Satu Ronde Oleng, Dua Ronde Terguling M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia |
SINDO, 24 September 2012
Cassius Clay—kelak menjadiMuhammad Aliyang legendaris di dunia tinju—memulai kariernya yang gemilang sebagai juara tinju Olimpiade di Roma tahun 1960. Tahun 1964 dia menantang juara dunia Sonny Liston yang menakutkan.
Kumisnya tidak lebat dan tidak hitam, tapi dia singa yang bisa menerkam lawan-lawannya. Dunia tinju memihak dia dan orang-orang kulit putih Amerika membenci Clay dengan mengata-ngatai “negro”,“si hitam”. Dan Clay heran setengah mati menghadapi sikap orangorang kulit putih itu. “Seolah Liston itu bukan orang kulit hitam,” kata Clay, anak umur dua puluhan tahun yang tak kenal takut sedikit pun. Saat itu dia yakin,dia bakal menjadi juara dunia tinju, merobohkan Liston.
Itulah kisah “anak muda” yang belum begitu berprestasi, tapi memiliki tanda-tanda kebesaran yang jelas, melawan “orang tua”yang memiliki sindrom kebesaran dan memandang dirinya lebih besar dari kenyataannya. Ada kesombongan orang tua yang melekat di dalam dirinya. Kelompok fanatik pembenci Clay dan pencinta Liston menyebar berita ancaman, Clay mau ditembak di atas ring kalau Liston kalah. Wartawan, kaum fanatik, dan orang putih pada umumnya serentak membela Liston sambil ikut membenci Clay.
Ada kisah nenek-nenek yang kebenciannya terhadap Clay begitu memuncak. Dan itu tadi: Clay heran, orang-orang itu sudah buta, seolah Liston bukan orang kulit hitam. Liston sendiri justru gemetaran menghadapi Clay yang lincah seperti anak kijang. Sorot mata Clay memancarkan tantangan. Mata Liston penuh kebencian. Tapi karena kurang dukungan stamina, Liston tak bisa meneruskan perlawanan.
Clay menang. Ia pun melompat, berteriak, melompat lagi, dan berteriak lagi. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta memiliki aroma politik yang sama dengan suasana perebutan gelar juara dunia tinju di Miami, Florida, tahun 1964, yang menandai kebesaran Clay, yang kemudian kita kenal sebagai Muhammad Ali. Ini juga pasangan orang tua melawan anak muda. Di hari-hari sebelum kampanye dimulai, orang tua ini sesumbar.
“Satu putaran,” katanya penuh keyakinan. Enam pasangan calon semua diremehkan. Seolah semua lemah. Dia tak tahu, di dalam enam pasangan itu ada pasangan anak-anak muda, bukan politisi, bukan termasuk kaum terpelajar—biarpun sekolah mereka tinggi—dan tak direken. Di sini ada catatan kecil buat orang banyak: dalam ajaran, sombong tak dibolehkan.
Tapi apa yang tak dibolehkan itu agaknya bisa dipahami dan ada toleransi terhadapnya jika sombong itu dimainkan sekadar sebagai strategi politik, bukan sombong psikologis dan pribadi. Pendeknya, sombong politik,sombong untuk strategi boleh.Tapi sombong tak boleh kosong. Ini penting buat siapa saja. Para tokoh politik, birokrat, dan profesi apa pun boleh memainkan kartu “sombong” sebagai strategi menggertak lawan.
Tapi jangan main kartu kosong. Kita hanya bisa menduga, apa yang dilakukan pasangan gubernur itu. Kita tak tahu persis adakah dia sombong kosong atau berisi.Tapi kita tahu kenyataan riil di lapangan: di ronde satu itu dia oleng. Maunya satu putaran dan menang meyakinkan, tapi sebaliknya: dia kalah telak. Ini peristiwa mengejutkan, memalukan, dan menakutkan sekaligus. Jiwanya oleng.
Dunia gelap di sekitarnya,ditutup rapat oleh kejutan, rasa malu, dan ketakutan tadi. Bagaimana bisa? Selisih perolehan suaranya 10% di bawah perolehan lawannya yang paling muda: Jokowi- Basuki. Apa bedanya dari suasana jiwa yang dihadapi Liston tahun 1964 di Florida, ketika si bocah Clay, yang lincah, menghajarnya dengan jab, jab tajam, lincah, dan cepat dikombinasi upper cut yang tak terduga, yang membuat goyah, dan dunianya oleng, bahkan sekaligus “terguling” karena sejak itu dia “tamat” sebagai petinju? Jokowi-Basuki ditempatkannya sebagai musuh bebuyutan.
