Menuju Jakarta Baru? Mimin Dwi Hartono ; Aktivis dan Pemerhati HAM |
REPUBLIKA, 20 September 2012
Babak akhir untuk berebut posisi sebagai gubernur/ wakil gubernur DKI Jakarta hari ini, 20 September 2012 digelar. Kedua pasangan calon, yaitu Foke-Nara dan Jokowi-Basuki sudah menyampaikan program kerjanya melalui berbagai media, di antaranya, kampanye di muka masyarakat, debat maupun acara bincang-bicang yang disiarkan di berbagai stasiun televisi, jika terpilih untuk lima tahun mendatang.
Memimpin kota megapolitan Jakarta tentu tidak mudah karena berbagai kepentingan bercampur aduk dan beban yang diemban Jakarta sebagai pusat politik dan ekonomi sangatlah tinggi. Keberhasilan kepemimpinan dan pemerintahan DKI Jakarta tidak semata ditentukan oleh keahlian teknis dan kemampuan pasangan terpilih dalam bi dang tertentu, namun ditentukan oleh kemampuan untuk membangun interaksi dan komunikasi yang sinergis dan konstruktif dengan berbagai pihak, yaitu masyarakat dan aktor-aktor non pemerintahan, seperti LSM, swasta, dan perguruan tinggi. Publik bisa menilai sejauh mana visi, gagasan, dan konsep yang akan dijalankan oleh kedua pasangan calon jika terpilih menjadi gubernur/wakil gubernur lima tahun mendatang. Dengan demikian, diharapkan publik bisa menentukan sikap sesuai dengan hati nurani, pengetahuan, dan wawasannya. Bagi yang tetap memutuskan untuk tidak memilih adalah pilihan yang dijamin dalam Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga tidak bisa dicegah dan dipersalahkan.
Pada pilkada putaran pertama, jumlah pemilih yang tidak mempergunakan hak pilihnya (golongan putih) sangat besar yaitu sekitar 2,5 juta, jauh di atas perolehan suara kedua pasangan calon tersebut. Pasangan calon yang mampu mengenali, mendekati, dan meng ambil hati golongan putih, dipastikan akan menjadi pemenang. Saya memperkirakan jumlah golongan putih akan menurun. Kelompok penentu kemenangan pada putaran kedua adalah para pemilih modern, yaitu mereka yang mempergunakan hak pilihnya secara matang berdasarkan track record para calon, konsep dan gagasan yang diajukan, dan akan secara kritis mengawal proses pemerintahan jika calon yang dipilihnya menjadi pemenang. Atau, menjadi oposisi kritis nonparlementer jika pasangan calon yang dipilihnya kalah.
Sedangkan kategori pemilih kedua adalah pemilih tradisional, yaitu mereka yang mempergunakan hak pilihnya berdasarkan faktor kedekatan secara sosial, politik, dan budaya. Mereka sudah menentukan pilihan, tidak peduli dengan gagasan yang diberikan oleh calon lain. Kelompok ini misalnya adalah pengurus dan aktivis partai politik pendukung calon, pengurus organisasi kemasyarakatan berbasis pada ras, etnis, dan agama. Pandangan saya, sebagian besar pemilih adalah mereka yang masuk sebagai pemilih modern.
Debat kandidat putaran terakhir 16 September 2012 dapat dijadikan sebagai bahan untuk memilah dan memilih pasangan calon dengan mempertimbangkan konsep, gagasan, dan style kedua pasangan calon dalam menyampaikan jawaban atas isu-isu publik. Secara performance, baik dari sisi cara menyampaikan dan substansi, Foke-Nara unggul dari pada pasangan Jokowi-Basuki, karena khususnya Foke, menguasai secara teknis dan berpengalaman sebagai birokrat yang mengenali berbagai isu pembangunan yang krusial di Jakarta. Cara penyampaiannya pun cukup sistematis dan terstruktur, walaupun masih sangat muluk.
Sedangkan pasangan Jokowi-Ahok tidak begitu menguasai secara detail tentang konsep teknis dalam merespons berbagai persoalan publik di Jakarta. Namun, berbekal keberhasilan mereka memimpin daerahnya, mereka menawarkan konsep pendekatan pembangunan yang cukup berbeda, yaitu pemberdayaan komunitas berbasis kampung. Sehingga, bagi masyarakat kelas bawah, apa yang disampaikan oleh pasangan Jokowi-Ahok cukup memberikan harapan untuk lebih memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lapis bawah. Namun, siapa pun yang menjadi pemenang akan menghadapi berbagai persoalan krusial yang tidak mudah dan memerlukan terobosan kebijakan yang bersifat jangka panjang, baik untuk isu transportasi, permukiman, air bersih, banjir, dan sebagainya. Karena itu, sangat penting bagi pasangan yang terpilih nantinya untuk meletakkan landasan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan sehingga akan mampu diteruskan oleh para pengantinya kelak. Di samping itu, gubernur/wakil gubernur mendatang diharuskan untuk mampu membangun interaksi yang aktif dengan masyarakat dan harus mampu memobilisasi aset-aset sosial yang ada di masyarakat untuk membangun partisipasi warga dalam mengidentiļ¬kasi dan menyelesaikan berbagai persoalan di Jakarta. Sebagai ibu kota negara, berbagai institusi pendidikan yang berkualitas tinggi dan para ahli di berbagai bidang tersedia dengan berlimpah.
Demikian juga dengan keberadaan organisasi-organisasi nonpemerintah di berbagai bidang, dari hukum, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kesehatan, konsumen, dan sebagainya. Juga perusahaan-perusahaan besar mempunyai kantor di Jakarta di mana bisnisnya yang tersebar di berbagai daerah di nusantara dikendalikan.
Kesemuanya itu adalah aset bagi pembangunan di Jakarta, sehingga pimpinan Jakarta kelak harus mampu membangun sinergi dan interaksi dengan berbagai aktor tersebut. Gubernur/wakil gubernur DKI Ja karta tidak akan punya otoritas yang mutlak dan tidak bisa arogan dalam menjalankan pemerintahan dan kebijakan pembangunan.
Pemerintahan ke depan akan dikawal dan diawasi oleh berbagai pihak, baik masyarakat, LSM, universitas, dan yang lain. Dengan demikian, beban pemerintah pun juga tidak akan menumpuk di pundak birokrasi, tapi disokong secara bersama-sama dengan berbagai pihak.
Tugas pemerintah adalah memfasilitasi proses untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan demokratis, di mana peran pemerintah yang utama adalah sebagai fasilitator dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan. Sedangkan untuk persoalan lainnya, di antaranya transportasi, air bersih, permukiman, harus dicarikan solusi dengan membangun kerja sama yang sinergis dengan berbagai pihak. ●