Selasa, 05 Maret 2013

Film PERANG Indonesia dari Masa ke Masa

Film Perang Nasional dari Masa ke Masa

FILM perang seharusnya dibuat dengan pesan anti-perang. Agar perang yang bikin orang menderita tak terus terjadi.Namun, pesan itu kadang tak sampai. Perang, dalam film, malah tampil sebagai hiburan. Kita, penonton, entah bagaimana justru senang melihat orang saling bunuh. Adrenalin kita ikut terpacu. Emosi kita ikut terbawa. Kita asyik melihat pistol menyalak, bom meledak, perut terbuyar, rumah hancur, dan lainnya.
Apa mau dikata, film perang justru menghibur. Sebab, film perang memiliki semua unsur yang membuat sebuah film menarik ditonton. Pertarungan si baik lawan si jahat, ada; suspense, ada; action, apalagi; cinta? Bisa diselipkan. Saya juga terhibur oleh banyak film perang. Entah filmnya punya pesan anti-perang atau dibuat atas dasar action semata, genre ini termasuk favorit saya.

Saya punya banyak film perang favorit dari Hollywood sana. Terlalu banyak, hingga saya bingung untuk membuat daftar yang mana yang paling favorit.Maka, saya belok niatan membuat daftar film perang buatan Hollywood dengan film perang buatan negeri sendiri. Saya rasa belum banyak yang membuat daftar ini. Padahal, genre ini termasuk sering dibuat oleh sineas kita,bahkan tak lama setelah kita merdeka.
O ya, saya tak hendak mendaftar secara berurutan dari satu sampai sekian. Melainkan akan membaginya ke dalam periode perang yang pernah dialami bangsa kita.Sebagai tambahan, ada banyak spoiler di bawah. Untuk itu saya minta maaf.

Daftar Film PERANG Indonesia Terbaik dari Masa ke Masa :

PERANG LOKAL
Istilahnya memang jelek. Tapi, inilah masa saat kesadaran kita sebagai bangsa belum tumbuh. Perjuangan melawan penjajah berlangsung di daerah masing-masing. Di masa ini kita mengenal Patimura yang berperang di Maluku, Pangeran Antasari di Kalimantan, Sultan Hassanudin di Makasar, dsbnya.


november-1828
November 1828
* November 1828 (1979)
Teguh Karya mengambil fragmen Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi drama di sebuah rumah seorang pengikut Sentot Prawirodirjo, panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. Di rumah itu berlangsung perang kata-kata. Teguh bak memindahkan panggung teater ke layar perak. Meski minim adegan perang (hanya muncul di akhir), aura patriotisme dan kepahlawanan tetap muncul.
* Tjoet Nja’ Dhien (1986)
Saya pernah menyebut film ini masterpiece. Dan tetap begitu buat saya. Sebuah film yang dibuat dengan darah dan air mata sineasnya (menghabiskan waktu 2 tahun dan miliaran rupiah). Hasilnya adalah sebuah hikayat perang sebuah kelompok yang tak kenal kata kalah. Lihat bagaimana Tjoet Nja’ (Christine Hakim yang dahsyat!) yang nyaris buta masih menghunuskan pedangnya saat ditangkap Belanda—berkat pengkhiatan seorang pengikutnya yang kasihan padanya.

* Fatahillah (1995)
Anda boleh menyebutnya film religi. Tapi tak salah juga mengatakan ini film perang. Fatahillah adalah seorang ulama sekaligus panglima yang berperang melawan Portugis. Dua sutradara berkolaborasi menggarap satu film. Hasilnya tak mengecewakan. Saya ingat, bioskop penuh wanita berjilbab saat film ini hadir. Padahal saat itu bioskop kita dipenuhi film esek-esek-nya Sally Marcellina dkk.

Yang Patut Disebut:           
Meski sering disebut sebagai film silat, Si Pitung (1971) dan Jaka Sembung (1980) pantas juga disebut di sini. Pitung (Dicky Zulkarnaen) berjuang melawan kompeni (Scout Heine) di tanah Betawi, sedang Parmin alias Jaka Sembung (Barry Prima) musuh utamanya adalah kompeni dan pendekar-pendekar yang mau diperbudak mereka. 

