Menteri Pertahanan (Menhan) RI Purnomo Yusgiantoro melakukan pertemuan khusus dengan Menhan Amerika Serikat Leon Panetta. Pertemuan itu berlangsung sekitar satu jam. Menurut laporan sejumlah media, Menhan Purnomo melaporkan perkembangan situasi di Papua.
Pertemuan ini melahirkan pertanyaan: Dalam hal apa seorang Menhan Indonesia melapor kepada Menhan Amerika Serikat. Bukankah hal ini menunjukkan seolah-olah Menhan Indonesia berada dibawah “komando” Menhan AS. Apalagi, Amerika Serikat punya kepentingan sangat besar di Papua, yakni keberadaan PT. Freeport.
Kemudian, pertemuan Menhan Purnomo Yusgiantoro dengan Menhan AS membenarkan laporan Wikileaks dua bulan lalu, bahwa Amerika Serikat memelihara sejumlah menteri dalam kabinet SBY-Budiono.
Dalam dokumen Wikileaks itu, nama Purnomo Yusgiantoro juga disebut. Di dokumen itu dituliskan pujian Kedubes AS terhadap Purnomo Yusgiantoro: “… telah bekerja dengan kita dahulu untuk hal kontra-terorisme, energi, dan lainnya.”
Dokumen Wikileaks juga menyebutkan sejumlah nama menteri yang lain, seperti Endang Rahayu Sedyaningsih, Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Marty Muliana Natalegawa, dan Djoko Suyanto. Akan tetapi, kabar kedekatan antara pemerintahan SBY-Budiono dengan pemerintah Amerika Serikat bukan hal baru.
Sebelumnya, sudah tersiar kabar bahwa AS turut bermain dan berkontribusi dalam mengantarkan SBY-Budiono sebagai pemenang pemilu. Namun, hal itu belum bisa dibuktikan secara faktual. Tetapi, dalam periode pertama kekuasaannya, SBY telah menjadi “anak emas” AS. ‘The Times India’ bahkan menyebut SBY sebagai presiden paling ramah terhadap modal asing.
Lihat pula bagaimana pemerintahan SBY-Budiono memperlakukan tamu-tamu asingnya. Jika tamunya datang dari negara biasa saja, tidak terlalu kuat secara ekonomi dan politik, maka sambutannya pun biasa-biasa saja. Tetapi jika yang datang adalah tamu dari negeri paman sam, maka beberapa bulan sebelum hari H sudah terjadi kehebohan luar biasa dan persiapan penyambutan yang tak kalah mewahnya.
Pada tahun 2006, untuk menyambut kedatangan Presiden AS, George W Bush, SBY membuatkan landasan helikopter (’helipad’) di kebun raya Bogor. Hal mana tidak pernah dilakukan terhadap pemimpin negara lain. Penyambutan mewah juga dilakukan SBY saat menerima kunjungan Barack Obama.
Tentu saja hal itu merupakan masalah bagi bangsa yang mengaku “sudah merdeka”. Sebab, ketundukan yang terlalu berlebihan, bahkan rela dikontrol dan didikte di segala bidang, menunjukkan bahwa Indonesia tak ubahnya menjadi salah satu provinsi Amerika Serikat. Bahkan cara AS memperlakukan Indonesia jauh lebih ketat ketimbang perlakuan terhadap negara-negara bagiannya sendiri.
Lihat pula bagaimana kepatuhan SBY menjalani resep ekonomi dari Amerika: ‘Washington Consensus‘. Dalam dua periode pemerintahannya, SBY berhasil mengubah haluan perekonomian Indonesia benar-benar liberal. Bahkan, kendati konstitusi Indonesia menolak faham neoliberalisme, tetapi SBY tetap saja menganut neoliberalisme itu. SBY tidak tunduk kepada konstitusi nasional kita (UUD 1945), melainkan tunduk kepada dikte dan perintah Washington.
Pemerintahan Indonesia pun sebagian besar diisi oleh orang-orang didikan Amerika. Sejak kembalinya kolonialisme sejak tahun 1967, orang-orang “mafia barkeley” sudah menduduki pemerintahan dan memainkan peranan strategis. Mereka pula yang mengubah haluan ekonomi Indonesia menjadi pro-liberal.
Orang-orang Indonesia yang berkualitas, punya dedikasi terhadap kepentingan nasional dan keberpihakan terhadap rakyat, belum tentu bisa menduduki jabatan pemerintahan. Jangan harap orang yang berfikiran nasionalis dan kerakyatan bisa memasuki pemerintahan SBY.
Nasib Indonesia sekarang tidak berbeda jauh dengan “Hindia-Belanda” di masa lalu. Bedanya: sekarang tidak ada pendudukan militer AS secara langsung terhadap sebagian besar teritori Indonesia dan para pejabat pemerintah Indonesia masihlah orang-orang Indonesia sendiri.
