Perilaku Politik “Rai Gedheg” J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS, 02 Oktober 2012
Keprihatinan publik beberapa bulan terakhir tertuju pada upaya berbagai kalangan secara sistematis, terus-menerus, dan tidak kenal menyerah memperlemah peran Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya pengkhianatan terhadap harapan rakyat melalui pelemahan KPK antara lain dilakukan lewat belasan kali uji materi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi, tetapi selalu gagal.
Mereka tidak menyerah, upaya lebih canggih dilakukan melalui usulan revisi terhadap UU No 30/2002 tentang KPK. Isu pokoknya agar KPK tidak menjadi lembaga super. Karena itu, UU perlu diubah dengan membatasi kewenangan penyadapan, penghapusan penuntutan dan hak tidak menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pembentukan Dewan Pengawas KPK, serta kasus korupsi di bawah Rp 5 miliar tak lagi ditangani KPK. Akal-akalan ini mendapat perlawanan gigih dari masyarakat.
Ikhtiar mutakhir yang dianggap merongrong KPK adalah kasus dugaan korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM), khususnya dalam memeriksa tersangka Irjen Djoko Susilo. Polisi berkukuh, kasus ini menjadi ranah kepolisian. Institusi ini merasa lebih dahulu melakukan pemeriksaan. Sementara itu, KPK, sesuai dengan UU No 30/2012, dengan tegas menyatakan kasus ini sudah terlebih dahulu mereka sidik. Sudah seharusnya menjadi kewenangan KPK.
Argumentasi KPK sangat kuat. Dasarnya Pasal 8 UU No 30/2002 yang intinya menegaskan KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Bahkan, KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan. Dua instansi tersebut wajib menyerahkan tersangka dan semua berkas perkara beserta alat bukti serta dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama empat belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
Ketentuan itu diperkuat lagi dengan Pasal 50 yang intinya bila tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada KPK paling lambat empat belas hari kerja. Sementara itu, dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan itu segera dihentikan.
Sengkarut antara KPK dan kepolisian dalam kasus di atas bukan masalah yuridis, sengketa kewenangan, apalagi problem prosedur. Persoalan jauh lebih mendasar, yaitu berkenaan dengan eksistensi manusia yang secara inheren mempunyai nafsu, gelora hasrat, ambisi, dan interes pribadi.
Unsur nafsu serakah dalam kepentingan sempit itulah yang menyebabkan persoalan yang gamblang dan mudah diselesaikan menjadi ruwet. Lebih-lebih kalau mengingat niat awal pembentukan KPK disebabkan lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi (Konsiderasi UU No 30/2002 tentang KPK). Oleh sebab itu, ditegaskan dalam penjelasan umum UU tersebut, ”... maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa...”.
Perlawanan persisten publik terhadap pelemahan KPK terutama karena KPK menjadi harapan publik melawan kejahatan luar biasa yang dapat membangkrutkan aset negara dan moral bangsa. KPK dianggap sebagai fajar yang memberikan harapan kehidupan bernegara yang lebih bersih dari kekumuhan korupsi. Oleh sebab itu, melemahkan KPK berarti membunuh harapan masyarakat. Tindakan tersebut lebih mengerikan dari kejahatan korupsi itu sendiri.
Fenomena yang memprihatinkan tersebut mencerminkan nafsu keserakahan telah memadamkan pelita harapan masyarakat. Kehidupan bersama menjadi gelap karena terjadi gerhana total etika sosial. Moralitas sebagai lentera kehidupan berbangsa dan bernegara dihalangi awan gelap yang diproduksi perilaku manusia yang menjadi begundal nafsunya sendiri. Lembaga politik dan institusi hukum menjadi arena perbudakan nafsu yang mengakibatkan negara semakin ringkih karena tidak berdaya melawan naluri hasrat kesewenangan mereka yang tidak dapat mengendalikan nafsunya.
Dewasa ini daya serang para koruptor dan kaki tangannya telah menjadi arsitektur yang meruntuhkan negara dan menggerogoti martabat bangsa. Para penikmat dan pemuja kekuasaan tersebut tidak malu-malu membela kepentingan koruptor habis-habisan. Perilaku muka badak (rai gedheg) semacam itu sangat merugikan perjuangan memberantas korupsi.
Dalam situasi yang kritis seperti ini sangat diperlukan peran pemimpin yang dapat menunjukkan komitmennya dengan jelas. Pemimpin tak boleh memberikan kesempatan sedikit pun untuk tindakan korupsi karena pembiaran sama saja dengan mempersilakan para koruptor merajalela di negeri ini.
Langkah awal untuk mengatasi kemelut ini adalah penegasan Presiden agar setiap tindakan pelemahan KPK harus dilawan habis-habisan, termasuk menegaskan agar kasus simulator SIM diserahkan kepada KPK. ●