PERANG ZAMAN PERGERAKAN
Zaman pergerakan nasional dipicu saat Belanda, yang sudah menguasai Nusantara sepenuhnya, melancarkan Politik Etis. Mereka memberi imbalan berupa kesempatan mendapatkan pendidikan bagi warga jajahan. Puncaknya, zaman ini ditandai oleh lahirnya Boedi Oetomo di tahun 1908, lalu Sumpah Pemuda di tahun 1928. Saat itu tak ada lagi pemisahan suku bangsa dan bahasa. Semuanya satu: Indonesia. Namun, tak banyak film kita yang mengangkat “zaman bergerak” ini.


doea-tanda-mata-1984
Doea Tanda Mata (1984)
* Doea Tanda Mata (1984)
Yang ini sebenarnya tak pantas disebut film perang, melainkan film drama. Kisahnya seputar seorang tokoh pergerakan, Gunadi (Alex Komang) yang dikucilkan dalam perjuangan bangsanya karena dianggap ceroboh. Selain itu diselingi pula kisah cinta Gunadi dan usahanya me,balaskan dendam pada seorang opsir Belanda. Teguh Karya yang cerewet pada detil artistik mampu menyajikan Indonesia ditahun 1930-an saat pergerakan nasional tengah marak digandrungi pemuda masa itu.         
PERANG ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Film Indonesia modern yang lahir pasca perang (untuk membedakannya dengan film-film buatan para tauke dan bekas jebolan Opera Stamboel atau Dardanella), tak bisa dilepaskan pada peran penjajah Jepang. Pada merekalah Usmar Ismail, sang Bapak Perfilman Nasional, berguru. Tapi film soal saat republik ini dijajah Jepang sedikit sekali dibuat. Paling sering, lewat televisi, kita disuguhi gambar dokumentasi saat Soekarno dan Hatta jadi kolaborator Jepang, menunduk memberi hormat, minum sake bersama Jepang—saudara tuanya.

Lebakmembara* Lebak Membara (1982)
Film ini menggambarkan kekejian penjajah Jepang di Lebak, Banten. Jagoannya Herman (George Rudy) yang ditawan Jepang. Kekasihnya, Marni (Minati Atmanegara) diperkosa Jepang. Herman yang marah ikut gerakan bawah tanah, menyerang Jepang. Usai Jepang menyerah perang berlanjut melawan Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Filmnya lebih mempertontonkan aksi ketimbang drama di masa-masa itu.   

Yang Patut Disebut:
Pernah dengar film berjudul Romusha? Sesuai judulnya film itu mengangkat kisah pilu romusha di zaman Jepang. Tapi hubungan RI-Jepang yang tengah mesra saat film ini hendak rilis di tahun 1972, membuatnya harus masuk laci. Rezim Orba menganggap film yang mengungkit luka lama ini hanya akan merenggangkan hubungan yang sedang hangat-hangatnya (pemerintah butuh Jepang untuk meminjam uang). Lalu, ada pula Dokuritsu 170805 (Merdeka 170805, 2005). Yang ini film buatan Jepang, tapi salah satu bintangnya orang kita (Lola Amaria). Latarnya di masa-masa akhir penjajahan Jepang. Film ini seolah mengatakan kemerdekaan RI lahir berkat jasa Jepang. Tidak beredar di sini.        

PERANG KEMERDEKAAN
Kita merdeka tahun 1945. Tapi tidak serta merta kita langsung hidup damai. Belanda, membonceng Sekutu, ingin menjajah lagi. Dari situ lahir Agresi Militer ke-1 dan 2, pertempuranSurabaya hingga Serangan Umum 1 Maret. Di masa ini, perang modern—dengan senjata otomatis yang bisa membunuh lebih banyak—betul-betul kita rasakan. Buat sineas, masa ini lahan subur untuk digarap jadi film. Aksi dar-der-dor bisa jadi latar bagi sebuah film perang yang seru. Tapi, bukan jenis begitu film perang yang baik. Film perang yang baik, mestinya punya pesan dan konflik antar manusia yang dalam. Tidak semata ledakan mitraliur atau berondongan pelor.