Gerakan menghadapinya dahsyat, tapi ompong. Kekuatan partai bergabung jadi satu. Back up Istana jelas dan meyakinkan.Partai-partai pun mengeroyok.Amien Rais ikut berkomentar: sebuah komentar ompong yang memalukan. Jokowi-Basuki yakin yang memilih mereka bukan partai. Jadi partai-partai boleh bergabung melawannya. Mereka tidak takut. Dan di depan mata publik seluruh Indonesia—bukan hanya Jakarta—, mereka mempermalukan diri sendiri. Dalam debat para calon di Metro TV kelihatan betapa memalukannya.
Orang-orang tua itu tampak emosi, marah, dan meremehkan lawan. Dan menghadapi orang tua yang rapuh, karena sudah digerogoti kemarahan dan rasa cemas dari dalam, kedua anak muda itu makin kalem. Basuki mentereng sekali. Tampak dia cerdas dan lihai melawan ejekan orang tua kepada anak muda. Jokowi pun begitu. Sikap meremehkan lawannya tak dilayani. Dia bicara dalam bahasa program. Dia juga tak peduli kepada Najwa yang pertanyaan-pertanyaannya menyodok, mengejar, menyelidik, dan memojokkan.
Apa tak ada pertanyaan datar, tapi tetap cerdas, tetap mengajak berpikir rasional dan membuat pihak lain merasa lebih terbuka? Jokowi fokus. Musuhnya, pasangan lawan dan Najwa, yang mencecar seperti jaksa penuntut umum diabaikan. Dia konsisten dengan program, dengan rasionalitas, dengan segenap nalar sehat, yang berkebalikan dengan sikap orang tua yang grogi dan marah. Ini sangat kelihatan di wajah orang tua itu.
Dan malam itu kemenangan sudah ditentukan. Pertarungan lisan itu mencerminkan dengan jelas pertarungan yang bakal terjadi keesokan harinya. Itulah ronde kedua, putaran kedua, yang menentukan. Orang boleh berdebar, boleh tidak. Tapi hitungan perasaan: kekecewaan, kemarahan, kejengkelan, kepada satu pihak dan simpati, dukungan, dorongan dengan energi positif dari jarak jauh, dan harapan di pihak lain memberi tahu kita siapa bakal keluar sebagai pemenang.
Dan perasaan itu benar. Pihak yang lebih muda, dengan rasionalitas, semangat, kompetensi teknis, dan kalkulasi politik mapan yang menang. Superioritas, sikap marah, arogan, dan meremehkan lawan oleng di ronde pertama dan terguling di ronde kedua. Dan terguling selamanya seperti Liston yang tak pernah bangkit selama di atas ring Ali masih menari-nari. Jokowi memang hebat dan Basuki luar biasa. ●
Itulah kisah “anak muda” yang belum begitu berprestasi, tapi memiliki tanda-tanda kebesaran yang jelas, melawan “orang tua”yang memiliki sindrom kebesaran dan memandang dirinya lebih besar dari kenyataannya. Ada kesombongan orang tua yang melekat di dalam dirinya. Kelompok fanatik pembenci Clay dan pencinta Liston menyebar berita ancaman, Clay mau ditembak di atas ring kalau Liston kalah. Wartawan, kaum fanatik, dan orang putih pada umumnya serentak membela Liston sambil ikut membenci Clay.
Ada kisah nenek-nenek yang kebenciannya terhadap Clay begitu memuncak. Dan itu tadi: Clay heran, orang-orang itu sudah buta, seolah Liston bukan orang kulit hitam. Liston sendiri justru gemetaran menghadapi Clay yang lincah seperti anak kijang. Sorot mata Clay memancarkan tantangan. Mata Liston penuh kebencian. Tapi karena kurang dukungan stamina, Liston tak bisa meneruskan perlawanan.
Clay menang. Ia pun melompat, berteriak, melompat lagi, dan berteriak lagi. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta memiliki aroma politik yang sama dengan suasana perebutan gelar juara dunia tinju di Miami, Florida, tahun 1964, yang menandai kebesaran Clay, yang kemudian kita kenal sebagai Muhammad Ali. Ini juga pasangan orang tua melawan anak muda. Di hari-hari sebelum kampanye dimulai, orang tua ini sesumbar.
“Satu putaran,” katanya penuh keyakinan. Enam pasangan calon semua diremehkan. Seolah semua lemah. Dia tak tahu, di dalam enam pasangan itu ada pasangan anak-anak muda, bukan politisi, bukan termasuk kaum terpelajar—biarpun sekolah mereka tinggi—dan tak direken. Di sini ada catatan kecil buat orang banyak: dalam ajaran, sombong tak dibolehkan.
