian kelompok tersebut. Akan tetapi, yang muncul bukan hanya Syi’ah Ali saja, melainkan Syi’ah Mu’awwiyah juga. Kedua istilah ini, menurut KH. Dawam, muncul dalam naskah perjanjian pada masa itu. Akan tetapi, kedua belah pihak (Syi’ah Ali dan Syi’ah Mu’awwiyah) digolongkan ke dalam kelompok ‘aqidah yang sama, yang kini dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. ‘Ali ra pun menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa konflik yang terjadi semata-mata karena masalah ijtihad. Kelompok ‘Ali ra berpendapat merekalah yang benar (karena kelompok Mu’awwiyah ra memberontak terhadap pemerintahan yang sah), sedangkan kelompok Mu’awwiyah ra berpendapat merekalah yang benar (karena tuntutan agar ‘Ali ra menghukum pembunuh ‘Utsman ra belum dilaksanakan). Oleh karena itu, ‘Ali ra tidak mengkafirkan kelompok Mu’awwiyah ra dan beliau menshalatkan jenazah dari kedua belah pihak.
Bukan tempatnya di sini untuk menguraikan satu persatu permasalahan yang melatarbelakangi perseteruan yang paling menyedihkan dalam sejarah umat Islam ini. Peristiwa dahsyat ini, yang menyebabkan terjadinya peperangan di antara dua kelompok Muslim dan melahirkan munculnya dua kelompok yang menyempal – yaitu Syi’ah dan Khawarij – dikenang sebagai peristiwa Fitnah Kubra (Fitnah Besar). Banyak sekali detil peristiwa yang perlu dipelajari secara teliti untuk memahami berbagai konspirasi di baliknya.
Kembali kepada konsep imaamah yang telah melahirkan Syi’ah, pada periode-periode berikutnya pun isu yang sama masih terus mewarnai wacana pemikiran Syi’ah. KH. Dawam mencatat beberapa sumber yang menyatakan bahwa sejak kelahirannya Syi’ah terus berkembang dan aksi ‘saling menyempal’ terus terjadi, hingga akhirnya kelompok ini terbagi ke dalam 300 firqah (aliran). Masing-masing firqah mengklaim kepemimpinannya masing-masing. Ada kalanya tokoh yang mereka sanjung-sanjung justru tidak mengklaim sebagai pengikut mereka. Akan tetapi, karena mereka adalah Ahlul Bait (anggota keluarga Nabi saw yang dianggap pewaris kepemimpinan umat), maka nama mereka tetap dimasukkan ke dalam daftar Imam mereka. Imam Muhammad al-Baqir, salah satu tokoh Ahlul Bait, pernah meriwayatkan bahwa para pengikut Syi’ah pernah mendatangi ayahnya, Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, sambil mencaci maki Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Setelah mereka puas memaki, ‘Ali Zainal ‘Abidin pun berkata:
“Maukah kalian memberitahuku, adakah kalian ini termasuk kelompok orang-orang Muhajirin yang diusir dari kampung halamannya dan dari harta benda mereka karena mencari karunia Allah dan Rasul-Nya dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya? Mereka itulah orang-orang yang benar.” Mereka menjawab, “Bukan!” ‘Ali Zainal ‘Abidin bertanya lagi, “Adakah kalian orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (Kaum Muhajirin), sedang mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka?” Mereka menjawab, “Bukan!” ‘Ali Zainal ‘Abidin pun berkata lagi, “Kalau demikian, maka aku pun bersaksi bahwa kalian bukanlah orang-orang yang datang sesudah mereka (Kaum Muhajirin dan Anshar) yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin pun kemudian mengusir mereka.Nama ‘Ali Zainal ‘Abidin sangat termasyhur di kalangan Syi’ah dan dipuja-puja sebagai bagian dari Ahlul Bait dan juga dikenal sebagai Imam keempat dari dua belas Imam menurut keyakinan sementara kalangan Syi’ah. Akan tetapi, beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai pengikut Syi’ah, tidak pula membenarkan pemikiran mereka. Dengan jitu beliau mengutip deskripsi kaum Muhajirin dan Anshar dalam QS. al-Hasyr ayat 8-9 dan meneruskannya dengan QS. al-Hasyr: 10 untuk menjelaskan bahwa mereka (kaum Syi’ah yang mencaci Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan ‘Utsman ra) bukanlah termasuk golongan Muslim sesudah Muhajirin dan Anshar yang bersikap sepatutnya terhadap mereka yang telah lebih dahulu beriman.
