Dampak Kenaikan Tarif Listrik Komaidi Notonegoro ; Wakil Direktur ReforMiner Institute |
SINDO, 01 Oktober 2012
Komisi VII DPR akhirnya menyetujui rencana penaikan tarif listrik (TTL) tahun 2013 yang diusulkan pemerintah pada Senin 17 September lalu. Meski terdapat sejumlah catatan dari dua fraksi, secara prinsip rencana tersebut telah disetujui.
Kenaikan ditetapkan sebesar 15 %, dilakukan secara bertahap setiap tiga bulan sekali. Pemerintah menjamin penaikan tarif listrik tidak akan diberlakukan untuk pelanggan listrik dengan daya 450 VA dan 900 VA. Dalam sudut pandang anggaran, kenaikan tersebut lebih dimaksudkan untuk mengurangi anggaran subsidi energi di APBN 2013 agar tidak terlalu besar.
Pada dasarnya terdapat dua pilihan, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau tarif tenaga listrik. Akan tetapi, mengingat 2013 dapat dikatakan merupakan tahun politik, tampaknya pemerintah lebih memilih menaikkan tarif listrik yang risiko politiknya tidak sebesar jika menaikkan harga BBM. Pilihan tidak menaikkan tarif untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, bukan tanpa alasan. Berdasarkan data,porsi pengguna daya sampai dengan 900 VA,sekitar 80% total pelanggan PLN.
Porsi penjualan listrik kelas tersebut sekitar 26% terhadap total penjualan. Sedangkan, pendapatan dari kelas tersebut sekitar 18,56 % terhadap total pendapatan. Melihat kondisi seperti itu, diindikasikan pertimbangan untuk tidak menaikkan tarif pelanggan 450 VA dan 900 VA adalah rasional dan strategis. Bukan semata-mata untuk melindungi masyarakat yang belum berdaya beli (miskin).
Tetapi lebih karena, risiko menaikkan tarif golongan tersebut cukup besar, mengingat pemerintah akan berhadapan dengan 80% pelanggan listrik. Sedangkan, porsi penjualan listrik dan pendapatan terbesar juga bukan dari golongan tersebut. Kenaikan tarif tenaga listrik sering dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, yaitu terhadap keuangan negara (APBN), inflasi, dan kinerja PLN.
Berdasarkan simulasi ReforMiner, tambahan pendapatan atas penaikan tarif listrik sebesar 15%, untuk pelanggan di atas 900VA, adalah sekitar Rp15 triliun. Artinya, jika tarif dinaikkan akan menghemat anggaran subsidi energi, khususnya listrik, sekitar Rp15 triliun. Penghematan tersebut setara dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas inefisiensi PLN pada tahun 2009 dan 2010 yang disebutkan masing-masing sebesar Rp17,9 triliun dan Rp19,6 triliun.
Berdasarkan temuan tersebut, untuk menghemat subsidi listrik sebesar Rp15 triliun, pada dasarnya tidak harus dengan cara menaikkan tarif listrik. Itu dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi PLN sebagaimana temuan BPK tersebut. Dalam konteks inflasi,penaikan tarif listrik berpotensi menambah inflasi antara 0,75–1%. Kenaikan tarif listrik tahun depan, dapat dikatakan tidak akan berkorelasi secara langsung dengan kinerja PLN.
Hal ini karena kebijakan tersebut lebih terkait dengan postur anggaran atau APBN.Tanpa atau dengan penaikan tarif,program, target,dan kinerja PLN pada tahun 2013 akan tetap sama.Tanpa menaikkan tarif, kebutuhan subsidi listrik di 2013 sekitar Rp93,63 triliun.Sedangkan, dengan penaikan tarif kebutuhan subsidi listrik adalah sebesar Rp78,63 triliun.
Argumentasi yang sering disampaikan untuk melakukan penaikan tarif adalah akibat beban subsidi listrik di APBN yang meningkat. Pada dasarnya, munculnya subsidi adalah akibat dari adanya selisih antara harga jual dengan biaya pokok produksi (BPP) listrik. Karena itu,instrumen untuk mengurangi subsidi tentunya dapat dilakukan dengan dua cara. Menaikkan harga jual atau menurunkan BPP listrik.
Terkait hal tersebut, pemerintah kerap memilih cara yang mudah (instan) yaitu menaikkan tarif listrik.Relatif belum memilih untuk mengupayakan penurunan BPP listrik. Hasil temuan BPK atas inefisiensi pada delapan unit pembangkit berbasis dual firing,menunjukkan masih minimnya upaya menurunkan BPP listrik. Hasil audit menunjukkan PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan.
Pembangkit-pembangkit tersebut justru dioperasikan dengan BBM yang lebih mahal dibanding gas.Keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I yang menggunakan batu bara,juga mempertegas minimnya upaya untuk itu. Padahal, Perpres No.71/2006, mengamanatkan proyek tersebut telah siap beroperasi pada 2009.Akan tetapi, hingga tahun ini realisasi proyek tersebut baru sekitar 35–40%.
