Jurnalisme Warga Agus Sudibyo ; Anggota Dewan Pers |
KOMPAS, 13 Oktober 2012
Siapakah wartawan itu? Tak mudah menjawabnya sekarang ini. Kita berada pada fase ketika hampir semua orang dapat menjalankan laku jurnalistik: mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk. Fase itu adalah perkembangan luar biasa jurnalisme warga. Dalam konteks lain disebut jurnal- isme partisipatoris atau jurnalis- me sosial. Jurnalisme ini membuka lebar peluang bagi semua pihak bertindak bukan sekadar sebagai informan juga partisipan aktif dalam pertukaran informasi dan diskusi di kanal berita atau- pun media sosial, seperti Face- book, blog, dan Twitter. Indonesia tak luput dari perkembangan jurnalisme warga. Belakangan Indonesia bahkan dikejutkan pengaruh luar biasa media sosial dalam menyebarkan dan mendebatkan isu publik ataupun privat: gosip pribadi artis atau politisi dan penyebaran video porno. Tiada isu politik yang luput dari jangkauan jurnalisme warga atau media sosial. Dalam beberapa kasus, jurnal- isme warga dianggap lebih berpe- ngaruh daripada jurnalisme konvensional. Sifat hiperaktual dan interaktif media sosial telah mengurangi relevansi berita yang disajikan media konvensional. Dalam konteks ini, medium jurnalisme warga pesaing bagi jurnalisme konvensional. Pandangan lain menyatakan jurnalisme warga bersifat komplementer terhadap jurnalisme konvensional. Arus informasi di media sosial memudahkan redaksi media mencari dan memilah informasi dalam waktu cepat. Forum jurnalisme warga memasok informasi dan analisis yang tiada habisnya sehingga media konvensional atau kanal berita tinggal menyeleksinya untuk kebutuhan pemberitaan mereka. Muncul sinisme: limpah-ruah informasi dan analisis di media sosial mengubah paradigma kerja ruang redaksi pers dari ”mengo- lah dan melengkapi berita” menjadi sekadar ”memilah dan menyi arkan berita secepat mungkin”. Editor berita berubah menjadi kurator berita (Bruno, 2011). Standar Etis Bagaimana batas-batas etis jurnalisme warga? Apakah jurna- lisme warga masuk dalam rumpun jurnalisme, atau baru sama sekali? Ini dibahas dalam Global Forum for Media Development World Conference di Grahams- town, Afrika Selatan, 9-11 September 2012. Pertemuan diikuti pakar media, peneliti, dan wartawan dari sejumlah negara. Pandangan dominan dalam pertemuan ini menyatakan bahwa jurnalisme warga tetaplah bagian dari jurnalisme sebagai suatu disiplin yang menuntut penerapan suatu standar etis. Jurna- lisme warga tak dapat sembrono dipraktikkan. Syarat agar karya bloger, facebooker, dan aktivitas jurnalisme warga lainnya diakui sebagai karya jurnalistik: taat terhadap standar jurnalistik. Dilematis. Di satu sisi jurnalisme warga punya fungsi demokratis deliberatif, yang memungkinkan semua pihak terlibat aktif dalam perdebatan isu-isu publik di ruang media. Di sisi lain praktik jurnalisme warga menimbulkan masalah etis serius. Komentar dan forum diskusi yang disediakan media online banyak memunculkan kata-kata kasar, vulgar, dan sarat permusuhan. Blog, Twitter, dan Facebook sering menampilkan analisis insinuatif, prematur, atau menghakimi. Problem jurnalisme warga pada titik ini adalah anonimitas dan iresponsibilitas. Peluang menyembunyikan atau menyamarkan identitas membuat pelaku jurnalisme warga tak bertanggung jawab dan tanpa respek atas orang lain (Singer, 2010). Untuk mereduksi anonimitas, pengelola media-siber menerapkan mekanisme registrasi untuk komentator dan peserta forum pembaca. Dalam praktiknya mekanisme ini tak konsekuen dilak- sanakan, belum dilengkapi dengan mekanisme penyuntingan yang ketat atas komentar untuk topik hangat tertentu. Mungkinkah karya jurnalistik lahir tanpa penyuntingan? Inilah masalah jurnalisme warga berikutnya. Selain komentar berita yang umumnya dimuat tanpa penyuntingan, tulisan di media sosial juga dipublikasikan tanpa penyuntingan sebagaimana di ruang redaksi media: tulisan seorang wartawan dilengkapi oleh redaktur, lalu diperiksa lagi oleh redaktur pelaksana sebelum diterbitkan. Akibatnya karya jurnalisme warga lemah dalam verifikasi, akurasi, dan pemisahan opini dari fakta. Dignity dan respect diharapkan setiap orang jadi dasar bagi setiap diskusi di ruang media. Ji- ka dua unsur ini sering diabaikan, kian banyak orang tak nyaman bahkan terancam oleh praktik jurnalistik. Jane Singer, pakar jurnalisme digital dari Universitas Missouri-Columbia, mengingatkan: jurnalisme warga yang dipraktikkan tanpa mengindahkan dignity dan respect bukan hanya mengaburkan lingkup laku jurnalistik dan kedudukan jurnalis, melainkan juga menimbulkan krisis kredibilitas pada media pers dan jurnalis yang serampangan memanfaatkannya. Munculnya berita bombastis atau spekulatif serta komentar berita yang vulgar secara konstan akan menurunkan citra media dan jurnalis di mata sumber berita, pengiklan, dan pembaca. ● |