Sebenarnya, klaim Syi’ah terhadap kepemimpinan Ahlul Bait memang seringkali mengundang kritik. Sebagian ulama menggarisbawahi kengototan Syi’ah untuk menganggap ‘Ali ra sebagai representasi Ahlul Bait, padahal keluarga Nabi saw bukan hanya itu. ‘Abbas ra, paman Nabi saw, sebenarnya lebih layak untuk didahulukan – jika memang garis kekerabatan adalah ukurannya – dibandingkan oleh ‘Ali ra yang merupakan adik sepupu Nabi saw. Kalau pun ‘Ali ra tetap dianggap lebih berhak, namun setidaknya ‘Abbas ra dan semua keturunannya pun harus dianggap sebagai Ahlul Bait, demikian juga para istri Nabi saw. Akan tetapi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pandangan Syi’ah, semua sahabat Rasulullah saw telah murtad kecuali tiga orang saja (lihat artikel sebelumnya).
Dalam Seminar Nasional tentang Syi’ah tahun 1997, Dr. M. Hidayat Nur Wahid juga tampil membawakan makalahnya yang berjudul “Syi’ah dalam Lintasan Sejarah”. Makalah ini cukup menarik, karena memaparkan fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bagaimana kelompok Syi’ah terus berdebat karena masalah kepemimpinan ini.
Sejak awal kelahirannya, misalnya, Syi’ah telah terpecah ke dalam tiga kelompok. Kelompok yang pertama menyatakan bahwa ‘Ali ra adalah Imam yang harus ditaati setelah Rasulullah saw, dan bukan yang lainnya. Menurut mereka, ‘Ali ra itu ma’shum, terjaga dari segala kesalahan, dan siapa pun yang memusuhinya adalah kafir dan sesat. Kelompok ini disebut sebagai Al-Jarudiyyah. Kelompok kedua meyakini bahwa ‘Ali ra-lah yang paling berhak mewarisi kepemimpinan Rasulullah saw. Meski demikian, mereka menganggap kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya sah dikarenakan keridhaan ‘Ali ra terhadap mereka. Kelompok ini disebut Al-Batriyyah. Kelompok ketiga memiliki pandangan yang sama dengan kelompok kedua, hanya saja mereka berpendapat bahwa menaati imam yang sudah ditetapkan itu wajib, sehingga yang tidak menaatinya itu kafir dan sesat. Pada periode ini pula muncul kaum Khawarij dari kalangan Syi’ah (pendukung) ‘Ali ra. Mereka ini tadinya mendukung ‘Ali ra, namun kemudian menyempal karena kecewa dengan keputusan ‘Ali ra dan akhirnya malah berbalik mengkafirkan ‘Ali ra. Pada periode ini juga disinyalir munculnya tokoh ‘Abdullah ibn Saba’ yang memanas-manasi suasana dan menanamkan pemikiran ekstrem yang mengkultuskan ‘Ali ra.
Setelah ‘Ali ra wafat, Syi’ah pun terpecah lagi ke dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat ‘Ali ra tidak mati terbunuh dan tidak akan mati sebelum ia berhasil memenuhi bumi dengan keadilan. Inilah kelompok As-Saba’iyyah yang dipimpin oleh ‘Abdullah ibn Saba’. ‘Abdullah ibn Saba’ pernah bertemu dengan ‘Ali ra, dan ia mencaci ketiga khalifah sebelumnya sambil menghembuskan isu bahwa ‘Ali ra telah menyuruhnya melakukan demikian. ‘Ali ra hampir saja menghukum mati dirinya, namun kemudian menerima sebuah nasihat untuk mengusirnya ke al-Madain. Menurut riwayat, ibn Saba’ dulunya adalah seorang penganut agama Yahudi, dan ketika masih memeluk agama Yahudi ia pernah mempopulerkan pendapat bahwa Yusya’ ibn Nuun adalah pelanjut Nabi Musa as. Setelah ia memeluk agama Islam, ia berpendapat bahwa ‘Ali ra adalah penerus Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, sebagian pihak berkeyakinan bahwa sumber ajaran Syi’ah sebenarnya adalah ajaran Yahudi yang menginfiltrasi ke kalangan Muslim. Golongan kedua berpendapat bahwa ‘Ali ra memang wafat dan kepemimpinannya diwariskan kepada putranya, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, karena dialah – bukan Hasan ra atau Husain ra – yang dipercaya membawa panji ‘Ali ra dalam peperangan di Basrah. Kelompok ini dikenal dengan nama Al-Kaisaniyyah. Mereka mengkafirkan siapa pun yang melangkahi ‘Ali ra dalam imaamah, dan tokohnya, al-Mukhtar ibn Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi, mengaku bahwa Jibril pernah menurunkan wahyu kepadanya. Golongan ketiga berpendapat bahwa ‘Ali ra memang telah wafat dan imam sesudahnya adalah puteranya, al-Hasan ra. Akan tetapi, ketika al-Hasan ra membai’at Mu’awwiyah ra, mereka pun memindahkan imaamah kepada al-Husain ra. Sebagian di antara mereka mencela al-Hasan ra, bahkan al-Jarrah ibn Sinan al-Anshari pernah menuduh beliau sebagai musyrik(karena bai’atnya itu) dan membacok pahanya dengan pedang.
