Orang-orang India yang Tinggal di Indonesia sesungguhnya dapat dilacak hingga periode non sejarah Indonesia (sebelum ditemukan bukti tertulis). Kini, orang India merupakan etnis imigran kedua terbanyak di Asia Tenggara setelah Cina. Istilah imigran pada tulisan ini mengacu pada generasi pertama India yang menetap di Indonesia setelah meninggalkan tempat asalnya.
Seperti telah dikatakan, sesungguhnya, imigran India telah berhubungan dengan bumi nusantara sejak era awal Masehi. Melalui orang-orang India inilah berkembang agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada awalnya, orang India yang berhubungan adalah kelas brahmana yang diundang oleh para elit lokal Indonesia. Mereka diundang karena para elit Indonesia menginginkan pengajaran ilmu-ilmu baru di bidang agama, teknologi, dan ketatanegaraan. Lewat pengaruh India, aneka bentuk kerajaan di nusantara berkembang. Raja lambat-laun dianggap penjelmaan para dewa. Mulailah kerajaan (pusat aktivitas raja) menjadi sentral wilayah-wilayah sekeliling. Dua bentuk kerajaan yang kental pengaruh India adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pengaruh tersebut utamanya berlangsung di lingkup agama, bahasa, dan konsep-konsep ketatanegaraan (termasuk filsafat politik).
Di masa kemudian, penulis seperti A. Mani, menganggap orang-orang Asia Selatan, khususnya Tamil, telah bermigrasi ke Indonesia sekurangnya sejak pendudukan Belanda atas Indonesia. Orang-orang keturunan mereka inilah yang kini banyak terdapat di Indonesia. Mani lalu mempresentasikan tabel perkembangan penduduk non pribumi seperti Cina, Eropa, Arab, dan Inggris-India di Indonesia 1815-1930 sebagai berikut:
Cina merupakan penduduk non Indonesia yang paling banyak. Pada tahun 1930 jumlahnya mencapai 1.233.000 orang. Sementara orang India merupakan yang terkecil dalam mana periode 1920-1930 mereka hanya bertambah 11.000. Pertumbuhan ini merupakan yang terkecil ketimbang penduduk non Indonesia lainnya. Jika ditinjau dari persebaran domisili pulau, maka penduduk India di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[4]
Orang India terbanyak tinggal di Pulau Sumatera. Jika dispesifikkan lagi Sumatera mana, maka jawabannya Sumatera Utara. Sementara itu, dari suatu studi yang dilakukan tahun 1977 mempresentasikan data warganegara India berdasarkan jenis kelamin di Indonesia sebagai berikut:[5]
Data di atas sekadar mempresentasikan jumlah orang India yang mengaku berkewarganegaraan India, bukan Indonesia. Dengan demikian menjadi mungkin bahwa jumlah etnis India (dan keturunannya) lebih banyak dari data. Juga termasuk mereka yang mengakui sudah menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Hingga tahun 1980-an, etnis India di Indonesia terutama terkonsentrasi di Sumatera Utara dan Jakarta. Di Sumatera Utara. etnis India mayoritas berasal dari suku Tamil dan kelompok Sikh. Di Jakarta etnis India umumnya berkegiatan di lingkup bisnis dan berasal dari komunitas Sindh dan Sikh. Di Sumatera Utara, etnis India terkonsentarasi di Medan, Binjai, Sibolga, Tanjung Balai, Pematang Siantar, dan Tebing Tinggi. Pada perkembangannya hingga kini, terjadi migrasi etnis India dari Sumatera Utara dan India ke Jakarta. Ini diakibatkan Jakarta merupakan metropolis Indonesia, tempat kegiatan bisnis terpusat.
Etnis India di Indonesia pun dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, keturunan India yang berasal dari periode kolonial. Mereka menganggap Indonesia tanah air mereka dan identitas keindiaannya relatif telah melemah. Kedua, kelompok India yang berbisnis. Mereka datang ke Indonesia sebelum dan sesudah periode perang. Rata-rata mereka punya tingkat kehidupan yang cukup baik, percaya diri bahwa mereka adalah orang Indonesia, dan anak-anak mereka telah membentuk aspek-aspek identitas keindonesiaan. Ketiga, kelompok India yang masuk ke dalam kategori investor. Kedatangan mereka agak terlambat jika dibandingkan orang-orang Jepang dan Korea. Kepentingan utama mereka adalah pekerjaan (bisnis) sehingga berupaya mengadaptasi aturan-aturan dasar bermasyarakat yang dianut Indonesia. Mereka ini terdiri atas kaum profesional teknologi informasi, banker, operator dana bantuan, ahli asuransi, dan konsultan bisnis.[6]
Mengenai berapa jumlah etnis India di Indonesia, sensus penduduk tahun 2000 yang direkam oleh A. Mani menyebut jumlah mereka 34.685. Sekitar 22.047 atau 64% tinggal di Sumatera Utara sementara di Jakarta berjumlah 3.632 atau 11% saja. Wilayah lain di mana terdapat jumlah etnis India yang cukup besar adalah Sumatera Selatan (1.245 atau 4%), Jawa Timur (1.164 atau 3%), Kalimantan Barat (1.150 atau 3%), dan Jawa Barat (1.033 atau 3%). Sisanya tersebar di wilayah-wilayah Indonesia lainnya.[7] Agama orang-orang India tersebut adalah Hindu (40%), Islam (30%), Buddha (17%), Protestan (6%), Katolik (5%), dan 2% agama lain.
