Lupa Janji Antinarkoba SBY Muhammad Sholeh ; Advokat |
JAWA POS, 15 Oktober 2012
INDONESIA makin jadi surga bagi pengguna maupun bandar narkoba. Kalau Malaysia, misalnya, menghukum keras pelaku kejahatan narkoba, di negeri ini presiden mengobral grasi terhadap bandar narkoba internasional. Pertama, Schapelle Leigh Corby, bandar narkoba dari Australia, berdasar Keppres No 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012. Corby terbukti membawa 4 kilogram mariyuana (ganja) dan oleh PN Denpasar Corby dihukum 20 tahun penjara. Oleh presiden, hukumannya didiskon lima tahun. Kedua, Peter Achim Franz Grobmann, warga Jerman. Peter Achim, berdasar putusan MA, terbukti membawa 4,9 gram ganja di Bandara Ngurah Rai. Dia dipenjara lima tahun. Oleh presiden kita, hukumannya dikurangi tiga tahun. Ketiga, Deni Setia Maharwan alias Rapih Muhammad Maji. Deni Setia adalah bandar narkoba yang dihukum mati oleh PN Tangerang karena terbukti membawa 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain. Pada 26 April 2012, Deni Setia mengajukan grasi dan melalui Keppres no 7/G/2012 presiden mengubah hukuman mati Deni Setia menjadi hukuman seumur hidup. Keempat, Merika Paranola alias Ola. Kejahatannya satu kelompok dengan Deni Setia, namun grasinya terlambat turun, tidak bersamaan dengan Deni Setia. Baru September kemarin grasi Ola turun melalui Keppres No 35/G/2012. Obral grasi kepada bandar narkoba seakan menjilat ludah sendiri yang selalu kampanye pemberantasan narkoba. Bahkan, pada peringatan Hari Antinarkoba Internasional di Istana Negara, presiden pernah mengatakan, "Saya sendiri tentu memilih untuk keselamatan bangsa dan negara kita dibandingkan memberikan grasi kepada mereka yang menghancurkan masa depan bangsa," (Jumat 30/6/2006). Tampaknya, presiden sudah lupa dengan ucapan yang pernah sampaikannya. Apakah hanya bandar narkoba yang menikmati grasi presiden? Ternyata, tidak. koruptor juga menikmati. Yaitu, Syaukani Hassam Rais, mantan bupati Kutai Kertanegara yang divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Syaukani dituduh korupsi yang merugikan uang negara Rp 93 miliar saat menjadi bupati. Berdasar pertimbangan kesehatan, keluarga Syaukani mengajukan grasi kepada presiden. Dan, presiden memberikan potongan hukuman tiga tahun (15/8/2010). Setelah dapat grasi, Syaukani langsung menikmati udara bebas. Grasi yang Lain Nyantol Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Secara hukum, grasi adalah produk hukum yang sah dan tidak bisa digugat isinya sesuai pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Saya setuju, grasi adalah hak prerogatif presiden yang tidak bisa digugat isinya. Hal itu terbukti dari putusan PTUN Jakarta yang menolak gugatan ormas Granat (Gerakan Antinarkoba) terhadap keppres Corby (3/7/2012). Padahal, yang menjadi pengacara Granat adalah Yusril Ihza Mahendra, seorang profesor hukum tata negara. Meski grasi adalah hak prerogatif presiden, apakah dengan seenaknya presiden bisa memberikan grasi? Tentu tidak, keluarnya grasi harus didahului pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Dalam UUD dan UU tentang grasi, tidak ada kewajiban tersirat bagi presiden bahwa pemberian grasi harus mengikuti pertimbangan MA. Karena itu, pertimbangan MA soal grasi terkesan tidak bergigi. Dahulu sebelum adanya amandemen UUD, grasi mutlak hak prerogatif presiden. Namun, dengan adanya amandemen, sebelum mengeluarkan grasi, presiden harus memperhatikan pertimbangan MA. Ada baiknya UUD harus menegaskan kewajiban presiden untuk mengikuti saran dari MA. Tujuannya, MA juga bisa mengontrol grasi yang dikeluarkan presiden. Menurut pasal 8 ayat (2) UU tentang grasi, untuk setiap pengajuan grasi, salinannya harus diberikan kepada pengadilan tempat memutus perkara tingkat pertama, lalu diteruskan ke MA. Setelah itu, MA akan memberikan pertimbangan kepada presiden. Jadi, bukan setiap pengajuan grasi kepada presiden, lalu presiden meminta pertimbangan ke MA. Artinya, puluhan grasi yang mampir di MA sudah diberi pertimbangan kepada presiden. Pertanyaannya, kenapa hanya grasi bandar narkoba dan koruptor yang dikabulkan presiden? Obral grasi bandar narkoba bukanlah semata-mata kesalahan presiden. MA juga punya andil. Jika MA tegas menolak dalam pertimbangannya, tentu blunder buat presiden jika tidak mengikuti saran dari MA. Bukankah ada surat edaran MA No 3 Tahun 2001 yang ditujukan kepada semua pengadilan, yang menegaskan perlu adanya kesungguhan dan perhatian dari pengadilan atas perkara narkotika. Menjadi sia-sia hakim memutus tegas dan berat dalam kasus narkoba jika dianulir oleh presiden. Sayangnya pula, hakim MA baru-baru ini juga mengubah hukuman bandar narkoba ke hukuman penjara. Sugik yang Sakit Jiwa Di Penjara Kalisosok, Porong, Sidoarjo, ada seorang napi bernama Sugianto yang divonis mati oleh PN Surabaya karena membunuh empat orang dalam satu keluarga pada 1996. Sudah 16 tahun dipenjara, sekarang mentalnya terganggu. Kenapa grasinya selalu ditolak presiden? Bahkan, kabarnya Sugik hendak dieksekusi kejaksaan (Jawa Pos, 13/10/2012). Pertanyaannya, di mana letak empati Presiden SBY terhadap seorang Sugik yang mengalami gangguan jiwa. Jangankan dapat grasi, pengobatan dari rumah sakit jiwa saja tidak ada bagi napi miskin itu. Sementara itu, dalam kasus grasi Corby, Corby tidak pernah merasa bersalah terkait dengan kepemilikan 4,2 kg mariyuana. Menjadi aneh, tidak pernah mengakui kesalahan kok minta pengampunan kepada presiden. Saya lebih percaya pemberian grasi tidak semata-mata didasarkan pada faktor kemanusiaan. Tapi, lebih disebabkan lobi-lobi politik kepada sang presiden. Bagaimana tidak, Corby dkk -warga asing yang bisa merusak generasi bangsa (mana mungkin ganja 4,2 kg diisap sendiri?)- diberi grasi, sementara warga negaranya sendiri yang sudah gila dibiarkan mati perlahan-lahan. ● |