Tapi apa yang tak dibolehkan itu agaknya bisa dipahami dan ada toleransi terhadapnya jika sombong itu dimainkan sekadar sebagai strategi politik, bukan sombong psikologis dan pribadi. Pendeknya, sombong politik,sombong untuk strategi boleh.Tapi sombong tak boleh kosong. Ini penting buat siapa saja. Para tokoh politik, birokrat, dan profesi apa pun boleh memainkan kartu “sombong” sebagai strategi menggertak lawan.
Tapi jangan main kartu kosong. Kita hanya bisa menduga, apa yang dilakukan pasangan gubernur itu. Kita tak tahu persis adakah dia sombong kosong atau berisi.Tapi kita tahu kenyataan riil di lapangan: di ronde satu itu dia oleng. Maunya satu putaran dan menang meyakinkan, tapi sebaliknya: dia kalah telak. Ini peristiwa mengejutkan, memalukan, dan menakutkan sekaligus. Jiwanya oleng.
Dunia gelap di sekitarnya,ditutup rapat oleh kejutan, rasa malu, dan ketakutan tadi. Bagaimana bisa? Selisih perolehan suaranya 10% di bawah perolehan lawannya yang paling muda: Jokowi- Basuki. Apa bedanya dari suasana jiwa yang dihadapi Liston tahun 1964 di Florida, ketika si bocah Clay, yang lincah, menghajarnya dengan jab, jab tajam, lincah, dan cepat dikombinasi upper cut yang tak terduga, yang membuat goyah, dan dunianya oleng, bahkan sekaligus “terguling” karena sejak itu dia “tamat” sebagai petinju? Jokowi-Basuki ditempatkannya sebagai musuh bebuyutan.
Gerakan menghadapinya dahsyat, tapi ompong. Kekuatan partai bergabung jadi satu. Back up Istana jelas dan meyakinkan.Partai-partai pun mengeroyok.Amien Rais ikut berkomentar: sebuah komentar ompong yang memalukan. Jokowi-Basuki yakin yang memilih mereka bukan partai. Jadi partai-partai boleh bergabung melawannya. Mereka tidak takut. Dan di depan mata publik seluruh Indonesia—bukan hanya Jakarta—, mereka mempermalukan diri sendiri. Dalam debat para calon di Metro TV kelihatan betapa memalukannya.
Orang-orang tua itu tampak emosi, marah, dan meremehkan lawan. Dan menghadapi orang tua yang rapuh, karena sudah digerogoti kemarahan dan rasa cemas dari dalam, kedua anak muda itu makin kalem. Basuki mentereng sekali. Tampak dia cerdas dan lihai melawan ejekan orang tua kepada anak muda. Jokowi pun begitu. Sikap meremehkan lawannya tak dilayani. Dia bicara dalam bahasa program. Dia juga tak peduli kepada Najwa yang pertanyaan-pertanyaannya menyodok, mengejar, menyelidik, dan memojokkan.
Apa tak ada pertanyaan datar, tapi tetap cerdas, tetap mengajak berpikir rasional dan membuat pihak lain merasa lebih terbuka? Jokowi fokus. Musuhnya, pasangan lawan dan Najwa, yang mencecar seperti jaksa penuntut umum diabaikan. Dia konsisten dengan program, dengan rasionalitas, dengan segenap nalar sehat, yang berkebalikan dengan sikap orang tua yang grogi dan marah. Ini sangat kelihatan di wajah orang tua itu.
Dan malam itu kemenangan sudah ditentukan. Pertarungan lisan itu mencerminkan dengan jelas pertarungan yang bakal terjadi keesokan harinya. Itulah ronde kedua, putaran kedua, yang menentukan. Orang boleh berdebar, boleh tidak. Tapi hitungan perasaan: kekecewaan, kemarahan, kejengkelan, kepada satu pihak dan simpati, dukungan, dorongan dengan energi positif dari jarak jauh, dan harapan di pihak lain memberi tahu kita siapa bakal keluar sebagai pemenang.
Dan perasaan itu benar. Pihak yang lebih muda, dengan rasionalitas, semangat, kompetensi teknis, dan kalkulasi politik mapan yang menang. Superioritas, sikap marah, arogan, dan meremehkan lawan oleng di ronde pertama dan terguling di ronde kedua. Dan terguling selamanya seperti Liston yang tak pernah bangkit selama di atas ring Ali masih menari-nari. Jokowi memang hebat dan Basuki luar biasa. ●