Jokowi dan Resistansi Birokrasi SL Harjanto ; Wartawan Radar Bekasi, Alumnus Magister Administrasi Publik (MAP) UGM |
JAWA POS, 16 Oktober 2012
SELAMAT, Jokowi-Ahok! Ucapan selamat itu makin banyak dilontarkan berbagai kalangan setelah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melantik gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, kemarin. Sejatinya, selain langsung dihadapkan dengan problem klasik Kota Jakarta seperti banjir, kemacetan, tata ruang, penganggur, dan berjibun masalah kronis lain, mantan wali kota Solo, Jawa Tengah, itu memiliki tantangan lain. Tantangan tersebut bisa jadi berasal dari dalam tubuh birokrasi DKI Jakarta sendiri. Barangkali tantangan internal itu tak kalah berat jika dibandingkan dengan problem yang ada di luar. Utamanya pada awal-awal pemerintahan Jokowi-Ahok. Tipikal birokrasi secara umum, biasa bekerja dalam rutinitas dan nyaman dalam suasana yang stabil atau tidak responsif terhadap perubahan. Birokrasi akan resistan terhadap upaya-upaya perubahan. Fauzi Bowo, gubernur sebelumnya, sepertinya kehilangan orientasi melakukan perubahan birokrasi. Mungkin itu disebabkan Foke, sapaan Fauzi Bowo, terlalu lama jadi birokrat sebelum jadi gubernur DKI. Karena itu, birokrasi DKI Jakarta menjadi birokrasi yang biasa-biasa saja selama ini. Karakter sebaliknya justru dimiliki sarjana kehutanan UGM ini. Selama ini, Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin daerah yang gemar mendorong perubahan birokrasi. Sepak terjang dalam pembenahan birokrasi terlihat semasa dia memimpin Kota Solo. Contoh sederhana, Jokowi berhasil memangkas waktu pelayanan pembuatan KTP. Sebelumnya, warga harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan KTP baru. Namun, di masa awal kepemimpinannya, pembuatan KTP cukup satu jam jadi. Tentu saja ada contoh tindakan lain yang lebih substansial dalam usaha reformasi birokrasi yang dilakukan Jokowi saat memimpin Kota Solo. Benih Resistansi Media dan publik merekam gebrakan awal pada tubuh birokrasi sebelum Jokowi dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Gebrakan itu direkam ketika Jokowi melontarkan rencana pemangkasan anggaran di sejumlah pos. Anggaran yang dipangkas, antara lain, biaya pelantikan gubernur-wakil gubernur yang sebelumnya senilai Rp 1 miliar menjadi hanya Rp 500 juta. Pemangkasan anggaran kedua dilakukan Jokowi pada pos penyusunan naskah pidato gubernur dan wakil gubernur DKI sebesar Rp 1,2 miliar. Dengan demikian, dipastikan "proyek" penyusunan naskah pidato Rp 1,2 miliar tidak akan ada lagi semasa kepemimpinan Jokowi-Ahok. Ya, selama ini birokrasi memang berkepentingan dengan nilai anggaran yang besar. Sebab, anggaran yang besar juga akan menguntungkan para pejabat. Penjelasnya, anggaran besar sama dengan proyek dan proyek identik dengan lahan mencari untung para birokrat. Nah, gebrakan awal Jokowi bisa jadi mengusik kepentingan pejabat dan menjadi benih munculnya resistansi birokrasi. Resistansi dari kalangan birokrat akan mengganggu jalannya pemerintahan. Maka itu, harus bisa dikelola atau sedapat mungkin dihindari. Sebagai wali kota Solo dua periode, Jokowi pasti pernah merasakan penolakan sekaligus tahu cara mengatasi resistansi birokrasi. Namun, dinamika dan tantangan birokrasi Solo berbeda dengan birokrasi Jakarta. Birokrasi ibu kota jelas lebih berat dan kompleks. Tangan Besi dan Teladan Tidak ada salahnya Jokowi menerapkan kebijakan "tangan besi" dalam pengelolaan birokrasi DKI Jakarta. Ketegasan itu pula yang pernah diterapkan Ali Sadikin dan Sutiyoso selama memimpin DKI. Sehingga Bang Ali dan Bang Yos namanya melambung dan dinilai sebagai gubernur sukses yang pernah memimpin Ibu Kota Jakarta. Sikap tegas itu diwujudkan dengan pemberian reward and punishment. Jokowi harus berani mencopot pejabat yang menghalang-halangi upaya perubahan birokrasi. Namun sebaliknya, harus memberikan penghargaan dan promosi terhadap pejabat yang berkinerja baik serta tidak menentang upaya reformasi birokrasi. Tak cukup hanya menerapkan "tangan besi", Jokowi juga harus memberikan teladan dalam tubuh birokrasi. Jika memang Jokowi konsen terhadap penghematan anggaran, perilaku Jokowi sehari-hari juga harus menunjukkan karakter sebagai pejabat yang sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Misalnya, tidak meminta fasilitas mobil dinas (mobdin) baru pada awal-awal kepemimpinannya. Konsistensi antara omongan dan perbuatan itu penting untuk menghindari tudingan Jokowi sebagai pejabat yang hanya bisa omdo (omong doang). Jika hal itu konsisten dilakukan, budaya sederhana dan efisiensi anggaran akan diikuti seluruh jajaran birokrasi DKI Jakarta. Upaya perubahan birokrasi juga harus didukung dengan sistem yang kuat. Artinya, penguatan sistem yang mendukung reformasi birokrasi menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) Jokowi-Ahok untuk membenahi pemerintahan DKI Jakarta ke depan. Ada harapan terjadi perubahan birokrasi Jakarta jika pemimpin saat ini memiliki ketegasan, memberikan teladan, serta diiringi dengan penguatan sistem. Dengan begitu, akan makin banyak ucapan selamat kepada Jokowi-Ahok dari rakyat Jakarta dan Indonesia. ● |