ERA KEEMASAN GEISHA - WANITA PENGHIBUR JEPANG
Kata geisha secara harfiah berarti ”orang seni” yaitu mereka yang mengabdikan dirinya pada ketrampilan menghibur. Awalnya mereka semua adalah pria. Pada permulaan adanya rumah hiburan, mereka berpenampilan sedemikian rupa sehingga para pelacur kelas tinggi dianggap berada di bawahnya, sebagai penari, pelawak, penabuh drum dan pemain shamisen. Geisha dianggap semata-mata hanya pelengkap orang yang menemani orang penting dalam lingkaran kehidupan pelacur oiran.
Sebelumnya Baca dulu : Rahasia Kehidupan Seorang Geisha (Part 1)
Ketika geisha wanita mulai muncul sekitar tahun 1750, mereka diarahkan sebagai onna geisha (geisha wanita). Ada kekhawatiran bahwa para geisha ini akan bersaing dengan para yujo bagi para pelanggan dan karenanya ada banyak larangan pada prilaku mereka. Geisha wanita pertama dari Yoshiwara bernama Kasen. Dia keluar dari profesi sebagai penghibur (entertainer) murni setelah lunas membayar semua hutangnya. Namun karena pengaruh waktu para wanita itu kemudian menggantikan gesiha pria dan sekitar tahun 1800 semua geisha adalah wanita.
Geisha awalnya diperbolehkan untuk bebas ke tempat-tempat hiburan. Belakangan mereka diatur menjadi seperti yujo; mereka harus mendaftar, dan tidak diperbolehkan meninggalkan tempat tanpa ijin khusus. Di tempat-tempat tersebut, geisha yang kurang atraktif yang diperlakukan lebih rendah dari yujo justru lebih disukai.
Namun demikian, geisha yang tidak mempunyai ketrampilan menghibur mulai menghuni tempat-tempat hiburan yang tidak resmi. Para geisha ini atas keinginan mereka menjadi pelacur jenis baru yang disebut sebagai iki. Yujo, pelacur kelas tinggi di tempat-tempat hiburan tersebut sangat kontras dibandingkan geisha karena geisha terlalu berprilaku normal, ketinggalan jaman, menggunakan ornamen yang berlebihan dan dikutuk karena kepura-puraannya. Kadang-kadang Yujo kehilangan seluruh keinginan seksualnya dan geishalah yang menggantikannya, merefleksikan kekuatan baru abad ke-19 saat Jepang memasuki masa modern.
Abad ke-19 saat kehidupan geisha mencapai masa puncak adalah saatnya gejolak politis. Jepang sudah matang untuk perubahan politik saat Admiral Perry dari Amerika dan pasukan marinirnya berhasil membuka gerbang pelabuhan Jepang pada tahun 1853. Restorasi kekaisaran mulai sungguh-sungguh dilaksanakan; yang mengakibatkan peperangan terhadap regim Tokugawa yang telah memerintah selama lebih dari 250 tahun. Bangsa Jepang yang baru mulai dengan modernisasi, industrialisasi dan bahkan penjajahan.
Geisha tidak hanya memimpin dalam hal fashion tetapi juga semangat revolusi yang heroik. Mereka terlibat dalam intrik-intrik pemberontakan politik yang di kemudian hari menjadi pendiri bangsa baru. Berulangkali terjadi bahwa cara seperti itu dipakai untuk menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat pemerintahan yang “terjatuh” di kedai-kedai teh kota Gion di Kyoto. Beberapa pahlawan nasional bangsa Jepang yang baru menikah dengan geisha simpanan mereka dan membawa mereka ke ibukota yang baru yaitu Tokyo (dulunya bernama Edo) untuk menjadi istrinya. Mungkin fakta bahwa mantan geisha berada dalam lingkaran pemerintahan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat. Mengubah hukum menjadikan status Yujo dan pelacur menjadi rendah, yang hanya trampil dalam seni bercinta dan geisha yang trampil dalam bidang musik dan tari.
