| Pasokan Energi   dan Kekuatan Maritim Hermawan Agustiawan ;  Anggota   Dewan Energi Nasional (2009-2013) | 
KOMPAS, 17 Oktober 2012
| Sejarah membuktikan, sejak krisis minyak   1973 di negara-negara Barat, energi menjadi komoditas yang mampu memicu suhu   politik dan keamanan dunia. Dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia   dari Barat ke Timur, peran Indonesia di Asia Pasifik sebagai tempat   berinvestasi jadi sangat menarik. Sumber daya alam dan energi yang relatif   banyak, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan jumlah penduduk keempat terbesar di   dunia menjadi faktor-faktor pendukungnya. Keunggulan komparatif ini tak bisa maksimal   manfaatnya jika infrastruktur dan pasokan energi belum memadai. Sementara   lokasi dan kondisi geografi Indonesia yang rentan ancaman keamanan dan   bencana, penanganannya pun terkait erat pemenuhan energi domestik. Kekuatan   Maritim Sebagai negara kepulauan dengan garis   pantai kedua terpanjang di dunia, dan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia   (ALKI: PP No 37/2002), ancaman terhadap keamanan maritim Indonesia cukup   banyak dan beragam. Ancaman bisa dari dalam dan luar, seperti perompakan,   terorisme, penyelundupan, pencurian ikan dan kekayaan laut lainnya. Salah satu tolok ukur dari kekuatan maritim   Indonesia adalah penguasaan terhadap ALKI I (Selat Malaka-Karimata-Sunda),   ALKI II (Selat Makassar-Lombok), dan ALKI III (Selat Leti- Ombai). Setiap   tahun, Selat Malaka dilalui 60.000 lebih kapal, mengangkut seperempat   perdagangan dunia. Selat ini juga dilalui muatan strategis berupa 15 juta   barrel minyak per hari, memasok energi ke negara-negara maju Asia Timur   seperti China, Korea Selatan, dan Jepang. Karena perannya yang strategis, keberadaan   ALKI dapat dijadikan bargaining chip dalam diplomasi. Ini bisa terwujud jika   didukung kekuatan maritim yang tangguh. Namun, di kawasan Asia Tenggara   sendiri masih ada perbedaan cara pandang terkait keamanan maritim bersama.   Indonesia dan Malaysia menolak kehadiran kekuatan asing menjaga Selat Malaka,   sedangkan Singapura mengharapkan Jepang atau Amerika ikut campur dalam   penanganan keamanan selat ini. Ada dugaan, jika suhu geopolitik di kawasan   Asia Tenggara memanas, Selat Malaka berpeluang jadi ajang kekuatan negara-   negara besar. Artinya, peningkatan kekuatan maritim di ketiga ALKI merupakan   unavoidable destiny. Hal ini mengingat pada masa lampau pengembangan TNI   belum sepenuhnya untuk kekuatan maritim. Menurut ICC International Maritime Bureau   (2012), jumlah pembajakan, termasuk percobaan, di Asia Tenggara terus   meningkat, terutama di perairan Indonesia, yaitu 21 pada 2011 dan 32 pada   2012. Ke depan, peluang ancaman terorisme terhadap tanker BBM dan LNG/LPG di   kawasan Selat Malaka masih terbuka, baik dengan cara memasang bom di kapal   atau langsung menabrakkan tanker ke target. Kondisi di atas menggiring Indonesia untuk   memperkuat armada lautnya. Penguatan armada tak hanya jumlah dan jenis   peralatan militer, tetapi juga pasokan energi dan infrastruktur pendukungnya.   