Problem Krusial RUU Pilkada yang Luput dari Perdebatan Wawan Sobari ; Peneliti JPIP, Sedang menyusun disertasi Doktor Ilmu Politik di Flinders University, Adelaide, Australi |
JAWA POS, 02 Oktober 2012
Pembahasan RUU Pilkada sudah ditabuh. Sayangnya, diskusi publik baru membahas hal-hal operasional. Sementara itu, persoalan krusial yang selama ini membayangi kurang mendapat perhatian, yakni informalitas.
Debat yang mengemuka masih itu-itu saja. Di antaranya, mengenai pelaksanaan pilkada serentak, pemilihan gubernur oleh DPRD, dan usul gubernur ditunjuk. Selain itu, muncul pula kritisisme terhadap usul pemerintah untuk memisahkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Baru saja Munas NU merekomendasikan pilkada di kabupaten/kota dikembalikan ke DPRD, sementara di tingkat provinsi tetap pilkada langsung.
Perdebatan itu sehat-sehat saja. Namun, banyak kalangan yang justru kurang serius mendiskusikan persoalan penting menyangkut tata kelola pilkada yang baik dan akuntabel. Yakni, terkait usul pelanggaran pilkada dan sanksinya. Padahal, banyak konflik pilkada yang berujung pada situasi chaos di daerah atau perkara sengketa pilkada yang menyita biaya dan tenaga.
Komisi II DPR masih memberikan kesempatan kepada semua kalangan untuk mengirimkan saran dan masukan. Maka, tidak ada salahnya bagi publik memberikan kritik untuk menyempurnakan RUU itu hingga waktu pengesahannya.
Karena demokratisasi di Indonesia bersifat prosedural, cenderung spontan, dan tumbuh tidak dibarengi kemapanan ekonomi dan sosial, pilkada lahir seperti buah yang belum matang. Proses-proses instan para kontestan pilkada lebih sering kita jumpai. Tidak jarang ditemukan perbedaan peraturan pemilu dan kemampuan implementasinya.
Secara sederhana, pelaksanaan pilkada banyak diwarnai fakta-fakta informalitas. Yaitu, berupa aktivitas, aktor, saluran, dan kesepakatan informal yang menyetir proses pembuatan kebijakan di daerah. Informalitas menempuh penggunaan kekuasaan dalam mengendalikan pembuatan kebijakan. Tujuannya, kebijakan berpihak kepada aktor dan kepentingan tertentu secara ekslusif.
Bahaya informalitas muncul saat kepentingan individual lebih diakomodasi daripada aspirasi publik. Informalitas bisa merusak tatanan kepercayaan politik. Terutama, saat para aktor pemerintah dan nonpemerintah berkolaborasi memperjuangkan kepentingan sempit demi memperoleh keuntungan individu atau kelompok. Maka, keluaran dan dampak kebijakan yang semestinya dinikmati sebagai barang publik pada kenyataannya hanya bisa diakses dan dinikmati kalangan terbatas.
Hal itulah yang justru kurang diantisipasi dalam rencana pengaturan pilkada yang tengah dibahas. Beberapa titik lemah tampak dalam pengaturan kampanye, pelanggaran pidana, dan sanksinya.
Dalam mengatur kampanye, RUU itu sulit keluar dari perspektif formal mengenai kampanye sebagai salah satu tahapan resmi pilkada. Rancangan pasal 86 tentang pelaksanaan kampanye secara eksplisit mendefinisikan kampanye dengan sangat terbatas oleh tim kampanye pasangan calon.
Kenyataannya, para pendukung calon di luar tim kampanye justru lebih banyak. Konsekuensi yang mungkin terjadi, bila terjadi pelanggaran, penyelenggara pilkada sulit menetapkan sanksi pelanggaran kepada para pihak di luar tim kampanye tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan, selama ini kolega calon di luar tim kampanye ikut terlibat mempromosikan calon. Mereka melakukannya dengan target dan tujuan tertentu yang bisa dikalkulasikan bersama calon bila menang dalam pilkada. Maka, kita sering melihat alat peraga promosi bakal calon sudah beredar di ruang-ruang publik jauh-jauh hari sebelum pilkada. Inisiatif upaya tersebut belum tentu berasal dari dan dilakukan tim bakal calon.