Mani melanjutkan bahwa di Jakarta, aneka bisnis orang India awalnya terkonsentrasi di sekitar Passer Baroe (Pasar Baru) Jakarta Pusat.[8] Pada perkembangannya, konsentrasi ini menyebar dengan tetap mempertahankan Passer Baroe selaku kantor administrasi pusatnya. Orang Sikh dari Medan banyak pula yang mencari tempat tinggal di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Aktivitas etnis India lebih banyak berlingkup di bidang ekonomi sama seperti Cina. Orang India dari kelompok Sindhi distereotipkan sebagai pebisnis tekstil, orang Sikh pada bisnis peralatan olah raga, Tamil di Medan dengan pertanian, perusahaan konstruksi dan bisnis kecil, sementara orang Sikh di Medan terkenal sebagai peternak sapi dan bisnis alat olah raga.
Menurut Anita Raina Thapan, komunitas Sindhi berasal dari wilayah India yang kemudian menjadi Pakistan tahun 1947. Komunitas ini 25% nya beragama Hindu dan mereka terbagi, antara yang memutuskan pindah ke India yang mayoritas Hindu atau berdiaspora ke belahan dunia lain.[9] Kelompok Sindhi India di Jakarta mulai melepas identifikasi awalnya, yaitu stereotip mereka selaku pebisnis tekstil, dengan merambah bidang pabrikasi tekstil, karpet, garmen, farmasi, dan kimia. Harga garmen dan tekstil yang mereka tawarkan lebih murah ketimbang Cina.
Selain itu, kelompok Sindhi juga merambah bidang sosial dan pendidikan. Banyak didirikan rumah suaka bagi anak yatim-piatu dan janda kalangan Sindhi.[10] Rumah yang terkenal adalah Gandhi Service Center (Gandhi Sewa Loka). Untuk lembaga pendidikan, di Jakarta berdiri Gandhi School di Pasar Baru, Khalsa School di Medan (Khalsa School dikelola kelompok Gurudwara Sikh), Nehru School di Medan, dan Saraswathi School di Surabaya. Kecuali Khalsa School, sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh orang-orang Sindhi, termasuk Texmaco School yang didirikan oleh Perusahaan Texmaco. Yayasan Pendidikan Satya Sai Baba Indonesia didirikan tahun 2000 dengan tujuan utama menyebarkan pendidikan nilai-nilai kemanusiaan kepada seluruh warganegara Indonesia. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (Depdiknas) mengizinkan organisasi ini mengadakan seminar bagi 2000 guru serta menjadikan SMAN 22 selaku sekolah model bagi pengajaran siswa. Kurikulum dominan yayasan ini adalah nilai-nilai kemanusiaan.[11] Jawaharlal Nehru Cultural Center (JNCC) di Jakarta didukung oleh Kedubes India guna mempromosikan budaya India di Indonesia. Kegiatannya meliputi kelas-kelas belajar tari dan musik India. Salah satu kantor cabangnya di Bali, sukses dalam menarik minat sejumlah besar orang Indonesia yang hendak belajar budaya India.
Kelompok Sindhi banyak melakukan pengembangan bisnis. Ini termasuk Ram Barwani lewat K. Haloomal & Co. (karpet), Jawahar Punjabi lewat Luxury 22, Jamu Punjabi (MD Films), Ram Punjabi (MNC), Nico J. Horan (industri fashion), Gopi Samtani (Rapi Films), Ram Soraya (Soraya Films). Termasuk kelompok Sindhi ini adalah Haresh Lakshamana yang memiliki Century 21, perusahaan importir film terbesar Indonesia.
Menurut A. Mani, kelompok Sikh di Jakarta banyak berasal dari Medan.[12] Rata-rata mereka adalah pekerja sektor wirausaha dan tentunya memiliki pekerja sendiri. Mereka rata-rata menguasai Bahasa Inggris karena merupakan bahasa pengantar di Khalsa School Medan. Bisnis peralatan olahraga menjadi trademark kelompok Sikh ini, kendati mereka juga relatif berhasil merambah bisnis coastal shipping di Indonesia. Migrasi kelompok Tamil dari Medan ke Indonesia berjalan seiring bangkitnya Texmaco Jaya di bawah kepemimpinan Marimuthu Srinivasan (atau kerap dieja Sinivasan). Di India, Tamil secara georafis ada di selatan anak benua India, dan semakin banyak migran dari sana diserap oleh perusahaan Texmaco Jaya. Kelompok Tamil dan Sikh lalu menjalin persahabatan akibat pertukaran pekerja ini.
