Kejahatan Kemanusiaan 1965 Asvi Warman Adam ; Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KORAN TEMPO, 01 Oktober 2012
“Ternyata tidak jelas siapa dalang G30S (Aidit, Biro Chusus, Komite Sentral, atau PKI secara keseluruhan), apa sebetulnya G30S (kudeta, pemberontakan, atau cuma penculikan/pembunuhan beberapa perwira), bagaimana PKI dihancurkan (apakah terjadi pembunuhan massal atau tidak ada sama sekali).”
Pada 2012 terjadi tiga peristiwa yang bisa digabungkan sebagai tonggak sejarah hak asasi manusia di Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah 47 tahun berlalu, baru ada pengakuan negara Indonesia bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan setelah 30 September 1965. Setelah melakukan penyelidikan selama 6 tahun, mengumpulkan dokumen, dan mewawancarai 349 orang, pada 23 Juli 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia selaku lembaga resmi yang dibentuk negara mengatakan telah memperoleh bukti permulaan yang cukup. Laporan setebal 800 halaman itu diserahkan kepada Kejaksaan Agung sebagai bahan penyidikan agar para pelakunya bisa diadili di pengadilan HAM ad hoc.
Peristiwa kedua, penerbitan buku Douglas Kammen and Katherine McGregor (eds), The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68, Singapore and Copenhagen: NUS Press and Nias Press, 2012. Buku ini memakai judul "Kekerasan Massal", bukan "Pembunuhan Massal", karena yang terjadi bukan hanya pembunuhan, tapi juga delapan unsur kejahatan kemanusiaan lainnya (pemusnahan, perbudakan, pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa) persis seperti temuan Komnas HAM. Buku ini memperlihatkan bahwa korban 1965 bukan hanya mereka yang (dianggap) terlibat G30S dan pendukung Sukarno, tapi juga etnis Tionghoa di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat (1967). Persekusi terhadap orang-orang kiri ini bukan hanya di Jawa dan Sumatera, tapi juga di Indonesia bagian tengah dan timur, seperti di Moncong Loe, Sulawesi Selatan, serta Maumere, Nusa Tenggara Timur.
Peristiwa ketiga adalah penayangan film The Act of Killingdalam Festival Film Internasional Toronto, yang setiap tahun ditonton sekitar 300 ribu orang. Film berdurasi 105 menit yang disutradarai Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh Anwar Congo (seorang tukang catut bioskop di Medan) dan kawan-kawan, seputar tahun 1965. Setelah era reformasi, pengakuan para korban 1965 banyak dan mudah diperoleh, tapi kesaksian pelaku pembunuhan sedikit sekali. Para pelaku mengaku membunuh dan menceritakan cara pembunuhan itu dikerjakan dan tidak ada penyesalan karena dilakukan terhadap orang yang mereka anggap tidak mempercayai Tuhan.
Pengungkapan Kebenaran
Setelah era reformasi, sejarah digugat. Tampaknya justru dari kalangan anak-anak muda NU timbul kesadaran telah terjadi kekerasan pada masa lampau yang harus diselesaikan dengan rekonsiliasi. Syarikat (Santri untuk Advokasi Rakyat) di Yogyakarta, yang dipimpin Imam Azis, mengupayakan rekonsiliasi antara mantan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU dan korban 1965. Pada 2003, Syarikat ikut menerbitkan edisi Indonesia buku Robert Cribb, The Indonesian Killing: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Kelompok anak muda NU lain yang tergabung dalam LKiS Yogyakarta menerbitkan buku Geoffrey Robinson berjudul Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (2005). Gus Dur, semasa menjadi Ketua PBNU, pernah melontarkan permintaan maaf kepada para korban 1965.
Disertasi Hermawan Sulistyo di Universitas Negeri Arizona diterjemahkan beberapa anak muda NU (Suaedy dkk) menjadi Palu Arit Di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Dilupakan 1965-1966, dan diterbitkan KPG pada 2000 serta menjadi buku laris. Di dalam naskah disertasi itu sebetulnya dilampirkan kesaksian seorang anggota Banser NU tentang pembunuhan 1965. Namun, dalam edisi Indonesia, pernyataan itu tidak disertakan.
