Film remaja tak pernah absen dibuat. Sejak usai Indonesia merdeka hingga hari ini, penonton muda selalu dapat tontonan film remaja. Mari bernostalgia dengan film remaja dari masa lalu hingga masa kini.
REMAJA telah menjadi pangkal kelahiran karya-karya penting dalam sejarah film dunia. Dari Rebel Without A Cause, The Wild One, Saturday Night Fever, The Outsiders, Dead Poets Society, Reality Bites, Trainspotting, sampai Almost Famous penonton terbawa dalam gemuruh hidup anak muda. Bagaimana dengan film remaja kita?
Tiga Dara (1956) telah menjadi cultural landmark. Film musikal karya Usmar Ismail ini disukai karena 3 bintangnya yang muda dan cantik (Mieke Wijaya, Chitra Dewi, Indriati Iskak) serta ceritanya yang wajar, soal keributan antar-saudara perempuan, lengkap dengan kisah cintanya yang seru. 15 tahun berselang, Wim Umboh menelurkan Pengantin Remaja dengan bintang Sophan Sophiaan dan Widyawati. Mereka main sebagai sepasang kekasih yang cintanya tak kesampaian, mula-mula karena ketidaksetujuan orangtua kemudian karena maut. Kendati media mempermasalahkan ide ceritanya yang mirip Love Story (1970), kritikus menganggapnya sebagai karya Wim yang paling utuh dan baik.
Cintaku Di Kampus Biru (1976)
Mendatangkan nama besar pada Roy Marten dan Rae Sita. Dalam kritiknya yang enak dibaca, Salim Said menggarisbawahi Kampus Biru sebagai judul pertama dalam sejarah film Indonesia yang dengan utuh menyorot dunia kampus. Sutradara Ami Prijono menyadurnya dari Novel populer Ashadi Siregar. Bahkan untuk ukuran sekarang, ceritanya tergolong berani: percintaan mahasiswa dengan dosen perawan tua. Selain mempertontonkan Roy dan Rae berguling-guling di karpet (waktu itu Rae sudah punya anak -- sesuatu yang dikenangnya dengan geli bertahun-tahun ke depan), Kampus Biru disebutkan oleh antropolog Karl G. Heider sebagai film Indonesia pertama dengan adegan ciuman di bibir secara penuh. Inilah film remaja yang paling relevan diulang buat saat ini, sejalan dengan menggiatnya kehidupan kampus tanah air. Berminat?
Setahun kemudian Sjuman Djaya membuat Yang Muda Yang Bercinta dengan segala idealismenya. Hasilnya, Kopkamtib melarang peredarannya di wilayah hukum Kodam Jaya sejak Mei 1978 karena ceritanya yang dinilai menghasut masyarakat. Padahal film yang dimainkan penyair W.S. Rendra, Yatie Octavia, dan Nani Widjaja ini sudah lolos sensor dengan potongan 18 menit. Ceritanya memang tajam, soal mahasiwa penyair yang sok idealis tapi ngumpet waktu pacarnya hamil. Baru pada tahun '90-an film ini diputar dan Rendra dengan bangga mengomentari tubuhnya yang masih liat bak anak muda.
Lalu datanglah era keemasan Rano Karno dan Yessy Gusman yang tak terlupakan. Gita Cinta Dari SMA memfilmkan novel Eddy D. Iskandar. Galih (Rano) dan Ratna (Yessy) sama-sama bintang kelas, sayangnya tak kesampaian menjalin cinta karena ditentang orangtua Ratna. Semua remaja pada zaman itu kepingin jadi Ratna atau Galih dan menggumamkan soundtrack-nya yang indah, hasil karya Guruh Soekarnoputra. Tahun yang sama sudah keluar sekuelnya, Puspa Indah Taman Hati, dengan pemain yang masih sama dan sutradara yang sama pula, Arizal. Di era inilah pemain film muda usia datang bertubi-tubi. Di masa ini pula percintaan yang seringkali diakhiri dengan sedih coba dinetralkan dengn pemunculan peran-peran lucu macam yang biasa dimainkan Pong Hardjatmo, Sussy Bolle, dan Pria Bombom.
Bagaimana sutradara sekelas Teguh Karya memandang remaja? Tengok saja Usia 18 (1980). Yessy yang dalam film-film sebelumnya membawakan percintaan yang begitu-begitu saja diseret dalam hubungan yang lebih rumit dengan Dyan Hasri. Film yang kelewat serius untuk penonton belia, agaknya, sehingga bioskop tak terlalu penuh penonton. Ayu Azhari memulai karier gemilangnya sebagai aktris dalam Akibat Buah Terlarang (1984) yang meneropong kebebasan seks serta tragedi yang mengikutinya. Di era yang sama novel Eddy D. Iskandar tak lagi dirasa relevan. Maka karya-karya Mira W dipilih untuk menggantikan vakum naskah film remaja, maka lahirlah Biarkan Kami Bercinta (1984), Dia Yang Tercinta (1984), Kidung Cinta (1985), Romantika (Galau Remaja di SMA, 1985), dan seterusnya. Paras-paras baru dikenalkan pada penonton, termasuk Paramitha Rusady dan Gusti Randa.