Selain kelompok-kelompok di atas, kini terdapat pula kaum investor India di Indonesia. Mereka misalnya Aditha Birla Group, L.N. Mittal di Surabaya, EWSR Group dari Chennai, dan J.K. Files di Surabaya (termasuk PT. Pokok). Selain itu, perusahaan-perusahaan seperti TVS (kelompok Tamil Nadu), Bajaj, dan Pangor Group termasuk ke dalamnya. Khusus TVS merupakan produsen kendaraan bermotor yang siap menyaingi Jepang di Indonesia.[13]
Secara sosial, interaksi kelompok Sindhi dan Sikh di Jakarta terpusat di Passer Baroe, khususnya pada Gurudwara Sikh. Kelompok Sindhi awalnya pengikut Guru Sikh yang di Jakarta jumlahnya lebih besar ketimbang Sikh. Namun, kalangan Sindhi ini lebih berpatron pada Gurudwara Passer Baroe yang dikendalikan kelompok Sikh.
Menurut Mani, sebelum kedatangan kalangan Sikh dari Medan, terdapat dua Gurudwara di Jakarta.[14] Yang tertua ada di Tanjung Priok, sementara Gurudwara Passer Baroe muncul belakangan. Gurudwara Passer Baroe didominasi kelompok Sikh dan Sindhi yang aktivitasnya berpusar di komunitas bisnis. Pada perkembangan kemudian, Balwant Singh, pengusaha sukses dari Medan, mendonasikan tanahnya guna membangun gurudwara di kawasan Ciputat. Santok Singh dan Major Kumar juga mendirikan gurudwara di Tangerang, Banten. Dua gurudwara terakhir ini terbentuk akibat persaingan kelompok yang telah lama diam di Jakarta (gurudwara Tanjung Priok dan Passer Baroe). Gurudwara Ciputat dan Tangerang cenderung berkompetisi satu sama lain. Kelompok Sindhi tertarik pada gurudwara Passer Baroe dan Tanjung Priok. Mereka sekaligus partisipan utama sejumlah kuil, termasuk yang tertua yaitu kuil Siwa di Pluit (berdiri 1954). Kuil tersebut mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari umat Hindu di Jakarta. Kuil tersebut berisikan tokoh-tokoh suci kalangan Sindhi seperti Garuda, Hanoman, Guru Nanak, Sai Baba, dan Sri Rama. Selain Kuil Siwa di Pluit itu, terdapat pula bangunan-bangunan suci lain seperti Sadhu Vaswani Center di Jakarta, Svami Satsang Beas di Cibubur, Devi Mahdir di Kemayoran.
Selain membentuk kelompok berdasar agama, etnis India di Indonesia juga membentuk aneka organisasi kemasyarakatan. Untuk itu bisa disebut India Club, Indonesia Tamil Mandram, The Economic Council of Indonesia and India (ECII), Indian Women’s Association, dan Jawaharlal Nehru Cultural Centre.[15] ECII mirip dengan kadin-nya pengusaha dan bisnis India di Indonesia. Mereka mewakili kepentingan anggotanya saat berhadapan dengan pemerintah Indonesia. Di masa datang ECII berniat bergabung ke Kadin Indonesia guna meningkatkan representasinya baik di sektor pemerintah maupun privat di Indonesia. Klub India merupakan klub sosial dari keluarga-keluarga ekspatriat India di Jakarta. Klub ini menyediakan platform interaksi antaranggota dan keluarganya dalam even-even kultural seperti Holi dan Deepavali. Bahasa Hindi dan Inggris adalah pengantar dalam klub sosial ini. The Indonesia Tamil Mandram dimulai oleh Sundar Raman. Raman yang juga mengetuai Trisakti Group of Consultans, kerap memberi nasehat bagi pada investor India yang akan menanamkan modal mereka di Indonesia. Keanggotaan organisasi ini meliputi 200 keluarga Tamil di Jakarta. Organisasi juga mendidik orang-orang Tamil agar masuk menjadi keluarga Tamil, utamanya yang berasal dari Medan. Atma Jyoti adalah organisasi Tamil lain yang dibangun oleh orang-orang Tamil asal Medan. Pada perkembangannya Atma Jyoti menjadi pusat kaum muda Tamil asal Medan untuk saling mengenal satu sama lain. Kegiatannya meliputi pertunjukkan budaya yang menampilkan lagu dan tarian khas Tamil melalui film. Keluarga Tamil asal Medan juga menggunakan organisasi ini untuk social gathering di Jakarta.[sumber;http://setabasri01.blogspot.com]