Ketika tuntutan agar mantan presiden Soeharto diadili marak di tengah masyarakat, pada 2003 Komnas HAM membentuk Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto atas usul Prof Ahmad Ali (almarhum). Pencantuman nama Soeharto dilakukan karena tersangka pelaku pelanggaran mesti individu, bukan lembaga. Tim ini diketuai oleh M.M. Billah, dengan beranggotakan banyak praktisi hukum, LSM, dan peneliti, di antaranya Nursyahbani Katjasungkana, Luhut Pangaribuan, Munir (almarhum), Bambang Widjojanto, Hendardi, Romo Sandyawan Sumardi, Pendeta Karel Erari, serta Ita Fadya Nadia. Tim ini membagi kejahatan kemanusiaan era Orde Baru dalam berbagai kasus berat, seperti G30S/1965, DOM Aceh dan Papua, Pembunuhan Misterius (Petrus) pada 1980-an, Tanjung Priok, Talangsari Lampung, Peristiwa 27 Juli 1996, serta Mei 1998/Trisakti/Semanggi. Setelah mengkaji selama beberapa bulan, tim ini menetapkan kasus 1965, khususnya pada Pulau Buru, dan kasus Petrus, sebagai dua kasus yang paling efektif karena tempat, waktu, pelaku, dan korbannya relatif mudah ditelusuri.
Pada Januari 2004, dibentuk tim yang lebih kecil untuk menyelidiki kasus 1965, yang diketuai Salahuddin Wahid. Rapat pertama diadakan, dan saat itu Salahuddin mengatakan bahwa itu adalah rapat pertama dan terakhir bagi dirinya, karena keesokan hari ia akan mendampingi Jenderal Wiranto sebagai calon wakil presiden. Pemilihan ulang ketua tim tersebut bermuara pada perdebatan sengit dalam sidang pleno Komnas HAM, yang menyebabkan tim ini bubar sebelum bekerja. Ketika itu, demonstrasi ormas tertentu menuntut agar tim ini tidak dilanjutkan semakin intensif. Massa berhasil masuk ke gedung HAM dan memaksa komisioner, antara lain Salahuddin Wahid, menandatangani pernyataan tidak akan melanjutkan penyelidikan kasus 1965.
Kedua kasus ini menjadi terbengkalai sampai akhirnya dilanjutkan oleh Komnas HAM era kepemimpinan Ifdhal Kasim sejak 2008. Kasus 1965, yang diinvestigasi oleh Komnas HAM, tersebar di seluruh Indonesia, kecuali Papua, tapi fokus penelitiannya pada enam lokasi: Maumere (Nusa Tenggara Timur), Pulau Kemarau (Sumatera Selatan), Moncong Loe (Sulawesi Selatan), Pulau Buru (Maluku), serta dua penjara/tahanan di Denpasar dan Medan.
Dalang
Tulisan menarik John Rossa memperlihatkan bahwa wacana tentang PKI sebagai dalang G30S oleh rezim Orde Baru yang selama ini dianggap konsisten ternyata penuh pertentangan (Rossa menggunakan istilah aporia). Ternyata tidak jelas siapa dalang G30S (Aidit, Biro Chusus, Komite Sentral, atau PKI secara keseluruhan), apa sebetulnya G30S (kudeta, pemberontakan, atau cuma penculikan/pembunuhan beberapa perwira), serta bagaimana PKI dihancurkan (apakah terjadi pembunuhan massal atau tidak ada sama sekali). Ketidakjelasan sengaja dipertahankan rezim Orde Baru dan pendukungnya agar kepala negara tidak perlu meminta maaf dan tidak perlu ada proses hukum. Ketika buku John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal, dilarang oleh Kejaksaan Agung pada Desember 2009 dan hal ini ditanyakan pers, juru bicara Kejagung mengatakan ada 143 keberatan terhadap buku ini. Tatkala wartawan meminta kejelasan lebih lanjut, dijawab "tidak usah masuk kepada detail". Sesuatu yang tidak jelas tentu tidak bisa diperdebatkan.
Penyidikan oleh Kejaksaan Agung merupakan upaya hukum yang mengarah pada pelaku. Namun, berdasarkan pengalaman, termasuk belakangan ini di Kamboja, pengadilan HAM hanya berhasil menyidangkan satu-dua pelaku gaek. Di Indonesia, meskipun pelakunya (akan) terlepas dari tuntutan hukum, dalam penulisan sejarah sudah bisa dicantumkan bahwa pada 1965, secara faktual, terjadi kejahatan kemanusiaan. ●