Pemimpin, Korupsi, dan Tanggung Jawab Adjie Suradji ; Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan |
KOMPAS, 13 Oktober 2012
Salah satu yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin adalah tanggung jawab. Tanggung jawab jadi domain kekuasaan sekaligus legitimasi kepemimpinan seorang pemimpin. Kredibilitas seorang pemimpin tervisualisasikan dari derajat tanggung jawabnya. Pemimpin yang tak bertanggung jawab bisa dikategorikan sebagai pemimpin tidak kompeten (Carole Nicolaides, Progressive Leadership). Pertanyaannya kemudian, ketika korupsi di lingkar oligarki kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan makin brutal, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Diakui atau tidak, Indonesia tengah berada dalam penguasaan trihibrid—tiga saudara kandung yang beda sifat (kekuasaan, hukum, dan korupsi)—yang telah menyatu secara tak terpisahkan. Namun, yang perlu dicermati bukan sekadar negara ini dalam penguasaan trihibrid semata. Lebih dari itu, menjadi negara macam apa Indonesia pada 10 atau 20 tahun mendatang jika sejak sekarang negara ini sudah dikelola oleh kaum Barbar modern: birokrat korup, politisi busuk, pengacara hitam, dan pengusaha kapitalistik? Pemimpin selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Meminjam deskripsi Henry Pratt Faiechild dalam Kartini Kartono (1994), pemimpin adalah seorang yang memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisasi, atau mengontrol usaha orang lain melalui prestise, kekuasaan, dan posisi. Apabila deskripsi itu bisa diandalkan—tanpa mengabaikan aspek hukum—korupsi brutal dalam lingkar oligarki kekuasaan sesungguhnya juga menjadi tanggung jawab si pemimpin. Sayangnya, tanggung jawab jadi terminologi yang ”selalu” dihindari pemimpin. Hampir seluruh kasus korupsi besar di lingkar oligarki kekuasaan ”terjadi seolah-olah tanpa sepengetahuan pemimpin, si pengambil keputusan”. Suatu bentuk kejanggalan luar biasa. Bertolak belakang dengan sistem negara yang menganut birokrasi patrimonial dalam kultur masyarakat paternalistik. Sistem yang menjadikan pemimpin sebagai patron. Secara anatomistis, korupsi brutal di lingkar oligarki kekuasaan terjadi karena dua sebab. Pertama, tidak ada kompetensi teknis dan moral. Kedua, pemimpin menjadi patron kejahatan. Mengutip William J Chambliss (Criminal Law in Action), ”Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di kalangan bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi kalangan atas yang lebih dahsyat”. Fenomena ini sekaligus mengisyaratkan korupsi di Indonesia tak pernah berdiri sendiri. Suatu kondisi yang mempersulit usaha pengungkapan kasus secara hukum (konvensional), yang hanya menyandarkan diri pada sistem pembuktian negatief wettelijk stelsel (pidana). Oleh sebab itu, implementasi dari tanggung jawab pemimpin jadi kunci sukses pemberantasan korupsi. Menjadi pemimpin bukan sekadar untuk hidup enak, dihormati, dikenal banyak orang, tinggal memerintah, dan berpenghasilan besar. Seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab, berkarakter negarawan, dan visioner. Memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan, kemuliaan atau otoritas pribadi, tetapi oleh kesediaannya melayani rakyat. Banyak Cara Barangkali Benny Moerdani (1932-2004) benar. Ada perbedaan mendasar dalam penghayatan perjuangan pada masa lalu dan sekarang. Generasi pemimpin sekarang adalah generasi masa damai; generasi yang tak mengalami revolusi kemerdekaan. Meski lebih profesional karena memperoleh pendidikan dan pelatihan secara akademis, tetapi miskin tanggung jawab. Akibatnya, negeri ini tidak pernah lagi melahirkan pemimpin sejati. E fructu arbor cognoscitur—sebuah pohon bisa dikenali dari buahnya. Karakter bangsa bisa dilihat dari kualitas hukum dan kredibilitas pemimpinnya. Ketika Indonesia masih di peringkat ke-100 dari 182 negara terkorup dunia (Fund for Peace, 2012), masihkah kita berani mengatakan bahwa penegak hukum negara ini sudah berada dalam pagar good behaviour dan pemimpin negara ini sudah mengimplementasikan tanggung jawabnya? Korupsi brutal yang terjadi di lingkar oligarki kekuasaan tidak pernah bisa diberantas dengan hanya mengandalkan hukum (konvensional) dan institusi perkuatannya saja. Memperbanyak hukum justru semakin mempertegas anggapan, ”Corruptissima republica plurimae leges” (semakin korup sebuah republik semakin banyak hukum). Oleh sebab itu, diperlukan implementasi dari bentuk tanggung jawab pemimpin dalam memelopori usaha pemberantasan korupsi. Memberantas korupsi tak cukup hanya dengan pidato, meneriakkan slogan secara lantang, atau menyerahkan kasus-kasus korupsi ke ranah hukum, tetapi harus dengan tindakan nyata pemimpin secara partisipatoris, yang didasari kejujuran, kelurusan hati, dan tanggung jawab. Kita semua berharap semoga korupsi tidak menjadi warisan abadi (lasting legacy) di negeri ini. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi. Salah satunya adalah meratifikasi anti-illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) seperti tertuang dalam Pasal 20 United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC), yang sejalan dengan prinsip pembuktian terbalik. Lantas, pemimpin harus berani menerapkan sanksi sosial yang berkaitan dengan hati nurani dan sikap batin para koruptor. Sanksi sosial yang memiliki derajat efek jera dahsyat adalah tidak hanya memenjarakan koruptor, tetapi juga menyita seluruh harta milik (diserahkan kepada negara), memberlakukan kerja sosial, menjadikan keluarganya (suami/istri dan anak) sebagai anak negara, dan melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus. ”Think Different” dan ”To Crazy One’s” (berpikir beda dan bersikap gila) adalah slogan mendiang Steve Jobs, yang mengantar sukses Apple menjadi produk ikonik dunia. Slogan ini tidak sekadar meninggalkan pesan moral: ”Never Quit!”, tetapi juga mengandung kutipan, ”Seburuk apa pun kondisinya, pemimpin harus bisa menemukan jalan untuk menciptakan sesuatu yang baru”. Pemimpin sejati adalah sosok yang bisa menciptakan ”laut biru” di dalam situasi ”laut” yang sudah ”memerah”. Indonesia, pasti bisa! ● |