Pembangunan Melalui Sambung Rasa Iman Sugema ; Ekonom |
REPUBLIKA, 01 Oktober 2012
Setiap kali saya singgah di Solo, kota itu selalu memberi saya kejutan. Kota tersebut sangat berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Kalau kita berjalan kaki, rasanya kok seperti di Singapura ya. Nyaman, resik, dan sangat teratur. Anda juga bisa ikut nongkrong berinternet ria di berbagai sudut taman kota. Bedanya dengan Singapura hanyalah gedung pencakar langit, yang di Solo bisa dihitung dengan jari. Kota yang nyaman biasanya ramah terhadap pejalan kaki dan banyak tempat hang-out.
Tapi, bukan itu yang paling mengejutkan saya. Setiap saya ngobrol dengan wong Solo, selalu ujungnya adalah pembicaraan tentang begitu kagum dan hormatnya mereka terhadap wali kota mereka alias Jokowi. Mulai dari pedagang kaki lima sampai pengusaha besar, selalu memberi ekspresi yang sama terhadap Pak Wali Kota.
Inilah yang paling jarang saya temukan di wilayah lain di Indonesia. Kalau kita ngobrol tentang pejabat daerah atau nasional, biasanya yang keluar adalah keluhan, cercaan, dan nada sinis.
Kalau kita telisik gaya dan penampilan Jokowi, sungguh tak ada yang luar biasa. Dia bukan prince charming yang senyumnya sangat memikat. Dia juga tak pernah memunculkan gaya pidato yang memikat ala Obama atau Bung Karno. Bahkan, kosakata nya biasa-biasa saja seperti umumnya rakyat jelata. Hampir tak ada gaya komunikasi yang membuat orang terkesiap atau terkagum-kagum.
Tapi, mengapa rakyat Solo begitu kagum dan menghormatinya setengah mati? Bahkan, rakyat Jakarta baru saja menobatkannya sebagai orang yang paling layak untuk jadi gubernur.
Satu-satunya hal yang paling bisa menerangkan hal tersebut adalah cara dia berinteraksi secara full body contact dengan rakyat. Dia adalah sosok pemimpin yang suka sekali berkeluyuran dari pagi sampai petang setiap hari kerja untuk ngobrol santai dengan rakyat dari kalangan manapun. Proses ini kemudian membangun kesadaran tentang apa yang dihadapi oleh masyarakat dan bentuk intervensi apa yang diharapkan. Karena itu, program pembangunan yang digulirkannya selalu sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Contoh yang paling klasik adalah pemindahan pedagang kaki lima ke pasar semimodern dan relokasi permukiman di bantaran sungai yang selalu kebanjiran ke kompleks perumahan yang lebih manusiawi. Dia juga mungkin satu-satu nya wali kota yang setiap hari membawa ratusan kilo beras di bagasi mobil dinas untuk dibagikan secara langsung kepada rakyat yang dianggap membutuhkan.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan oleh Jokowi dikenal dalam ilmu sosiologi dan ekonomi pembangunan sebagai participatory rapid appraisal atau PRA. Tentu tujuannya adalah untuk menangkap apa problem yang dihadapi oleh masyarakat.
Selain itu, masyarakat diajak untuk menemukan solusi yang menurut mereka adalah cara yang terbaik. Metode ini sangat umum dilakukan oleh kalangan akademisi. Namun, tampaknya justru metode ini menjadi lebih bermanfaat ketika yang melakukannya adalah decision maker.
Mengapa demikian? Pertama, decision maker menjadi tersadarkan dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat. Bisa jadi dia tahu tentang pentingnya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, pejabat belum tentu mampu merasakan dan menyadari bagaimana susahnya menjadi orang miskin. Dengan melihat dan berkomunikasi langsung maka pemimpin menjadi lebih menjiwai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, dengan komunikasi langsung maka pemimpin tidak hanya mampu menjiwai dan berempati terhadap masyarakat, tetapi juga menjadi lebih paham tentang latar belakang atau penyebab terjadinya suatu masalah. Terkadang, suatu masalah hanya merupakan refleksi dari masalah lainnya. Contohnya, keluarga yang tinggal di bantaran kali yang setiap musim hujan kebanjiran, sebetulnya orang-orang yang secara sadar tidak ingin hidup terus-menerus dalam situasi seperti itu. Tapi, adakah alternatif yang lebih baik buat mereka? Tugas seorang pemimpin adalah memberi alternatif yang lebih baik.
Ketiga, dalam banyak hal, solusi terbaik selalu ditemukan oleh orang-orang yang berhadapan langsung dengan masalahnya. Kalau Anda tanya kepada pedagang kaki lima apakah mereka punya cita-cita untuk memiliki kios atau toko milik sendiri suatu saat nanti, pasti jawabannya adalah 100 persen ya. Hanya, buat mereka, selama ini memiliki kios adalah sebuah mimpi. Tugas pemimpin adalah mewujudkan impian rakyat. Tentu caranya harus terhormat, bukan main paksa.
Keempat, pemimpin atau pe jabat memiliki kekuasaan dalam penganggaran sehingga berbagai alternatif solusi dapat diterjemahkan langsung dalam bentuk program pembangunan yang sesuai dengan kapasitas ang garan pemerintah. Hal ini penting sebagai bentuk intervensi yang membumi, tetapi juga tidak membabi buta alias asal rakyat senang. Dengan berempati langsung, pemimpin bisa secara lebih efektif menentukan skala prioritas yang sesuai dengan kendala anggaran. Mencari modus pembangunan yang hemat dan bebas dari mark-upmerupakan salah satu cara agar ang garan menjadi lebih terasa buat rakyat. Ukuran kehebatan pemimpin bukanlah pada berapa besar anggaran yang digelontorkan, melainkan lebih pada sejauh mana anggaran tersebut dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Terakhir, saya melihat wabah kotak-kotak di mana-mana. Banyak calon kepala daerah ingin ‘tampil’ seperti Jokowi. Harap diingat, bukan penampilannya lho yang membuat dia mampu menaklukkan rakyat Jakarta. Apa yang diperbuatnya di Solo yang dirindukan di Jakarta. Mudah-mudahan lebih banyak lagi kepala daerah yang berjiwa Jokowi. Intan tak akan pernah tertukar dengan jeruk. ●