Kenyataan itu persis dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, “imperialisme yang ‘overheersen’ (memerintah) bisa saja lenyap, tetapi imperialisme yang ‘beheersen’ (menguasai) masih tetap tinggal“. Kekuasaan formal kolonial memang sudah lenyap, tetapi praktek kolonialisme masih menguasai negeri kaya raya ini ?
Freeport Dan Rekolonialisme
Kehadiran PT. Freeport di Papua bersamaan waktunya dengan berdiri tegaknya sebuah rejim yang berusaha mengembalikan kolonialisme di Indonesia. Pada tahun 1967, setelah Bung Karno dan pendukungnya berhasil dilumpuhkan, rejim Soeharto sudah mulai intensif menjalin hubungan dengan negeri-negeri imperialis dan mengundang kehadiran mereka di Indonesia.
Melalui sebuah pertemuan di Jenewa, Swiss, dengan perwakilan kapitalis terbesar dan paling berkuasa di dunia, rejim Soeharto mulai menggelar karpet untuk menyambut masuknya kembali kapitalis asing menjajah Indonesia. Diantara perusahaan asing yang segera mendapat undangan, antara lain: ‘PT. Freeport’, ‘General Motor, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemen, Goodyear, The International Paper Corporation, dll’.
Apa yang dilakukan Soeharto sangat berlawanan dengan semangat revolusi Agustus yang berkobar sejak 17 Agustus 1945. Pada masa itu, revolusi yang digerakkan oleh massa berusaha mengambil-alih semua perusahaan milik asing, khususnya belanda, sebagai cara melikuidasi ekonomi kolonial.
Semangat revolusi agustus itu berlanjut hingga pasca Konferensi Meja Bunda (KMB). Sebuah gerakan nasionalisasi yang lebih besar terjadi pada tahun 1957, dimana 90% perusahaan perkebunan beralih ke tangan Indonesia, 60% perdagangan luar negeri beralih ke Indonesia, dan sekitar 240 pabrik, bank, pertambangan, perkapalan juga jatuh ke tangan Indonesia.
Pemerintahan Bung Karno, yang berdiri di atas semangat revolusi Agustus, sangat mendukung aksi nasionalisasi itu. Pemerintah saat itu menerbitkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Selain itu, usaha untuk melikuidasi ekonomi kolonial juga dilakukan dengan menerbitkan UU penanaman modal yang sangat membatasi modal asing.
Tetapi semua itu berbalik 100% ketika Soeharto berkuasa. Rejim ini mengesahkan UU penanaman modal asing yang baru, yang sangat memberi kesempatan kepada kapital asing untuk menguras kekayaan alam Indonesia. Salah satunya adalah PT. Freeport, perusahaan milik imperialis AS yang mengusai produksi emas dan tembaga dunia.
Menurut catatan Surjono H. Sutjahjo, seorang pengajar di Institut Teknologi Bandung, sejak tahun 1967 hingga sekarang kegiatan pertambangan Freeport di Papua sudah menghasilkan sedikitnya 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Jika dihitung dalam bentuk uang, maka nilainya bisa mencapai ratusan ribu billion.
Apa yang dilakukan PT. Freeport tidak berbeda jauh dengan cara-cara kolonialisme ratusan tahun yang lalu. Freeport telah mengeruk kekayaan alam kita dan membayar murah para tenaga kerja kita. Itu adalah dua ciri-ciri neo-kolonialisme, seperti pernah diucapkan oleh Bung Karno saat menyampaikan pidato pembelaan berjudul “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan kolonial.
Kehadiran PT. Freeport di Indonesia menyebabkan—meminjam istilah Bung Karno—”banjir harta yang keluar Indonesia makin membesar, sedangkan pengeringan Indonesia malahan makin menghebat.”
Freeport telah menjadi salah satu pipa dari para kolonialis untuk mengeruk “kemakmuran” dari bumi Indonesia.
Anehnya, dan ini sangat memalukan, bahwa proses perampokan kekayaan alam oleh Freeport justru dijaga atau digardai oleh TNI/Polri. Ini merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif: TNI dan Polri yang seharusnya menjadi alat penjaga kedaulatan bangsa Indonesia, termasuk menjaga kekayaan alam, justru menjadi penjaga kepentingan modal asing atau imperialis di Indonesia.
Tetapi kita segera memahami hal itu, bahwa penempatan TNI/Polri untuk mengamankan Freeport di papua tidak terlepas dari watak pemerintahan nasional Indonesia saat ini yang menempatkan diri sebagai boneka atau antek penjajahan asing ?
(Berdikari Online)
[sumber;qnoyzone.blogdetik.com]