Sementara itu, rancangan pasal mengenai larangan dalam kampanye terkait penggunaan anggaran dan fasilitas pemerintah hanya menguntungkan incumbent. Meski rencana penundaan dan pelaksanaan pilkada serentak sangat mungkin dilaksanakan. Namun, sejak jauh-jauh hari sebelum pilkada, incumbent atau keluarganya bisa ikut memboncengi program-program daerah, provinsi, dan nasional untuk mendongkrak tingkat popularitas dan penerimaan masyarakat.
Alhasil, tidak jarang ditemui dalam kurun dua tahun menjelang habisnya masa jabatan, para incumbent atau keluarganya mengarahkan program-program daerah supaya sesuai dengan target pilkada. Apalagi kalau ada keinginan meneruskan jabatan kepada kerabat atau suami atau istri.
Pun, larangan pelibatan pejabat daerah, PNS, kepala desa, dan perangkat desa sulit dihindari. Fakta selama ini, transaksi kebijakan di antara incumbent dan birokrasi, termasuk kepala desa dan perangkatnya, sulit dideteksi penyelenggara atau pengawas pilkada. Apalagi bila praktik transaksi dilakukan sebelum masa kampanye atau "curi start".
Nasib pengaturan dana kampanye setali tiga uang. RUU Pilkada tidak mampu mengatur sumbangan yang tidak dilaporkan. Bisa saja seorang pengusaha membagikan atau memasang atribut pengenalan bakal calon atas inisiatif sendiri. Konsekuensinya, dana yang dikeluarkan untuk hal tersebut sulit terjangkau auditor. Padahal, sang kepala daerah terpilih bisa saja terjerat utang besar dan mengganggu akuntabilitas pemerintahan.
Menyangkut pelanggaran pidana, kelemahan RUU Pilkada, antara lain, terletak pada penyebutan politik uang. Bila yang dimaksud politik uang terbatas pada pemberian uang tunai kepada calon pemilih untuk memengaruhi pilihannya, pasal itu akan mudah dikelabui. Sebaiknya, penyebutan politik uang diganti dengan istilah yang lebih luas "atau materi lainnya" sebagaimana disebutkan dalam rancangan pasal 97.
Maka, para pemutus RUU Pilkada perlu lebih dalam lagi mengkaji berbagai potensi dan praktik informalitas yang mungkin muncul menyertai pilkada. Terutama menyangkut incumbent atau keluarganya. Bila RUU terbatas mengatur pilkada, UU atau peraturan lainnya mesti mengantisipasi informalitas. ●
Debat yang mengemuka masih itu-itu saja. Di antaranya, mengenai pelaksanaan pilkada serentak, pemilihan gubernur oleh DPRD, dan usul gubernur ditunjuk. Selain itu, muncul pula kritisisme terhadap usul pemerintah untuk memisahkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Baru saja Munas NU merekomendasikan pilkada di kabupaten/kota dikembalikan ke DPRD, sementara di tingkat provinsi tetap pilkada langsung.
Perdebatan itu sehat-sehat saja. Namun, banyak kalangan yang justru kurang serius mendiskusikan persoalan penting menyangkut tata kelola pilkada yang baik dan akuntabel. Yakni, terkait usul pelanggaran pilkada dan sanksinya. Padahal, banyak konflik pilkada yang berujung pada situasi chaos di daerah atau perkara sengketa pilkada yang menyita biaya dan tenaga.
Komisi II DPR masih memberikan kesempatan kepada semua kalangan untuk mengirimkan saran dan masukan. Maka, tidak ada salahnya bagi publik memberikan kritik untuk menyempurnakan RUU itu hingga waktu pengesahannya.
Karena demokratisasi di Indonesia bersifat prosedural, cenderung spontan, dan tumbuh tidak dibarengi kemapanan ekonomi dan sosial, pilkada lahir seperti buah yang belum matang. Proses-proses instan para kontestan pilkada lebih sering kita jumpai. Tidak jarang ditemukan perbedaan peraturan pemilu dan kemampuan implementasinya.
Secara sederhana, pelaksanaan pilkada banyak diwarnai fakta-fakta informalitas. Yaitu, berupa aktivitas, aktor, saluran, dan kesepakatan informal yang menyetir proses pembuatan kebijakan di daerah. Informalitas menempuh penggunaan kekuasaan dalam mengendalikan pembuatan kebijakan. Tujuannya, kebijakan berpihak kepada aktor dan kepentingan tertentu secara ekslusif.
