Grasi Presiden Berhati Antinarkoba Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM |
SINDO, 16 Oktober 2012
”Yang sulit adalah mencari pengganti Beliau dengan hati yang sama. Hatinya sangat besar. Setelah Beliau selesai menjabat, kita baru akan menyadari dan menyesalinya. Penyesalan akan selalu datang terlambat.” Demikian komentar seorang petinggi negeri, Sabtu lalu. Keesokan harinya, Minggu siang, seorang tokoh partai oposisi mengatakan dengan tulus, ”Beliau orang baik. Semua yang dilakukan dipertimbangkan untuk kebaikan negeri.” Itu adalah komentar-komentar untuk Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY). Di tengah kritikan tajam kepada Presiden, apresiasi mulai datang. Termasuk 94% SMS yang masuk ke 9949 yang mengapresiasi pidato Presiden Senin lalu mengenai persoalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Presiden SBY memang berhati lapang dan berhati besar. Menghadapi dinamika demokratisasi, Presiden menghadapinya dengan tenang, tidak melakukan pendekatan represif. Tidak jarang Presiden menahan perasaannya sendiri meskipun dihujat hampir setiap saat.Termasuk dalam soal terakhir, terkait pemberian grasi kepada Deni Setia Maharwan dan Merika Pranola. Dalam satu kesempatan Presiden SBY mengatakan, ”Setiap memutuskan akan menolak atau memberi grasi dalam hukuman mati, saya selalu merenung. Ini adalah keputusan saya yang menentukan hidup-matinya seseorang. Ini adalah salah satu keputusan Presiden yang sangat pribadi.” Konon, Presiden BJ Habibie juga pernah mempunyai pengalaman pribadi yang sama: sulitnya mengambil keputusan presiden dalam hal hukuman mati. Setelah menimbang dan memohon petunjuk Allah SWT, Presiden Habibie akhirnya memutuskan soal hidup-mati adalah yurisdiksi Sang Khalik, bukan hak manusia untuk mencabut hak hidup seseorang, narapidana sekalipun. Jadi, adalah kesimpulan yang tidak tepat mengatakan dengan pemberian grasi, berarti otomatis seorang Presiden abai dengan penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan narkoba. Apalagi, secara konstitusional, pemberian grasi bukan hanya kewenangan, tetapi juga tugas konstitusional Presiden, tentu dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Kini, dalam praktiknya, ketika akan memberikan grasi, Presiden SBY bahkan sering kali melakukan sidang kabinet terbatas serta mendengarkan pula masukan dari Menkopolhukam, Menkumham, Jaksa Agung, dan Kapolri. Memang Presiden SBY tidak menolak semua permintaan grasi kasus narkoba.Dari 126 permohonan grasi atas kasus narkoba,hanya 19 di antaranya yang disetujui. Dari yang dikabulkan tersebut, 16 adalah WNI, 10 orang di antaranya adalah narapidana anak dan 1 orang tunanetra. Artinya hanya 8 orang dewasa normal yang dikabulkan grasinya. Itu artinya, secara umum, kebijakan Presiden SBY tetap menolak memberikan grasi dalam kasus narkoba kecuali untuk kasus-kasus yang sangat spesifik. Dengan mayoritas mutlak hingga 85% permohonan grasi yang ditolak,justru amat jelas menunjukkan keberpihakan Presiden dalam agenda pemberantasan narkoba. Tentu saja, memberikan grasi dalam kasus narkoba bukanlah kebijakan yang populis, bahkan rentan dengan serangan politik.Tapi Presiden SBY tetap memutuskan kebijakan tersebut. Di samping karena alasan kewenangan konstitusional, alasan kemanusiaan, serta tetap memperhatikan agenda pemberantasan narkoba, dua hal lain yang juga menjadi pertimbangan Presiden adalah: (1) kecenderungan dunia dalam hal hukuman mati serta (2) advokasi warga negara kita yang terancam hukuman mati, khususnya kasus narkoba. Hukuman mati adalah persoalan yang selalu mengundang perdebatan, bahkan di dunia internasional. Namun, kecenderungan dunia mengarah pada pengurangan dan penolakan hukuman mati.Ada 100 negara yang melarang untuk seluruh jenis kejahatan: 7 negara yang melarang untuk kejahatan biasa, 42 negara yang de facto tidak melakukan dalam 10 tahun terakhir, 5 negara yang menerapkan moratorium, dan hanya 44 negara yang masih menjalankan, termasuk Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya masih berlaku dalam beberapa