Kapal perang TNI AL mengonsumsi energi terbesar ketimbang peralatan militer   yang dimiliki oleh matra AD dan AU. Pangkalan utama TNI AL sering menghadapi   kendala dalam memenuhi kebutuhan BBM-nya, termasuk dalam kondisi normal. Simulasi yang dilakukan oleh Universitas Pertahanan   Indonesia menunjukkan, untuk operasi penutupan sebuah ALKI—dan pengamanan   perbatasan laut dengan negara tetangga dalam waktu 24 jam—dibutuhkan paling   tidak 1 juta liter solar per hari. Ini belum termasuk saat keberangkatan   sehingga operasi pengamanan maritim butuh pasokan energi yang besar. Penanganan   Bencana Di sisi lain, wilayah Indonesia yang berada   pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar (Indo- Australia, Eurasia,   Pasifik) dan bagian dari cincin api Pasifik juga merupakan ancaman bagi ketahanan   ekonomi dan pada akhirnya ke keamanan nasional. Ancaman bisa terjadi setiap   saat berupa aktivitas gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Bencana berskala besar pernah terjadi di   Indonesia, seperti tsunami di Aceh 2004 dan gempa bumi di Sumbar 2009. Bencana   pun bisa terjadi karena ulah manusia, seperti kebakaran, banjir, dan longsor.   Bencana seperti ini akan berulang dan integral dengan kehidupan manusia. Menyadari hal-hal di atas, Pemerintah   Indonesia telah berupaya melakukan mitigasi berupa peringatan dini, rute dan   latihan evakuasi, serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang risiko   bencana. Sebagai wujud nyata, BNPB kini tengah berupaya membangun 26 shelter   di Pariaman dan Agam untuk menampung sekitar 30.400 jiwa. Upaya mitigasi bencana berjangka pendek   memang perlu, tetapi itu saja tidak cukup. Pada kondisi nyata, evakuasi tanpa   korban dari jumlah penduduk sebanyak dan dalam waktu sesingkat itu tidaklah   mudah. Terlebih jika bencana terjadi pada dini hari. Guna menekan jumlah   korban dan atau upaya mitigasi jangka panjang, maka akar masalah harus   teratasi. Bagaimana? Banyak sebab masyarakat pesisir pantai   ”enggan” meninggalkan habitatnya meski sadar nyawanya terancam. Terbatasnya   lapangan pekerjaan di kawasan aman penyebab utamanya. Ini titik awal timbulnya   lingkaran kemalangan bencana. Ciri dari masyarakat yang demikian adalah   konsumsi energi per kapita (BBM dan listrik) yang rendah. Sementara larangan   pemerintah kepada masyarakat untuk tidak bermukim di daerah rawan bencana   pada radius tertentu juga krusial. Oleh karena itu, peran energi dalam   mendongkrak roda perekonomian dan menciptakan lapangan kerja jadi mutlak.   Ketersediaan infrastruktur, pasokan, dan daya beli energi masyarakat menjadi   solusi jangka menengah-panjang dalam mengatasi lingkaran kemalangan bencana. Benang   Merah Keamanan Ada benang merah antara peran energi dengan   penanganan masalah keamanan maritim dan bencana. Sudah saatnya pembelian   peralatan militer TNI AL dibarengi dengan anggaran yang memadai untuk   infrastruktur, energi, dan pengembangan SDM. Diversifikasi energi untuk   peralatan TNI AL dari solar (HSD) ke biodiesel krusial karena armada laut   harus selalu siap dikerahkan pada kondisi darurat. Penggunaan korvet untuk penangkapan   pencurian ikan dan penyelundupan perlu dikaji ulang karena boros energi.   Penjaga pantai perlu diberdayakan agar TNI AL lebih fokus dalam melakukan   tugas-tugas pokoknya. Sementara itu, bagi terwujudnya sistem pertahanan   negara yang kokoh, terutama di wilayah perbatasan utara dan timur Indonesia   yang rawan konflik, cadangan penyangga minyak strategis sangat diperlukan. Terakhir, pembekalan pengetahuan dan   pembentukan karakter kepada calon pemimpin bangsa melalui program studi   pascasarjana jurusan keamanan maritim (maritime security). Inisiatif   pendirian program ini telah dilakukan Universitas Pertahanan Indonesia,   dimulai tahun ajaran 2013/2014. Program Studi Maritime Security berada pada   Sekolah Studi Keamanan yang telah memiliki dua program lainnya: Energy   Security dan Disaster Management. Ketiga program ini merupakan upaya   pelembagaan sekaligus jawaban berjangka menengah-panjang terhadap ancaman   kerentanan energi, keamanan maritim, dan bencana nasional. ● |