Paradoks Feed the World Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras” |
SINDO, 16 Oktober 2012
Hari Pangan Sedunia,16 Oktober 2012, diperingati dengan tema ”Agricultural Cooperative: Key to Feeding the World”.Di tingkat lokal, diambil tema ”Agroindustri Berbasis Kemitraan Petani Menuju Kemandirian Pangan”. Di balik tema ini,ada semangat untuk mendorong kemandirian pangan melalui kemitraan petani. Hasil akhirnya, tentu saja, bukan hanya kemandirian,melainkan membuat kita berdaulat di bidang pangan. Ketika kita mandiri dan berdaulat, ada peluang memberi makan dunia. Prestasi pertanian-pangan Indonesia cukup baik. Puluhan tahun ketersediaan pangan, baik ketersediaan energi maupun protein, amat membanggakan. Misalnya tahun 2011, ketersediaan pangan cukup melimpah: ketersediaan energi 3.035 kkal/kapita/hari dan protein 80,33 gr/kapita/hari. Angka ini melebihi rekomendasi Widyakara Pangan 2004 (energi 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gr/kapita/hari). Ketersediaan pangan itu bisa mencukupi kebutuhan pangan 240 juta penduduk Indonesia pada tahun yang sama. Kalau dibagi merata, jumlah pangan itu bisa membuat warga gembrot (obese). Dari tahun ke tahun, produksi sejumlah pangan utama terus mengalami kenaikan. Hanya tahun lalu produksi padi, jagung, kedelai dan gula menurun, sedangkan produksi ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar, telur, susu, daging, dan minyak sawit mentah terus meningkat. Suplai sejumlah pangan impor, seperti terigu, gula, kedelai, jagung, daging, dan susu tak ada masalah. Keseimbangan produksi domestik- impor membuat pangan cukup. Dengan ketersediaan sumber daya melimpah (tanah, air, sumber daya manusia, dan plasma nutfah), Indonesia diyakini bisa jadi pemberi makan dunia (feed the world). Berbagai prestasi itu tentu patut disyukuri. Ketersediaan pangan yang memadai bakal membuat ketahanan pangan nasional terjaga baik. Secara teori,ketahanan pangan nasional yang baik akan membuat ketahanan pangan di tingkat mikro juga membaik. Pada gilirannya, situasi sosial jauh dari ancaman guncangan keresahan akibat gangguan pangan. Tapi semua itu hanya ada di teori, bukan dalam kenyataan. Dalam buku Inequality Reexamined (1992), pemenang Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen menulis pentingnya akses dan aspek kebebasan ketimbang ketersediaan. Meskipun pangan melimpah, tidak otomatis bisa diakses warga, terutama warga miskin. Akhirnya terjadilah paradoks. Ketiga paradoks di bawah ini menunjukkan rapuhnya struktur pangan kita. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Sebagai produsen, petani adalah salah satu kelompok paling rawan pangan.Ini terjadi karena orientasi terlalu berat pada produksi, bukan kesejahteraan. Meskipun produksi meningkat, tidak serta-merta petani sejahtera. Indikatornya bisa dilihat dari kemiskinan. Angka kemiskinan nasional terus menurun: dari 14,15% atau 32,53 juta jiwa pada 2009 jadi 12,36% atau 29,89 juta jiwa pada September 2011.Namun, kemiskinan di perdesaan masih amat tinggi: 63,37%. Siapa kelompok miskin di perdesaan itu? Mereka adalah petani.Itu artinya pembangunan selama ini bukan menyejahterakan, melainkan justru meminggirkan warga perdesaan, dan membuat rawan pangan. Peningkatan produksi tidak berarti membuat petani sejahtera. Kedua, paradoks pertumbuhan. Meskipun jauh di bawah pertumbuhan sektor nontradable (keuangan, jasa, real estate, perdagangan/hotel/restoran, serta transportasi dan komunikasi), sektor pertanian (dalam arti luas) tetap tumbuh, yang pada 2011 mencapai 3%. Namun, terjadi kesenjangan