Bahaya informalitas muncul saat kepentingan individual lebih diakomodasi daripada aspirasi publik. Informalitas bisa merusak tatanan kepercayaan politik. Terutama, saat para aktor pemerintah dan nonpemerintah berkolaborasi memperjuangkan kepentingan sempit demi memperoleh keuntungan individu atau kelompok. Maka, keluaran dan dampak kebijakan yang semestinya dinikmati sebagai barang publik pada kenyataannya hanya bisa diakses dan dinikmati kalangan terbatas.
Hal itulah yang justru kurang diantisipasi dalam rencana pengaturan pilkada yang tengah dibahas. Beberapa titik lemah tampak dalam pengaturan kampanye, pelanggaran pidana, dan sanksinya.
Dalam mengatur kampanye, RUU itu sulit keluar dari perspektif formal mengenai kampanye sebagai salah satu tahapan resmi pilkada. Rancangan pasal 86 tentang pelaksanaan kampanye secara eksplisit mendefinisikan kampanye dengan sangat terbatas oleh tim kampanye pasangan calon.
Kenyataannya, para pendukung calon di luar tim kampanye justru lebih banyak. Konsekuensi yang mungkin terjadi, bila terjadi pelanggaran, penyelenggara pilkada sulit menetapkan sanksi pelanggaran kepada para pihak di luar tim kampanye tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan, selama ini kolega calon di luar tim kampanye ikut terlibat mempromosikan calon. Mereka melakukannya dengan target dan tujuan tertentu yang bisa dikalkulasikan bersama calon bila menang dalam pilkada. Maka, kita sering melihat alat peraga promosi bakal calon sudah beredar di ruang-ruang publik jauh-jauh hari sebelum pilkada. Inisiatif upaya tersebut belum tentu berasal dari dan dilakukan tim bakal calon.
Sementara itu, rancangan pasal mengenai larangan dalam kampanye terkait penggunaan anggaran dan fasilitas pemerintah hanya menguntungkan incumbent. Meski rencana penundaan dan pelaksanaan pilkada serentak sangat mungkin dilaksanakan. Namun, sejak jauh-jauh hari sebelum pilkada, incumbent atau keluarganya bisa ikut memboncengi program-program daerah, provinsi, dan nasional untuk mendongkrak tingkat popularitas dan penerimaan masyarakat.
Alhasil, tidak jarang ditemui dalam kurun dua tahun menjelang habisnya masa jabatan, para incumbent atau keluarganya mengarahkan program-program daerah supaya sesuai dengan target pilkada. Apalagi kalau ada keinginan meneruskan jabatan kepada kerabat atau suami atau istri.
Pun, larangan pelibatan pejabat daerah, PNS, kepala desa, dan perangkat desa sulit dihindari. Fakta selama ini, transaksi kebijakan di antara incumbent dan birokrasi, termasuk kepala desa dan perangkatnya, sulit dideteksi penyelenggara atau pengawas pilkada. Apalagi bila praktik transaksi dilakukan sebelum masa kampanye atau "curi start".
Nasib pengaturan dana kampanye setali tiga uang. RUU Pilkada tidak mampu mengatur sumbangan yang tidak dilaporkan. Bisa saja seorang pengusaha membagikan atau memasang atribut pengenalan bakal calon atas inisiatif sendiri. Konsekuensinya, dana yang dikeluarkan untuk hal tersebut sulit terjangkau auditor. Padahal, sang kepala daerah terpilih bisa saja terjerat utang besar dan mengganggu akuntabilitas pemerintahan.
Menyangkut pelanggaran pidana, kelemahan RUU Pilkada, antara lain, terletak pada penyebutan politik uang. Bila yang dimaksud politik uang terbatas pada pemberian uang tunai kepada calon pemilih untuk memengaruhi pilihannya, pasal itu akan mudah dikelabui. Sebaiknya, penyebutan politik uang diganti dengan istilah yang lebih luas "atau materi lainnya" sebagaimana disebutkan dalam rancangan pasal 97.
Maka, para pemutus RUU Pilkada perlu lebih dalam lagi mengkaji berbagai potensi dan praktik informalitas yang mungkin muncul menyertai pilkada. Terutama menyangkut incumbent atau keluarganya. Bila RUU terbatas mengatur pilkada, UU atau peraturan lainnya mesti mengantisipasi informalitas. ●