Yang Terhormat Dubes AS dan Perancis Nabiel Makarim ; Good Governance Institute |
KOMPAS, 02 Oktober 2012
Apa yang terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Dua negara besar dan penting dalam percaturan dunia (Amerika Serikat dan Perancis) harus menghadapi unjuk rasa, yang kadang disertai caci maki dan perusakan, di beberapa negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Kita semua mafhum, rentetan peristiwa ini tak akan dapat melemahkan dua negara kuat yang jadi sasaran aksi seperti ini. Namun, bila situasi seperti ini terus berlangsung, semua pihak yang terkaitlah yang akan dirugikan. Minimal terjadi erosi kepercayaan antarbangsa yang bersangkutan. Dalam kehidupan global di mana kehidupan kita semua sangat berkaitan, erosi saling percaya hanya dapat mengakibatkan negative sum game.
Maka, sebagai titik tolak, kita dapat bersepakat bahwa peristiwa seperti ini perlu diusahakan untuk tak berulang.
Hampir semua yang terlibat dalam peristiwa ini paham, Pemerintah AS ataupun Perancis sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan serta peredaran materi penyulut konflik. Umumnya yang membuat para pengunjuk rasa jadi marah adalah mengapa kedua pemerintah yang bersangkutan tidak memberikan sanksi kepada warganya yang menyulut kemarahan di sejumlah negara.
Para pengunjuk rasa merasa diamnya kedua pemerintah ini adalah sikap pembiaran. Mereka marah karena sesuatu yang dianggap paling suci dijadikan bahan olokan melalui materi yang sangat keji dan menghina serta disebarluaskan. Mereka marah karena hal ini dibiarkan tanpa sanksi dari pemerintah masing-masing. Mereka yakin bila hal seperti ini terjadi di negara mereka, pasti pemerintah segera turun tangan menjatuhkan sanksi. Mereka tak dapat memahami bahwa sikap kedua pemerintah ini sangat berhubungan dengan sendi-sendi dasar kenegaraan AS dan Perancis.
Latar Sejarah
Memang, untuk dapat memahami sikap ini, siapa pun harus melihat latar belakang sejarah kedua negara ini. Nilai kebebasan berekspresi Perancis dilatarbelakangi Revolusi Perancis yang disulut oleh penindasan penguasa absolut. Bagi warga AS, kebebasan berekspresi berasal dari aspirasi para imigran awal yang meninggalkan Eropa untuk mendapatkan kebebasan.
Oleh karena itulah kebebasan berekspresi adalah nilai yang sudah jadi bagian dari budaya. Namun, di pihak lain, bagi rakyat di negara-negara yang rakyatnya memeluk Islam, pelecehan kepada Nabi Muhammad—walau dalam bentuk ekspresi belaka—tetap saja berarti tindakan yang sangat keji. Menjunjung tinggi dan menjaga nama Nabi Muhammad adalah bagian dari budaya.
Bagi warga AS dan Perancis, tak mudah memahami perbedaan nilai ini melalui pendekatan ”mencoba kaki kita di sepatu orang lain” (empati). Mungkin hal ini disebabkan oleh ”bentuk kaki kita yang sangat berbeda”.
Sebuah benturan budaya skala global telah terjadi. Hari-hari ini kemarahan masih terus berlangsung. Korban sudah jatuh, perusakan tak dapat dicegah. Namun, di balik ini kita harus berpikir dingin demi masa depan bersama. Kita semua paham, UU berbagai negara lebih banyak ditekankan untuk mengatur perikehidupan bangsa sendiri dan demi perlindungan warganya. Melihat latar belakang situasi masa dipersiapkannya UU, umumnya kepentingan antarbangsa tak terlalu mendapatkan perhatian. Namun, kini situasi sudah berubah. Apa yang terjadi dan dianggap wajar di suatu negara dapat berpengaruh sebaliknya di negara lain, bahkan kadang-kadang secara tak terduga.
Permintaan maaf dari negara yang bersangkutan tidak mungkin terjadi. Namun, sebuah sinyal dari negara-negara yang bersangkutan bahwa sedang diusahakan perubahan tatanan atau peraturan demi kepentingan kehidupan antarbangsa yang lebih baik diharapkan dapat memberikan harapan. Sementara itu, bila pihak yang merasa terhina mendengar niat ini, mereka pun diharapkan pula dapat menahan diri.
Semoga kita tidak terlalu lama menunggu inisiatif ini. ●