Setelah al-Husein ra syahid dalam peristiwa Karbala, kaum Syi’ah berdebat lagi. Kelompok pertama berpendapat bahwa imaamah berpindah ke saudara al-Hasan ra dan al-Husein, yaitu Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Kelompok ini kemudian berpecah lagi, karena sebagian di antara mereka berpendapat bahwa Imam yang satu inilah (yaitu Muhammad ibn al-Hanafiyyah) yang merupakan Imam Mahdi, dan beliau takkan mati. Sebagian lagi berpendapat bahwa beliau bukan Imam Mahdi, dan setelah beliau wafat,imaamah berpindah kepada Abu Hasyim. Kelompok kedua berpendapat bahwa imaamahkemudian berpindah ke Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, yang tidak lain adalah putra al-Husain ra. Ada juga kelompok yang berpendapat bahwa imaamah telah selesai, sebab yang mereka akui sebagai Ahlul Bait hanya ‘Ali ra, al-Hasan ra dan al-Husain ra. Kelompok terakhir berpendapat bahwa imaamah berlanjut hanya pada keturunan al-Hasan ra dan al-Husein ra. Siapa pun di antara keturunan mereka yang mengklaim sebagai imam maka wajib ditaati.
Keadaan seperti ini masih terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya. Setelah ‘Ali Zainal ‘Abidin wafat, kaum Syi’ah mempertentangkan siapa imam berikutnya. Sebagian berpendapat bahwa yang menjadi imam adalah siapa pun dari keluarga Nabi saw yang mengklaim kepemimpinan, sebagian lagi berpendapat penerusnya adalah Muhammad al-Baqir, putra ‘Ali Zainal ‘Abidin. Sesudah Muhammad al-Baqir wafat, ada yang berpendapat bahwa imaamah berpindah ke putranya, Ja’far ash-Shadiq, ada pula yang berpendapat bahwa al-Mughirah ibn Sa’id telah menerima wasiat dari Muhammad al-Baqir sebagai penerusnya. Setelah Ja’far ash-Shadiq wafat, sebagian berpendapat bahwa dialah Imam Mahdi dan dia tidak wafat, sebagian lagi menganggap imaamah berpindah ke putranya, Isma’il, dan dialah Imam Mahdi, sebagian lagi memindahkan imaamah kepada putra Ja’far yang lain, yaitu Muhammad bin Ja’far ash-Shadiq, ada juga yang berpendapat bahwa ‘Abdullah bin Ja’far atau Musa al-Kazhim – keduanya putra Ja’far ash-Shadiq juga – adalah pewaris imaamah. Setelah Musa al-Kazhim, kaum Syi’ah masih terus berdebat tentang siapa imam mereka.
Demikianlah isu imaamah bukan hanya memisahkan Syi’ah dari kalangan Muslim lainnya, namun juga secara konstan menciptakan perpecahan di antara mereka sendiri. Perpecahan itu tidak lain karena persoalan imaamah dalam pandangan Syi’ah adalah persoalan ‘aqidah, bukan ikhtilaf belaka. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam artikel “Imamah” (sisipan ISLAMIA, Republika, edisi 19/01/12), sejatinya kata “imam” bermakna kepemimpinan secara umum. Ada pemimpin yang jahat, ada pula pemimpin yang baik. Para ulama menganggap seorang Khalifah atau Imam memiliki otoritas tertinggi dalam hal agama dan politik, kecuali dalam hal membuat syari’at baru, mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal, sehingga keputusan Khalifah dianggap sebagai hal yang ijtihadi. Bahkan Rasulullah saw pun pernah mencontohkan dalam Perang Badar ketika beliau meralat pendapatnya sendiri (karena pendapat itu tidak berdasarkan pada wahyu, melainkan pertimbangan rasio pribadi) dan lebih memilih pendapat seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan ditempatkan di dekat mata air. Sementara itu, bagi kalangan Syi’ah, imaamah secara eksklusif diperuntukkan bagi golongan yang mereka sebut sebagai Ahlul Bait, dan masalah ini adalah persoalan‘aqidah, karena menurut mereka hal ini disandarkan pada nash dan pewarisan imaamahdari imam-imam sebelumnya. Oleh karena itu, siapa pun yang menolak konsep imaamahakan dinyatakan kafir.
Pada pembahasan berikutnya, kita akan melihat bagaimana konsep imaamah melahirkan persoalan-persoalan lebih lanjut yang membuat permasalahan semakin pelik. Persoalan-persoalan ini kemudian melahirkan doktrin-doktrin baru dalam ajaran Syi’ah, sehingga ia tumbuh menjadi sebuah aliran baru yang sangat jauh berbeda dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
(Bersambung Ke Mengenal Konsep Imamah Dalam Syiah Part 2)
Oleh : Ahmad Sjafril - Pria lulusan S1 Teknik Sipil ITB ini dikenal luas sebagai blogger dan peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Penulis Buku berjudul Islam Liberal 101. Beliau juga salah satu mobilisator #IndonesiaTanpaJIL
[sumber;http://www.undergroundtauhid.com]