darah-dan-doa-1950-del-juza
Darah dan Doa (1950)
* Darah dan Doa (Long March) (1950)
Inilah film yang diakui Usmar Ismail sebagai film pertamanya. Tanggal hari pertama syuting film ini ditetapkan jadi Hari Film Nasional. Filmnya sendiri tak terlalu lancar. Banyak omong. Tapi perhatikan setiap omongan tokohnya. Berisi. Penuh diskusi filsafat. Perang ternyata tak sekadar saling tembak. Di situ juga ada pergulatan ide bagaimana republik yang baru lahir ini akan dibawa. Serta apa makna menjadi manusia merdeka. 
* Lewat Djam Malam (1954)
Banyak yang sepakat, inilah film Indonesia terbaik sepanjang masa. Filmnya sendiri bukan film perang, tapi pasca perang. Saat para pejuang kembali ke kota atau desa usai berperang. Di sini diperlihatkan kekikukkan bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff) hidup di zaman normal. Alam merdeka yang perjuangkan dengan nyawanya dulu, ternyata tak seperti bayangannya. Banyak idealisme yang luntur. Ia jadi terasing di negerinya sendiri. Bahkan hidupnya berakhir tragis.           

* Pagar Kawat Berduri (1961)
Bukan film perang murni. Melainkan drama di sebuah kamp tawanan Belanda yang isinya pejuang republik. Di sini diperlihatkan ada seorang Belanda yang simpatik (Serma Kunen). Ada pula plot pelarian yang dirancang tawanan dan bagaimana heroisme tetap bergelora meski badan telah terpenjara. Saat beredar di tahun ’60-an, film ini dikritik habis oleh PKI karena dianggap menganjurkan pandangan humanisme universal.        

* Serangan Fajar (1981)
Di saat Orde Baru berjaya, Arifin C. Noer mampu membuat film berlatar sejarah yang tak jatuh jadi propaganda rezim semata (semisal Janur Kuning [1979]), padahal peristiwanya berlatar saat Soeharto (pemimpin Orba) berperang di Yogyakarta di masa revolusi fisik. Arifin tak hendak menyoroti orang-orang besar (Soeharto, Soedirman), melainkan mereka,rakyat biasa yang ikut berjuang. Bukan perang, melainkan kisah soal Temon (Dani Marsuni) yang paling menarik dari film ini.

* Naga Bonar (1986)
Asrul Sani, dalam skenarionya yang dikerjakan MT Risyaf, membongkar stereotip kita soal pejuang revolusi. Yang namanya pejuang tidak berlaku bak malaikat atau pemberani yang gagah perkasa. Pejuang juga bisa datang dari kalangan pencopet kelas teri, tunduk pada sang ibu, tapi patriot sejati. 


barry-prima-pasukan-berani-
Pasukan Berani Mati (1982)
Yang Patut Disebut:
Film seputar masa revolusi paling sering dibuat di tahun 1950-an, atau tak lama sejak kejadiannya sendiri usai. Ya, Indonesia baru benar-benar merdeka penuh di tahun 1949. Setahun kemudian, Usmar Ismail membuat Darah dan Doa (Long March) yang jadi tonggak kelahiran sinema nasional. Film-film perang revolusi bikinan generasi Usmar paling baik karena mampu mengangkat realita zaman itu—mungkin lantaran sineasnya sendiri mengalami masa-masa itu. Selain dua judul yang sudah disebut di atas, film-film perang kemerdekaan tahun ’50-an lainnya yang penting adalah Enam Djam di DJogja (Usmar Ismail, 1950), Embun (D. Djajakusuma, 1951) dan ditutup oleh Pedjuang (Usmar Ismail, 1960).
Film jenis ini mengalami booming pada 1970-an dan 1980-an. Perawan di Sektor Selatan (1971) karya Alam Surawijaya patut disebut karena berhasil memerlihatkan sebuah reportase bagaimana konflik di masa itu tak semata pejuang Republik melawan penjajah, melainkan juga sesama bangsa sendiri. Lalu, film perang kemerdekaan juga dipakai rezim jadi media propaganda. Pempimpin rezim (Soeharto) dikultuskan lewat film Janur Kuning (1979). Di lain pihak, sejarah perfilman kita juga mencatat di masa ini, militer bekerjasama dengan sineas mengangkat peristiwa sejarah ke dalam film. Film Mereka Kembali (1972) tentang long march pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat dan Bandung Lautan Api (1974) tentang bumi hangus Bandung diangkat berkat kerja bareng dengan Kodam VI Siliwangi.
Sementara itu, film perang Hollywood yang marak di tahun-tahun itu (Rambo dkk-nya) memicu sineas kita membuat film perang yang menjual action semata. Untuk jenis ini kita menyebut Pasukan Berani Mati (Imam Tantowi, 1982) dan Komando Samber Nyawa (1985). Zaman keemasan film perang kemerdekaan diakhiri Soerabaia 45 (Imam Tantowi, 1990). Film ini mengambil peristiwa heroik di Surabaya melalui fragmen-fragmen orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Perkembangan mutakhir, di tahun 2009, seorang pengusaha (Hasjim Djojohadikusumo) membuat film perang untuk membangkitkan nasionalisme. Judulnya Merah Putih (Yadi Sugandi, 2009) yang diniatkan jadi trilogi. Film pertamanya terasa seperti film perang Hollywood yang dicaplok mentah-mentah ke medan perang republik. Begitu juga film kedua, Darah Garuda (2010). Film ketiga atau akhir trilogi Merah Putih, Hati Merdeka tengah edar saat ini.

