Fenomena Muslim Indonesia Saiful Mujani ; Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) |
SINDO, 24 September 2012
Menurut versi quick count semua lembaga yang melakukannya, pasangan Jokowi-Ahok terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Kemenangan ini sangat fenomenal, menunjukkan sebuah perubahan politik yang berarti kalau memperhatikan sejarah politik kota ini dan kalau merenungkan siapa Jokowi dan siapa pula Ahok.
Sejarah politik Jakarta adalah sejarah politik kaum ningrat atau teknokrat (birokrat, tentara), terutama selama periode Orde Baru.Gubernur pertama Jakarta, Raden Suwiryo, adalah seorang ningrat dari Wonogiri,Jawa Tengah.Di awal Orde Baru, gubernur Jakarta seorang perwira tinggi angkatan laut, Ali Sadikin. Di zaman Reformasi awal juga perwira tinggi angkatan darat, Sutiyoso. Terakhir sekarang adalah Fauzi Bowo, seorang menak Jakarta, teknokrat berpendidikan doktor dari Jerman.
Profil ini sangat kontras dengan seorang Joko Widodo, seorang pedagang mebel di Solo. Ia bukan dari kasta ksatria, apalagi brahmana.Ia hanyalah seorang waisya,yang tidak pantas menjadi penguasa, apalagi untuk sebuah ibu kota negeri, kalau memperhatikan sejarah politik kota ini. Tapi, Jokowi dipilih warga untuk menjadi orang nomor satu di Ibu Kota ini. Ini sebuah perubahan politik penting.
Kelas Menengah
Reformasi dan pemilihan langsung memungkinkan seorang berlatar belakang pedagang menengah seperti Jokowi menjadi penguasa Ibu Kota. Peluang untuk perubahan politik ini dimungkinkan karena pemilih Jakarta yang proporsi kelas menengahnya sangat besar. Pendapatan per kapita rata-rata warga Jakarta, sekitar USD11.000, sangat tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata nasional (sekitar USD4.000).
Bersamaan dengan itu, tingkat pendidikan juga sangat tinggi. Sebagian besar warga berpendidikan SLTA ke atas, sementara di tingkat nasional mayoritas masih SD. Warga dengan profil sosialekonomi seperti itu merupakan tulang punggung APBD. Walaupun belum maksimal, mereka adalah pembayar pajak, yang merupakan komponen sangat besar bagi APBD. Tanpa pajak, Ibu Kota lumpuh. Merekalah tuan atau penguasa sebenarnya kota ini. Mereka banyak bekerja di sektor swasta dan profesional.
Karena itu, mereka sangat independen dari negara atau pemerintah. Sadar menjadi tulang punggung negara, kelas menengah ini menjadi sangat kritis; banyak minta pertanggung jawaban penyelenggaraan negara karena merasa membiayainya. Perkembangan kelas menengah ini berbarengan dengan revolusi teknologi informasi. Mereka punya kemampuan untuk mengakses berbagai macam informasi dengan relatif sangat cepat, dalam hitungan detik, karena tersedianya media elektronik terutama televisi (TV), internet, dan media sosial.
Sebagai bagian dari kelas menengah, pelaku media massa tersebut juga cenderung bersikap independen, kritis, dan banyak menuntut kinerja penguasa. Mereka bukan hanya ”media netral” yang menyampaikan berbagai informasi yang berkembang di masyarakat, tapi juga ”aktivis” yang punya preferensi dan framing terhadap berbagai informasi. Preferensi mereka kurang lebih mencerminkan kecenderungan sikap politik kelas menengah yang sangat banyak menuntut pelayanan negara itu.
Trial and Error
Tuntutan kelas menengah ini sangat konkret. Kemacetan Ibu Kota adalah kehidupan sehari- hari yang mereka alami, terutama karena banyak dari mereka sehari-hari menggunakan kendaraan pribadi. Mereka menilai pemerintah yang sedang berkuasa sekarang gagal menanggulangi masalah yang sangat konkret ini. Incumbent telah bekerja lima tahun dan tidak terasa ada perbaikan yang berarti. Kelas menengah ini tidak bisa diyakinkan dengan penjelasan dan janji di ujung masa kekuasaannya pada masa kampanye.
Mereka tidak bisa diyakinkan dengan spanduk atau selebaran pada masa kampanye. Mereka tidak mau tahu bagaimana rumitnya menata Jakarta, terutama transportasi. Pokoknya ente gagal; harus diganti! Mereka berspekulasi siapa tahu orang baru bisa melakukan sesuatu. Mereka membangun harapan. Apakah akan terwujud harapan itu, lihat nanti. Kalau tidak, ya ganti lagi. Itulah demokrasi dan politik kelas menengah.Trial and error.
