Atas Nama Cinta dan Kebencian Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta |
MEDIA INDONESIA, 24 September 2012
Atas nama cinta, sulit untuk tak mengutuk The Innocence of Muslims sebagai kerja hati yang penuh benci terhadap Nabi. Atas nama kebencian, sulit untuk meletakkan akal sehat ketika menimbang dan merasa, di mana sebenarnya letak cinta dan benci kita terhadap sosok Muhammad, nabi panutan akhir zaman. Ada ribuan episode tentang jejak langkah Nabi ketika berjuang. Ada pula begitu banyak contoh teladan yang tidak hanya dibenci para musuhnya, tetapi juga dimusuhi para setan. Lantas, ada apa sebenarnya antara cinta dan benci?
Jangankan manusia, malaikat pun berselawat atas Nabi. Sebagai ahsanal khaliqin, sebaik-baik penciptaan tetapi sekaligus juga manusia biasa (wa ana basyarun mitslukum), sesungguhnya hampir tak ada cela bagi siapa pun untuk mencela dan menghina sosok tersebut sedemikian rupa. Kunci pokok kehidupan sang Nabi ialah kesederhanaan dalam memaknai unsur-unsur duniawi, tetapi memiliki jiwa besar untuk berjuang sepenuh hati dengan keteladanan hakiki serta keyakinan akan hari akhir yang memang pasti. Itulah yang membuat semua makhluk lain, termasuk setan dan jin, menjadi cemburu karena Muhammad merupakan tipikal seorang pengendali hawa nafsu yang sempurna.
Disakiti secara fisik dan nonfisik merupakan bagian dari keseharian Muhammad. Namun, di relung jiwanya tersimpan begitu banyak kata dan sifat sabar dan pemaaf. Dalam QS 7:199, Allah memastikan agar Nabi menjadi orang yang pemaaf, memaknai persoalan dengan mengambil yang mudahnya, terus mengerjakan perbuatan baik (makruf), serta berpaling dari orang-orang yang jahil (bodoh). Kebodohanlah yang memerangkap para musuh Nabi dengan kebencian karena memang benci adalah tanda tak mampu.
Sam Bacile dan Terry Jones yang membuat The Innocence of Muslims adalah perlambang kebencian, yang sangat pasti berbalut kebodohan. Kebodohan serupa pernah juga dilakukan koran Jyllands Posten (Denmark) pada 2005 yang memuat kartun Nabi Muhammad dan Geert Wilders (seorang politikus di Belanda) yang membuat film anti-Alquran, serta banyak media di Prancis yang minggu lalu merilis kartun-kartun Nabi Muhammad yang sekali lagi, itu mengesankan kebodohan dan kebencian serupa.
Kebodohan jenis itu sangat jelas diselimuti kebencian (sejenis Islamic threat) yang sudah ratusan tahun tumbuh dan berkembang di Barat. Beberapa literatur mengonfirmasi hal tersebut. Edward Gibbon (1974) yang menulis buku The Decline and Fall of The Roman Empire, misalnya, pernah memuat mitos populer tentang ancaman Islam. Mitos tersebut menceritakan Nabi Muhammad dengan tangannya yang masing-masing memegang Alquran dan pedang mendirikan kekuasaannya di atas reruntuhan Kristen. Belum lagi buku John L Esposito (1993), The Islamic Threat, Myth or Reality, juga menggambarkan fenomena ketakutan yang terjadi di masyarakat Barat.
Dalam konteks dan kejadian hari ini, peranan para penguasa (politik dan media massa) dalam menyebarkan ketakutan itu bisa jadi memang sengaja dilakukan, termasuk cara-cara bodoh seperti film pendek The Innocence of Muslims. Mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel (1997) dalam buku klasiknya, Islam and the West: The Making of an Image. Yang relatif baru ialah publikasi dan provokasi dari Bernard Lewis (2001) dalam The Muslim Discovery of Europe, yang jelas-jelas menggambarkan dan memosisikan Islam sebagai ‘lawan baru’ bagi Barat pascaruntuhnya komunisme. Hipotesis Lewis bahkan bisa jadi merupakan asumsi sumir berbalut kebencian tanpa dasar karena meyakini bahwa sejak awal perkembangannya, Islam telah menjadi ancaman bagi eksistensi Barat.
Keberadaan media massa juga turut berpartisipasi memperbesar ketakutan Barat akan Islam. Apalagi jika dikaitkan dengan isu terorisme, semakin terlihat sempurna penyebab ketakutan dan kebencian itu bermuasal. Citra bahwa Islam antisosial atau tidak ramah sosial akan terbentuk dengan sendirinya terutama di kalangan Barat. Sekali lagi, media massa sangat berperan penting dalam penyebaran isu dan karena itu perlu ada strategi jitu, terutama untuk Indonesia, agar semua jenis berita bisa disikapi secara arif dan bijaksana.
Sebagai model of living values, Nabi Muhammad jelas memiliki begitu banyak rekam jejak yang harus ditiru umatnya, di mana pun mereka berada. Dalam sejarahnya, apa yang pernah Nabi lakukan biasanya baru terlihat belakangan, setelah orang mengerti maksud serta tujuan dari tindakan dan perilaku Nabi. Bahkan tak jarang, efek setiap tindakan Nabi memberikan pengaruh yang luar biasa, baik kepada pengikutnya maupun musuh-musuhnya. Tak sedikit di antara musuh-musuhnya pada akhirnya bersimpati, mendukung, bahkan akhirnya berjuang untuk Islam karena kemuliaan yang ditampilkan Nabi.
Bagi saya, semua manusia, apa pun latar belakang agama dan kepercayaan mereka, jika tak mampu memiliki hati yang jujur, penyabar, dan pemaaf, dapat dipastikan akan selalu mencemburui sang Nabi. Pada titik tertentu, kecemburuan tersebut menjadi kebodohan dan kezaliman yang akan merugikan kehidupan orang lain. Itulah sesuatu yang selalu ingin dihindari dalam praktik kehidupan sang Nabi. Kehidupan Muhammad fase awal ketika di Mekah yang selalu mengedepankan pesan sabar, pemaaf, dan rendah hati merupakan tonggak dan titik tumpu pesan perjuangan Islam yang tak boleh dilupakan umat Islam.
Pesan itu bahkan tak pernah berhenti hingga Nabi hijrah ke Madinah dan kembali lagi ke Mekah (fathu Makkah) dengan membawa kemenangan politik, tetapi berlandaskan kemenangan moral. Nabi selalu memberi ampun orang-orang yang pernah menghinanya dan membiarkan Mekah menjadi saksi tentang perilaku teladan sang Nabi yang tak pernah surut oleh kebencian orang lain. Nabi adalah tonggak penghapus rasa kebencian dan permusuhan untuk semua manusia. Allahumma antassalam, wa minkassalam, wa alaika ya’udussalam, wa adkhilna jannata darassalam.●