Pada 1985 sekaligus lahir 3 film yang menyorot tren tari kejang (breakdance) yang waktu itu memunculkan polemik, masing-masing Gejolak Kawula Muda, Tari Kejang, dan Tari Kejang Muda-mudi. Karena tak semua orang mahir melakukan gerakan kejang, penari seperti Denny Malik dan Rico Tampatty direkrut sebagai bintang.
Lantas lahirlah idola bernama Onky Alexander dan Ryan Hidayat sebagai Boy yang sempurna dan Lupus yang jahil. Berbeda dengan Rano Karno yang sederhana, Onky dan Ryan berwajah tampan dan licin. Kalau Catatan Si Boy (1987) dan sekuel-sekuelnya diilhami sebuah program radio, Lupus (1987) dan juga sekuel-sekuelnya menyambar novel bestseller Hilman Hariwijaya. Seperti Lupus, Catatan Si Boy yang menurut pengamat film J.B. Kristianto tidak ditemui keistimewaannya kecuali dekat dengan gambaran remaja yang banyak bercanda, kelak terbukti masih laku dijual pada generasi berikutnya. Entah sudah berapa banyak yang menggantikan mendiang Ryan Hidayat sebagai Lupus dalam versi sinetron. Oya, Hilman bahkan diminta main sebagai Lupus dalam Lupus III (1989) setelah penggemar menganggap Ryan kurang pas sebagai Lupus.
Bintang sinetron papan atas saat ini, macam Desy Ratnasari, Dian Nitami, Sophia Latjuba, Nurul Arifin, dan Ari Wibowo pernah mengecap pengalaman sebagai bintang film. Desy yang waktu itu masih belasan tahun antara lain membintangi Olga dan Sepatu Roda (1991); Sophia pernah memeriahkan sekuel Catatan Si Boy di tahun yang sama; Nurul Arifin selain main sebagai pacar Lupus pada 1987 juga membintangi Catatan Si Emon (1991). Mereka beralih dari layar lebar ke kaca teve dengan mulus. Sayang kebanyakan kini terjebak dalam peran yang itu-itu saja di sinetron. Pada 1991 kala nafas film nasional sudah satu-satu, sejumlah mahasiswa, dosen dan alumnus Intitut Kesenian Jakarta memproduksi Rini Tomboy, dibintangi Cornelia Agatha. FFI 1992 memberikan beberapa nominasi dan sejarah mencatatnya sebagai film remaja terakhir sebelum produksi film nasional benar-benar karam.
Bukan mau membangkitkan kembali film Indonesia secara heroik ketika Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas, dan Rizal Mantovani bersusah-payah membuat Kuldesak (1998). Bukan film yang amat berhasil baik secara artistik maupun pasar, namun menjadi semacam penyegaran kalau tidak pemberontakan terhadap paradigma lama film nasional. Dari kasting, cerita, sampai visualiasinya, Kuldesak benar-benar terbebas dari tradisi lama.
Seorang tak dikenal bernama Rudy Soejarwo kemudian datang dengan Bintang Jatuh pada awal 2000. Mulanya film berteknologi digital yang menjadi debut si cantik Dian Sastrowardoyo ini tak bergema, lantaran sistem distribusinya yang independen. Namun berangsur-angsur berbagai kalangan memberikan sambutan positif. Bintang Jatuh-lah yang membuat Mira dan Riri yang barusan saja sukses dengan Petualangan Sherina mempercayakan penyutradaraan Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) ke tangan Rudy. Dipasarkan dengan agresif dan jitu, AADC? dikerubuti penonton sejak hari pertama pemutarannya. Namun apalah artinya pemasaran yang brilian bila isinya kosong melompong? Film yang dibuat puitis dan dijual dengan taktis semacam AADC? menjadi jawaban positif mengenai mungkinkah dan kapankah film kita hidup lagi. Selain menajamkan reputasi Dian Sastro, AADC? juga mendatangkan sensasi baru bernama Nicholas Saputra, yang oleh tabloid ini sudah disampuldepankan 2 kali dalam selisih waktu 1,5 bulan saja.
What's next?
Ditulis Sandra Kartika/berbagai sumber
BINTANG INDONESIA, No.571, TH-XII, MINGGU PERTAMA APRIL 2002
[CATATAN TAMBAHAN]
Banyak yang terjadi di sinema kita setelah tahun 2002 itu. Yang paling dikenang, rekor AADC? Kemudian dipecahkan Eiffel I’m in Love (2003) yang mempertemukan duet Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Filmnya laris ditonton 3 juta pasang mata, mengalahkan AADC? yang konon ditonton 2,7 juta penonton bioskop. Kemudian Heart (2006) berhasil mengharu biru 1,3 juta penonton. Film ini meneguhkan kebintangan Nirina dan melahirkan pasangan remaja Acha Septriasa dan Irwansyah. Duet sejoli Acha-Irwansyah kemudian melahirkan dua film lagi, Love is Cinta (2007) dan yang paling anyar Love Story (2011). Film cinta remaja tak pernah berhenti dibuat walau musim film terus berganti.[sumber;www.tabloidbintang.com]