yang cukup tajam antara subsektor perkebunan dan kehutanan dengan subsektor tanaman pangan dan peternakan yang pertumbuhannya justru merosot, bahkan minus. Kondisi itu menjadi masalah serius karena sampai saat ini 43% tenaga kerja justru menumpuk di sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan. Kondisi ini, sekali lagi,menjebak petani pangan dalam kubangan kemiskinan. Ketiga, paradoks ekspor-impor. Indonesia adalah pengekspor bahan pangan, yang terbesar dari hasil perkebunan, seperti CPO,kakao, teh,kopi, dan aneka rempahrempah. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan andalan. Pada 2008, ekspor 16 juta ton CPO nilainya mencapai USD12,4 miliar. Tahun itu pemasukan pajak ekspor sebesar Rp25 triliun. Data BPS 10 tahun terakhir menunjukkan, meski kenaikannya bervariasi,sejak 1999 hingga 2011 total neraca eksporimpor pertanian Indonesia masih positif. Ini terutama didukung membaiknya kinerja subsektor perkebunan.Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan bersifat negatif. Padahal, dengan lahan luas, iklim cocok,dan plasma nutfah melimpah, Indonesia berpotensi jadi pemberi makan dunia (feed the world). Ini mengindikasikan ada yang salah dalam pengelolaan pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Dengan defisit USD3,505 miliar pada 2010, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (USD3,416 miliar) di posisi pertama.Tahun 2011 subsektor tanaman pangan kembali menyumbang defisit terbesar: USD6,439 miliar. Defisit ketiga subsektor mencapai USD9,079 miliar (Rp86,25 triliun dengan kurs Rp9.000 per dolar AS). Jumlah ini hampir lima kali dari anggaranKementerianPertanian tahun 2012. Defisit menandakan impor pangan mengalir deras.Meskipun produksi pangan utama naik,sampai saat ini kita belum bisa keluar dari kebergantungan impor pangan penting: susu (90% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (80%), daging sapi (30%), induk ayam, dan telur.Ironisnya,impor tersebut sepertinya tidak ada tandatanda berakhir, bahkan cenderung makin membesar. Dalam empat tahun (2004–2008),nilai impor meledak lebih dua kali, dari USD2,728 miliar (2004) jadi USD5,879 miliar (2008). Padahal, volume impor hanya naik 12%. Ini menunjukkan harga pangan semakin mahal. Pertambahan penduduk,tarikan pangan untuk bahan bakar, dan gagal panen akibat perubahan iklim akan membuat harga pangan dunia terus melonjak. Ironisnya, kecuali gandum, pelbagai pangan impor itu sebenarnya bisa diproduksi sendiri. Tanpa kebijakan tegas, terukur dan berdimensi jangka panjang paradoks pertanian akan terus terjadi, dan salah kelola pertanian pangan berlanjut tanpa koreksi. Alih-alih memberi makan dunia, bukan mustahil Indonesia bakal terjebak dalam perangkap krisis pangan. Agar paradoks itu tidak berlanjut, ada sejumlah langkah mendesak.Pertama,menggeser orientasi, dari sematamata produksi ke kesejahteraan. Caranya,memastikan sumber daya alam (tanah,air,hutan, dan lain-lain) ada dalam kontrol petani/komunitas lokal. Perlu penataan ulang penguasaan/ kepemilikan sumber daya lewat reforma agraria. Kedua,sumber daya itu harus dimanfaatkan untuk memproduksi aneka pangan lokal sesuai keanekaragaman hayati dan kearifan lokal. Fokus kebijakan harus digeser; tak hanya beras, tapi juga pangan nonberas. Ketiga, mendahulukan produksi aneka pangan yang bisa ditanam sendiri ketimbang impor. Keempat, merancang ulang pasar pertanian pangan. Liberalisasi kebablasan harus dikoreksi. Pada saat bersamaan, harus dikembangkan perdagangan yang adil (fair trade), terutama buat petani, serta mendorong pasar lokal. ● |