Dalam demokrasi tidak ada yang pasti. Intinya adalah keterbukaan, kompetisi, dan mau mencoba. Grivance atau ”kemarahan” kelas menengah pada incumbent ini menyebar luas dan tersambung menjadi jaringan politik karena bantuan media informasi yang sangat maju itu. Ditambah dengan framing media sendiri yang sama dengan kemarahan mereka. Kemarahan ini tidak bisa dipadamkan dalam hitungan bulan.
Tidak Harus Seiman
Segala cara dipakai untuk memadamkan ”kemarahan” ini. Yang dipercaya ampuh untuk memadamkan itu adalah agama. Ada inisiatif dan langkah-langkah dari warga pendukung incumbent untuk menggunakan agama sebagai air penyiram kemarahan itu. Langkah ini bersumber dari fakta bahwa pemilih Jakarta 85% beragama Islam. Kalau identitas agamanya disentuh, kemarahan itu diharapkan mereda.
Mereka diyakini akan mendukung pasangan calon yang seiman. Personal MUI bahkan turun tangan untuk memfatwakan keyakinan tersebut. Dalam pasangan Jokowi- Ahok rasa seiman itu memang tidak terpenuhi karena Ahok seorang Kristen. Agama Jokowi dan keluarganya juga dipertanyakan untuk meredakan kemarahan muslim kelas menengah atas kinerja incumbenttersebut. Tapi, muslim kelas menengah kelihatannya tidak mendengar kampanye tersebut.
Menurut observasi kami, menjelang pilkada putaran kedua bahkan lebih banyak dari muslim Jakarta yang meyakini bahwa agama Islam tidak melarang memilih pemimpin yang tidak seiman daripada yang meyakini sebaliknya. Apakah karena muslim Jakarta abangan? Hanya mengaku beragama Islam, tapi tidak menjalankan perintah agamanya? Mungkin. Tapi, kalau abangan diukur dari ritual Islam sebagaimana dijadikan makna dalam studi klasik Geertz, the Religion of Java, mereka umumnya bukan abangan.
Mereka santri. Kelas menengah muslim ini berada dalam arus ”Islam yes, partai Islam no.” Atau kalau dalam pilkada, ”Islam yes, calon gubernur atas nama Islam no.” Mereka membedakan antara agama dan politik. ”Kalah”- nya daya tarik agama oleh kekecewaan terhadap kinerja incumbentmenunjukkan agama menjadi tidak penting untuk politik kelas menengah muslim Jakarta pada umumnya. Ini bukan berarti agama tidak penting.
Ia tetap penting secara personal (salat, puasa, dan sebagainya) dan sosial (pengajian, ormas agama, dan sebagainya). Sekularisasi politik tampaknya telah menjadi bagian dari kehidupan kelas menengah muslim Jakarta. Mereka membedakan wilayah agama dan wilayah politik. Inilah basis nilai-nilai politik yang membuat kemarahan kelas menengah muslim pada kinerja incumbent tetap membara sekalipun telah disiram sepotong ayat. ●
Profil ini sangat kontras dengan seorang Joko Widodo, seorang pedagang mebel di Solo. Ia bukan dari kasta ksatria, apalagi brahmana.Ia hanyalah seorang waisya,yang tidak pantas menjadi penguasa, apalagi untuk sebuah ibu kota negeri, kalau memperhatikan sejarah politik kota ini. Tapi, Jokowi dipilih warga untuk menjadi orang nomor satu di Ibu Kota ini. Ini sebuah perubahan politik penting.
Kelas Menengah
Reformasi dan pemilihan langsung memungkinkan seorang berlatar belakang pedagang menengah seperti Jokowi menjadi penguasa Ibu Kota. Peluang untuk perubahan politik ini dimungkinkan karena pemilih Jakarta yang proporsi kelas menengahnya sangat besar. Pendapatan per kapita rata-rata warga Jakarta, sekitar USD11.000, sangat tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata nasional (sekitar USD4.000).
Bersamaan dengan itu, tingkat pendidikan juga sangat tinggi. Sebagian besar warga berpendidikan SLTA ke atas, sementara di tingkat nasional mayoritas masih SD. Warga dengan profil sosialekonomi seperti itu merupakan tulang punggung APBD. Walaupun belum maksimal, mereka adalah pembayar pajak, yang merupakan komponen sangat besar bagi APBD. Tanpa pajak, Ibu Kota lumpuh. Merekalah tuan atau penguasa sebenarnya kota ini. Mereka banyak bekerja di sektor swasta dan profesional.
Karena itu, mereka sangat independen dari negara atau pemerintah. Sadar menjadi tulang punggung negara, kelas menengah ini menjadi sangat kritis; banyak minta pertanggung jawaban penyelenggaraan negara karena merasa membiayainya. Perkembangan kelas menengah ini berbarengan dengan revolusi teknologi informasi. Mereka punya kemampuan untuk mengakses berbagai macam informasi dengan relatif sangat cepat, dalam hitungan detik, karena tersedianya media elektronik terutama televisi (TV), internet, dan media sosial.