DI MANA MENONTON FILM-FILM DI ATAS?

Film PERANG Indonesia
Paling baik menontonnya di bioskop, tentu. Hanya saja, selain Hati Merdeka yang sedang tayang, rasanya langka berkesempatan menonton film-film itu di bioskop. Meski begitu, komunitas film di Jakarta pernah memutar beberapa film-film generasi Usmar Ismail bertepatan dengan Bulan Film Nasional atau Jiffest. Berharap saja mereka rutin melakukannya. 
Kemudian kita juga bisa berharap pada televisi untuk tak hanya berlomba memutar film-film Indonesia paling baru. TVRI selama sepekan penuh pernah menayangkan film-film Indonesia lama (termasuk Darah dan Doa).
Jika ogah berharap saja, ya berusaha sedikit dengan membeli VCD-nya. Ada tempat di Jakarta Barat yang khusus menjual VCD film-film Indonesia jadul. Kebanyakan sih film-film Warkop DKI atau Benyamin S., tapi jika mau bersusah payah mencari akan ketemu Pasukan Berani Mati, Komando Samber Nyawa, atau Soerabaia 45. Selain itu, November 1828 dan Tjoet Nja’ Dhien juga pernah dirilis VCD aslinya, meski kini sudah sulit ditemukan.

Bagi yang ogah bepergian, ada orang yang berbaik hati mengunggah film-film Indonesia jadul ke You Tube. Ada sejumlah film perang diunggah ke situs itu. Ketik judulnya di mesin pencari, lalu tinggal nonton. Filmnya terbagi ke dalam bagian-bagian kecil (10 sampai 11 part). Jika ingin mengoleksi, bisa mengunduhnya dengan Youtubecatcher.
Untuk menonton semua koleksi film di atas, sebaiknya Anda datang ke Sinematek di Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Di sana paling lengkap. Sebelum datang, sebaiknya telepon staf di sana, agar filmnya bisa disiapkan lebih dulu. Anda akan diberi copy film VHS atau VCD untuk ditonton dalam sebuah cubicle.***

Bahan Bacaan

Terus terang, tak semua film yang saya tulis di atas sudah saya tonton semua. Sebagian di antaranya saya tonton waktu kecil, jadi ingatan saya pada film-film itu samar-samar. Untuk menulis artikel ini, saya amat terbantu dengan sumber-sumber berikut:
* Kristanto, JB, Katalog Film Indonesia 1926-2007, Nalar, Jakarta, 2007.
* Kristanto, JB, Nonton Film, Nonton Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.
* Said, Salim, Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991.
* “10 Film Perjuangan Indonesia Terpopuler”, Astro Guide, Agustus 2008.
* “Kontroversi ‘Sang Juru Selamat’”, Tempo, 10 Juni 2001.


[sumber;http://www.tabloidbintang.com]
◄ Newer Post Older Post ►