Pancasila dan Materi Politik PKn Akh Muzakki ; Ketua PW LP Maarif NU Jatim, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Anggota Dewan Pendidikan Jatim |
JAWA POS, 15 Oktober 2012
"THE end (telos) of education is to produce good citizens, where 'good' here is partly determined in light of the constitution of the state." Kutipan dari karya Stephan Millett ini menjelaskan kaitan kepentingan yang erat antara pendidikan dan ideologi sebuah negara. Pertama, penguatan ideologi bangsa akan mengalami kesinambungan yang kuat jika melalui jalur pendidikan. Kedua, negara berkepentingan dengan pendidikan bangsa untuk menciptakan warga negara yang baik. Kata "baik" di sini merujuk pada nilai ideologi bersama. Di belahan mana pun di dunia ini, terlepas dari apa pun ideologinya, negara memiliki kepentingan dengan berbagai bentuk pendidikan oleh warga negaranya. Kepentingan pada titik paling ekstrem adalah agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak bertentangan dengan ideologi negara. Pada titik paling sederhana, pendidikan dibutuhkan untuk lahirnya warga negara seperti yang diharapkan oleh nilai ideologi bersama itu. PKn Cenderung Politik Dalam konteks di atas, dimunculkannya kembali Pancasila dalam revisi kurikulum baru di semua jenjang pendidikan oleh Kemendikbud harus diapresiasi secara positif. Pasalnya, pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) selama ini, yang di antaranya merupakan hasil peleburan mata pelajaran Pancasila, menyisakan sejumlah masalah. Pertama, kompetensi yang diharapkan lahir dan dikuasai oleh peserta didik serta materi ajar yang disampaikan guru lebih condong ke pengetahuan politik daripada penguatan nilai kewarganegaraan. Tengoklah kurikulum PKn untuk anak kelas V SD. Kompetensi dan materi ajarnya lebih banyak membahas struktur pemerintahan daripada pengembangan nilai kewarganegaraan melalui sejumlah aktivitas pembelajaran. Akibatnya, peserta didik didorong lebih "fasih" berbicara tentang politik pemerintahan dalam pengertian sederhana daripada pembudayaan nilai kewargaan dan atau kewarganegaraan. Maka, pertanyaan yang penting untuk diajukan, apakah pendidikan kita akan mencetak politisi ataukah warga negara yang baik? Dalam kerangka ini, nilai ideologis Pancasila yang mendasari bangunan kewarganegaraan dan kebangsaan Indonesia tidak mampu secara maksimal disemai oleh PKn. Kalaulah ada, hanya nilai sila ke-4 yang dikembangkan oleh pembelajaran PKn. Nilai empat sila yang lain cenderung terpinggirkan, untuk tidak mengatakan terabaikan sama sekali. Padahal, lima sila itu merupakan satu kesatuan. Kedua, peleburan materi Pancasila ke dalam mata pelajaran PKn menjauhkan kesadaran guru dari esensi penanaman nilai kewarganegaraan berdasar nilai-nilai Pancasila. Guru dalam faktanya lebih banyak disibukkan target pencapaian materi ajar daripada pembudayaan nilai ideologi melalui pembelajaran. Guru diburu paket "kejar tayang" dalam pembelajaran. Sementara itu, materi ajar PKn cenderung abai dan lalai terhadap penguatan nilai kewarganegaraan Pancasila. Akibatnya, pendidikan tak mempan menjawab kecenderungan untuk memperkuat kepentingan pribadi-individual daripada pengutamaan atas kepentingan kewargaan-kewarganegaraan bersama. Kuatnya keserakahan ekonomi kelompok elite, maraknya terorisme dan kekerasan sosial, merebaknya tawuran antarpelajar, serta tak kunjung pudarnya gerakan ideologi yang ingin mengganti dasar negara, seperti diakui Mendikbud Muhammad Nuh (Jawa Pos, 02/10/2012), bisa menjadi bukti pembenar. Atas dasar itu, pendidikan nasional harus mampu membantu menyelesaikan problem sosial bangsa. Guru sebagai Model Nah, melihat kelemahan pembelajaran PKn selama ini, minimal ada dua agenda penting yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, pentingnya dilakukan rekonstruksi buku ajar Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan (PPKn). Kompetensi yang diharapkan dimiliki peserta didik harus lebih digerakkan ke orientasi agar mereka bisa menjadi warga negara yang baik, bukan sebagai politisi. Maka, muatan tentang penguatan pendidikan kewargaan harus diperkuat. Pendidikan kita selama ini hanya banyak mengurusi kebajikan pribadi (private virtues) daripada kebajikan umum (civic virtues). Pendidikan kita lebih banyak membuat peserta didik terdorong untuk berpikir atas kebajikan dirinya sendiri daripada penciptaan kebaikan bersama. Di sinilah lalu muncul praktik keserakahan, kecurangan, korupsi, dan egoisme personal untuk memuaskan kepentingan pribadi daripada kemaslahatan umum (maslahah 'ammah). Bila tidak disadari segera, praktik kecurangan dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai rekrutmen hingga ujian nasional, akan melenyapkan semangat dan roh penciptaan civic virtues yang justru dibutuhkan oleh perjalanan bangsa ini ke depan. Praktik-praktik kecurangan itu hanya akan menyuburkan pribadi-pribadi yang orientasinya ke dalam, yakni kepentingan diri sendiri, daripada ke luar untuk kepentingan bersama. Maka, rekonstruksi buku ajar PPKn harus dibangun, meminjam istilah Tan dan Wong (2008: 3-12), di atas prinsip pencarian seumur hidup terhadap pengetahuan dan praktik kebajikan bersama (the knowledge and practice of virtue). Dengan begitu, tata pikir dan perilaku peserta didik bisa diarahkan pada pencapaian kepentingan kewargaan secara lebih utama daripada sekadar kepentingan pribadi. Kedua, rekonstruksi buku ajar PPKn harus segera disertai dengan penguatan kapasitas guru. Karena posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional, guru berperan sentral dalam penguatan nilai kewargaan yang dikembangkan oleh buku ajar. Oleh karena itu, praktik pembelajaran yang dikenal dengan istilah teaching through examples (mengajar dengan contoh/teladan) harus diperkuat. Praktik pembelajaran itu memosisikan guru tidak sekadar sebagai penyampai materi, akan tetapi sekaligus sebagai model. Dengan kapasitas dan posisi guru yang demikian, peserta didik dengan segera bisa menyerap, mengembangkan, dan sekaligus mempraktikkan karakter sebagai good citizens sebagaimana yang dapat mereka contoh dari guru mereka. Memasukkan kembali Pancasila ke dalam mata pelajaran PKn merupakan sebuah ikhtiar akademik menarik di tengah mandulnya pembelajaran kewargaan-kewarganegaraan dalam menciptakan warga negara yang baik. Sisanya, penguatan materi ajar dan peningkatan kapasitas pendidik merupakan langkah konkret dan mendesak untuk menerjemahkan kebijakan strategis dimaksud. ● |