tindak pidana luar biasa seperti korupsi, narkoba, dan teroris. Di dalam Rancangan KUHP, hukuman mati diatur dapat berubah menjadi hukuman seumur hidup,jika sang narapidana berkelakuan baik. Dengan demikian, hukum positif kita ke depan juga mulai mengadopsi pengetatan hukuman mati. Selanjutnya, meskipun tidak terkait langsung, pemberian pengampunan kepada hukuman mati di dalam negeri sebenarnya juga berpengaruh dengan advokasi bagi hukuman mati WNI di luar negeri. Kalau kita terus menjalankan hukuman mati di dalam negeri, hal demikian dianggap tidak konsisten dengan upaya kita memintakan pengampunan hukuman mati WNI,utamanya di Arab Saudi, China, dan Malaysia. Presiden SBY sendiri telah berulang kali mengirimkan surat permohonan ampun kepada kepala negara di mana WNI kita diancam hukuman mati. Maka, adalah sangat wajar, tentu dengan pertimbangan yang matang dan dalam, Presiden tidak hanya meminta pengampunan, tetapi juga memberikan pengampunan atas hukuman mati. Apalagi, data statistik menunjukkan mayoritas WNI yang diancam hukuman mati adalah terkait dengan kasus narkoba. Sejak Juli 2011 hingga 4 Oktober 2012,dari 297 WNI yang diancam hukuman mati, 100 orang alhamdulillah sudah berhasil diselamatkan. Mayoritas di antaranya, yaitu 44 orang, adalah terkait kasus narkoba. Selanjutnya, dari 197 yang masih terjerat ancaman hukuman mati, 120 orang (61%) adalah kasus narkoba, 54 orang (27%) adalah kasus pembunuhan, dan 23 orang (12%) adalah kasus lain-lain. Tapi, memang tidak selalu mudah mengambil kebijakan di iklim bernegara yang demokratis. Apa pun kebijakan publik seorang Presiden, pasti tidak akan memuaskan semua pihak.Tapi itulah ujian dan tantangan bagi seorang pimpinan. Pemimpin diperlukan bukan pada saat pengambilan keputusan yang mudah, seorang pemimpin sejati justru harus ada ketika keputusan sulit harus dijatuhkan. Maka, pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada popularitas, tetapi betul-betul harus berpijak pada rasionalitas,objektivitas, dan keadilan. Jika hanya berpijak pada popularitas, tugas Presiden tentulah lebih mudah. Setiap ada permohonan grasi kasus narkoba, tinggal ditolak saja.Tapi, tentu bukan demikian sikap seorang pengambil keputusan yang bijak. Setiap permohonan harus dicek dan dilihat satu per satu karakteristik dan detailnya. Misalnya untuk kasus Deni Setia Maharwan. Menurut informasi yang terkumpul, dia adalah PNS rendahan yang terjerat utang dan dikejar debt collector. Istrinya adalah seorang guru SMP yang mempunyai anak berumur 3 tahun ketika tertangkap menjadi kurir narkoba. Jadi Deni bukanlah seorang bandar, apalagi produsen. Dia bertindak salah dengan bermimpi bisa membayar utang yang menjeratnya dengan menjadi kurir narkoba.Tentu saja kesalahan demikian tidak dapat dimaafkan. Namun dengan sikapnya yang mengaku salah dan berkelakuan baik, Presiden kemudian mengubah hukumannya dari hukuman mati, menjadi seumur hidup. Perubahan hukuman itu sama sekali tidak menghilangkan kesalahan yang bersangkutan. Deni tetap bersalah dan harus terus menjalani kehidupannya di penjara seumur hidup— tanpa pengurangan hukum (life imprisonment without parole). Akhirnya, sebagai ketua satgas pemberantasan narkoba di lapas dan rutan, saya terus berkeliling untuk melakukan sidak dan membangun sistem pencegahan antinarkoba di penjara. Meskipun demikian,saya juga tidak akan menolak setiap permohonan ampun dari orang yang benarbenar insaf dan mau bertobat. Bagaimanapun, sebenarnya konstitusi kita memberi jaminan hak untuk hidup, bukan jaminan hak untuk mati. Bagaimanapun, hak untuk mati sebenarnya ada pada tangan Illahi Robbi,bukan pada tangan kita manusia. Ketika hati sang Presiden memutuskan untuk memberi grasi untuk hidup dan tidak menghukum mati, bukan berarti sang Presiden pro-narkoba. Keputusan memberikan grasi dengan hati tetaplah keputusan Presiden antinarkoba. Tentu kita tetap harus tanpa henti memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang lebih bersih, lebih antikorupsi, lebih antinarkoba. Keep on fighting for the better Indonesia. ● |