Sebagai bagian dari kelas menengah, pelaku media massa tersebut juga cenderung bersikap independen, kritis, dan banyak menuntut kinerja penguasa. Mereka bukan hanya ”media netral” yang menyampaikan berbagai informasi yang berkembang di masyarakat, tapi juga ”aktivis” yang punya preferensi dan framing terhadap berbagai informasi. Preferensi mereka kurang lebih mencerminkan kecenderungan sikap politik kelas menengah yang sangat banyak menuntut pelayanan negara itu.
Trial and Error
Tuntutan kelas menengah ini sangat konkret. Kemacetan Ibu Kota adalah kehidupan sehari- hari yang mereka alami, terutama karena banyak dari mereka sehari-hari menggunakan kendaraan pribadi. Mereka menilai pemerintah yang sedang berkuasa sekarang gagal menanggulangi masalah yang sangat konkret ini. Incumbent telah bekerja lima tahun dan tidak terasa ada perbaikan yang berarti. Kelas menengah ini tidak bisa diyakinkan dengan penjelasan dan janji di ujung masa kekuasaannya pada masa kampanye.
Mereka tidak bisa diyakinkan dengan spanduk atau selebaran pada masa kampanye. Mereka tidak mau tahu bagaimana rumitnya menata Jakarta, terutama transportasi. Pokoknya ente gagal; harus diganti! Mereka berspekulasi siapa tahu orang baru bisa melakukan sesuatu. Mereka membangun harapan. Apakah akan terwujud harapan itu, lihat nanti. Kalau tidak, ya ganti lagi. Itulah demokrasi dan politik kelas menengah.Trial and error.
Dalam demokrasi tidak ada yang pasti. Intinya adalah keterbukaan, kompetisi, dan mau mencoba. Grivance atau ”kemarahan” kelas menengah pada incumbent ini menyebar luas dan tersambung menjadi jaringan politik karena bantuan media informasi yang sangat maju itu. Ditambah dengan framing media sendiri yang sama dengan kemarahan mereka. Kemarahan ini tidak bisa dipadamkan dalam hitungan bulan.
Tidak Harus Seiman
Segala cara dipakai untuk memadamkan ”kemarahan” ini. Yang dipercaya ampuh untuk memadamkan itu adalah agama. Ada inisiatif dan langkah-langkah dari warga pendukung incumbent untuk menggunakan agama sebagai air penyiram kemarahan itu. Langkah ini bersumber dari fakta bahwa pemilih Jakarta 85% beragama Islam. Kalau identitas agamanya disentuh, kemarahan itu diharapkan mereda.
Mereka diyakini akan mendukung pasangan calon yang seiman. Personal MUI bahkan turun tangan untuk memfatwakan keyakinan tersebut. Dalam pasangan Jokowi- Ahok rasa seiman itu memang tidak terpenuhi karena Ahok seorang Kristen. Agama Jokowi dan keluarganya juga dipertanyakan untuk meredakan kemarahan muslim kelas menengah atas kinerja incumbenttersebut. Tapi, muslim kelas menengah kelihatannya tidak mendengar kampanye tersebut.
Menurut observasi kami, menjelang pilkada putaran kedua bahkan lebih banyak dari muslim Jakarta yang meyakini bahwa agama Islam tidak melarang memilih pemimpin yang tidak seiman daripada yang meyakini sebaliknya. Apakah karena muslim Jakarta abangan? Hanya mengaku beragama Islam, tapi tidak menjalankan perintah agamanya? Mungkin. Tapi, kalau abangan diukur dari ritual Islam sebagaimana dijadikan makna dalam studi klasik Geertz, the Religion of Java, mereka umumnya bukan abangan.
Mereka santri. Kelas menengah muslim ini berada dalam arus ”Islam yes, partai Islam no.” Atau kalau dalam pilkada, ”Islam yes, calon gubernur atas nama Islam no.” Mereka membedakan antara agama dan politik. ”Kalah”- nya daya tarik agama oleh kekecewaan terhadap kinerja incumbentmenunjukkan agama menjadi tidak penting untuk politik kelas menengah muslim Jakarta pada umumnya. Ini bukan berarti agama tidak penting.
Ia tetap penting secara personal (salat, puasa, dan sebagainya) dan sosial (pengajian, ormas agama, dan sebagainya). Sekularisasi politik tampaknya telah menjadi bagian dari kehidupan kelas menengah muslim Jakarta. Mereka membedakan wilayah agama dan wilayah politik. Inilah basis nilai-nilai politik yang membuat kemarahan kelas menengah muslim pada kinerja incumbent tetap membara sekalipun telah disiram sepotong ayat. ●