Dari mulai pertama kali mereka terkenal, geisha sudah lama menjadi obyek ukiyo-e, cetakan balok kayu yang melukiskan ”dunia yang mengambang”. Sekarang, dalam era komersial yang terus berkembang, geisha sering dilukiskan pada kartu pos dan iklan. Mereka menjadi simbol atau lambang Jepang modern, menyajikan warna-warna lokal, parade tarian, dan muncul dalam poster-poster wisata untuk menarik wisatawan domestik dan wisatawan asing. Wilayah geisha yang disebut hanamachi mulai mensponsori tarian tahunan atau semi tahunan untuk menarik masyarakat umum. Geisha dalam masa seratus tahun lebih sedikit telah hilang dan tidak menjadi trendsetter dan ikon.
DEKADENSI SEBELUM PERANG
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, tahun yang sama dimana karakter Sayuri kreasi Arthur Golden atas keinginanya sendiri menjadi geisha, modernitas Jepang telah berubah menjadi ala Barat, dan iki dari geisha telah kehilangan daya tariknya. Jumlah geisha lebih banyak dari sebelumnya namun para wanita ”modern” kini menjadi garda depan yang dideskripsikan sebagai modan.
Dekade sebelum Perang Dunia II adalah masa dekadensi (kemerosotan). Dengan pengaruh Hollywood, majalah, acara radio, musik pop dan jazz, para pemuda menjadi mobo dan pemudi menjadi moga, kependekan dari modern boy dan modern girl. Mereka menari jitterbug, bermain tennis dan minum bir dan wiski. Para pemudi menganggap kimono elegan namun terlalu repot untuk dikenakan. Mereka memotong rambut panjangnya menjadi model bob agar tidak ketinggalan jaman. Peluang kerja untuk para wanita muda meningkat-seorang wanita muda sekarang bisa menjadi sales toko, pekerja kantoran, gadis penjaga elevator, atau kalau mereka sedikit giat mereka bisa menjadi saingan geisha yang baru yaitu menjadi seorang jokyu atau gadis kafe. Seperti halnya dengan geisha beberapa jokyu menjadi selebriti.
Eksperimen ini tidaklah berlangsung dalam jangka pendek. Semangat patriotisme yang baru seiring meningkatnya patriotisme militer pada tahun 1930-an mengharuskan mereka kembali pada tradisi. Ini berarti gesiha muncul kembali.
PERUBAHAN PADA MASA PERANG
Bersamaan dengan tumbuhnya agresi Jepang ke negara-negara Asia pada tahun 1930-an, apa yang terjadi di Jepang adalah rasa anti Barat. Tradisi ketimuran adalah tradisi yang paling ideal dan tradisi Jepang merupakan kebangkitan yang pertama.
Pemererintah Jepang menyalahkan “dekadensi” yang terjadi pada dekade sebelumnya yang terpengaruh kehidupan dan budaya Barat dan pemerintah mulai aktif mengendalikan hal tersebut. Film-film Amerika dilarang dan bahasa Inggris dilarang diajarkan di sekolah-sekolah. Fashion dikontrol. Para wanita tidak diperbolehkan mengenakan rambut palsu. Pada tahun 1940-an para wanita disarankan untuk mengenakan mompe, atau celana petani dari pada mengenakan rok.
Di tengah masa suram ini, masa represif, geisha diapresiasi sebagai lambang tradisional Jepang. Dalam proses tersebut perdebatan tentang apakah geisha harus mengikuti modernisasi dan menjadi lebih kebarat-baratan tidak terdengar lagi. Mulai dari saat itu geisha menjadi penyelamat atas tradisi lama. Selama tahun-tahun peperangan, para pejabat militer mengganti para industrialis terkemuka sebagai pelindung geisha. Geisha menjadi pemimpin dalam hal patriotisme karena mereka menghibur pada pesta-pesta militer dan menemui para pejabat pada saat tidak bertempur. Dalam Memoir of a Geisha, hubungan Sayuri dengan Jendral Tottori Junnosuke merupakan tipikal khas waktu itu. Tipe “insider status” maksudnya adalah jika pada saat masyarakat umum sulit untuk mendapatkan makanan pokok dan pasokan, geisha biasanya bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Hal itu terjadi sampai pada akhir perang pada tahun 1944 dimana semua kedai teh dan geisha ditutup. Para geisha kemudian bergabung kepada warga non-militer yang kemudian bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan perang. Banyak gesiha, seperti halnya Sayuri, menggunakan koneksinya agar mudah mendapatkan pekerjaan.
Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus tahun 1945, pemerintah membuka semua hal yang ditutup pada tahun 1944. Organisasi dan kepemilikan baru dibentuk yang disebut Recreation and Amusement Association (Asosiasi Rekreasi dan Hiburan) untuk merekrut para wanita. Walaupun mereka memerlukan sedikitnya 5000 wanita, hanya 1360 yang menanggapi iklan tersebut.
Pada bulan Januari tahun 1946 kantor pusat Jendral MacArthur memerintahkan penghapusan legalisasi prostitusi. Hasilnya adalah munculnya “zona garis merah” dimana orang Amerika dilarang masuk namun orang Jepang diperbolehkan untuk memasuki dunia prostitusi freelance. Akhirnya pada tanggal 12 Mei 1956 semua pelacuran di Jepang dianggap ilegal. Praktis para geisha mengencangkan obis mereka, menyesuaikan diri dengan masa dan kebijakan baru, membentuk sosiasi baru dan tetap bertahan.
KEHIDUPAN SEORANG GEISHA
Seorang geisha tidak dapat bertahan tanpa memelihara jaringan yang kuat diantara anggota komunitasnya. Apakah hubungan ini merupakan hubungan positif atau negatif, mereka tetap mendukung geisha secara pribadi. Penggunaan nama geisha yang terkenal adalah hal penting bagi mereka untuk menunjukkan jenis dukungan keluarga yang diperlukan. Keberhasilan seorang geisha seperti karakter Sayuri bukan hanya karena kecantikannya atau bakatnya tetapi juga karena dukungan “kakaknya” yang bernama Mameha.
Dalam pelatihan karirnya, ada ritual-ritual tertentu yang lazim diajarkan kepada geisha pada masa sebelum perang. Geisha mewarisi pelatihan kehidupan ini dari yujo, yaitu pelacur sebelum mereka.
Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga menyelesaikan tugas-tugasnya.
Sebagai seorang remaja, jika sudah siap, dia menjadi magang geisha, yang di Kyoto disebut maiko dan di Tokyo disebut oshaku. Dia didandani dengan kimono terang dengan lengan panjang. Dia mulai mengenakan rambut model “belah-persik” dimana rambut di gulungan rambutnya membentuk segitiga kecil. Agar bisa menjadi seorang pemagang, dia harus mempunyai seorang onesan (kakak perempuan) yang bersedia mengajaknya pada tugas-tugasnya sehingga dia bisa belajar melalui minarai (observasi). Seorang geisha dan pemagang kemudian pergi ke upacara persaudaraan yang menyerupai pernikahan, saling menukar tiga teguk sake. Hal ini disebut san san kudo.
Seorang geisha akan menjadi milik seseorang yang menjadi penawar tertinggi mizuage-nya, kehilangan virginitasnya dan menjadi wanita sepenuhnya. Sebuah upacara meneguk sake akan dilaksanakan kembali. Sebagai tanda atas perubahan yang signifikan ini sebuah tanda merah akan ditempatkan di rambutnya. Seperti halnya perubahan untuk pakaian wanita yang terjadi setelah perkawinan orang Jepang, hal ini menjadikan perubahan seorang geisha sebagai bukti untuk dilihat semua orang.
Ketika seorang geisha mencapai status penuh, dia akan eriakae o suru (mengganti tanda di lehernya). Ini berarti bahwa dia akan mengganti bagian warna putih di komino bagian bawahnya dengan sebagian warna merah di bawah pakaiannya. Dia mengenakanya dengan cara ini ketika dia diperkenalkan. Pada titik ini dia mengganti kimononya dengan model yang lebih sederhana model lengan pendek untuk wanita dewasa.
Mendapatkan status penuh sebagai seorang geisha hampir selalu terlibat penuh dengan majikannya atau danna. Dia akan memberikan dukungan finansial, bahkan kadang-kadang cukup untuk membuat sebuah rumah.
Hal yang paling menentukan dalam karir seorang geisha adalah keputusanya untuk menikah. Mereka mungkin juga meninggalkan hanamachi dan menjadi istri simpanan sepenuhnya. Namun demikian banyak geisha yang tetap tinggal di tempat hiburan dan menjadi okasan dan mengatur rumah geishanya sendiri. Banyak geisha yang sesudah pernikahanya gagal atau hancur kembali pada kehidupan sebelumnya yang dirasa paling nyaman.
Bersambung ke : Menguak Rahasia Kehidupan Seorang Geisha (Part 3)
[sumber;http://deltapapa.wordpress.com]