Dari sudut pandang anggaran, mengurangi subsidi listrik untuk kemudian dialokasikan pada belanja yang lebih produktif,akan memperkuat struktur perekonomian dan produktivitas anggaran. Akan tetapi,hal itu dapat dicapai jika kinerja sektor kelistrikan nasional berada pada kondisi optimal.
Kenaikan tarif dilakukan setelah upaya efisiensi, termasuk optimalisasi dalam manajemen energi primer pembangkit. Pada kondisi itu, pendapatan dari penaikan tarif dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur kelistrikan nasional. Sehingga sekitar 30% masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik, dapat segera memperoleh haknya. ●
Pada dasarnya terdapat dua pilihan, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau tarif tenaga listrik. Akan tetapi, mengingat 2013 dapat dikatakan merupakan tahun politik, tampaknya pemerintah lebih memilih menaikkan tarif listrik yang risiko politiknya tidak sebesar jika menaikkan harga BBM. Pilihan tidak menaikkan tarif untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, bukan tanpa alasan. Berdasarkan data,porsi pengguna daya sampai dengan 900 VA,sekitar 80% total pelanggan PLN.
Porsi penjualan listrik kelas tersebut sekitar 26% terhadap total penjualan. Sedangkan, pendapatan dari kelas tersebut sekitar 18,56 % terhadap total pendapatan. Melihat kondisi seperti itu, diindikasikan pertimbangan untuk tidak menaikkan tarif pelanggan 450 VA dan 900 VA adalah rasional dan strategis. Bukan semata-mata untuk melindungi masyarakat yang belum berdaya beli (miskin).
Tetapi lebih karena, risiko menaikkan tarif golongan tersebut cukup besar, mengingat pemerintah akan berhadapan dengan 80% pelanggan listrik. Sedangkan, porsi penjualan listrik dan pendapatan terbesar juga bukan dari golongan tersebut. Kenaikan tarif tenaga listrik sering dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, yaitu terhadap keuangan negara (APBN), inflasi, dan kinerja PLN.
Berdasarkan simulasi ReforMiner, tambahan pendapatan atas penaikan tarif listrik sebesar 15%, untuk pelanggan di atas 900VA, adalah sekitar Rp15 triliun. Artinya, jika tarif dinaikkan akan menghemat anggaran subsidi energi, khususnya listrik, sekitar Rp15 triliun. Penghematan tersebut setara dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas inefisiensi PLN pada tahun 2009 dan 2010 yang disebutkan masing-masing sebesar Rp17,9 triliun dan Rp19,6 triliun.
Berdasarkan temuan tersebut, untuk menghemat subsidi listrik sebesar Rp15 triliun, pada dasarnya tidak harus dengan cara menaikkan tarif listrik. Itu dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi PLN sebagaimana temuan BPK tersebut. Dalam konteks inflasi,penaikan tarif listrik berpotensi menambah inflasi antara 0,75–1%. Kenaikan tarif listrik tahun depan, dapat dikatakan tidak akan berkorelasi secara langsung dengan kinerja PLN.
Hal ini karena kebijakan tersebut lebih terkait dengan postur anggaran atau APBN.Tanpa atau dengan penaikan tarif,program, target,dan kinerja PLN pada tahun 2013 akan tetap sama.Tanpa menaikkan tarif, kebutuhan subsidi listrik di 2013 sekitar Rp93,63 triliun.Sedangkan, dengan penaikan tarif kebutuhan subsidi listrik adalah sebesar Rp78,63 triliun.
Argumentasi yang sering disampaikan untuk melakukan penaikan tarif adalah akibat beban subsidi listrik di APBN yang meningkat. Pada dasarnya, munculnya subsidi adalah akibat dari adanya selisih antara harga jual dengan biaya pokok produksi (BPP) listrik. Karena itu,instrumen untuk mengurangi subsidi tentunya dapat dilakukan dengan dua cara. Menaikkan harga jual atau menurunkan BPP listrik.
Terkait hal tersebut, pemerintah kerap memilih cara yang mudah (instan) yaitu menaikkan tarif listrik.Relatif belum memilih untuk mengupayakan penurunan BPP listrik. Hasil temuan BPK atas inefisiensi pada delapan unit pembangkit berbasis dual firing,menunjukkan masih minimnya upaya menurunkan BPP listrik. Hasil audit menunjukkan PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan.
Pembangkit-pembangkit tersebut justru dioperasikan dengan BBM yang lebih mahal dibanding gas.Keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I yang menggunakan batu bara,juga mempertegas minimnya upaya untuk itu. Padahal, Perpres No.71/2006, mengamanatkan proyek tersebut telah siap beroperasi pada 2009.Akan tetapi, hingga tahun ini realisasi proyek tersebut baru sekitar 35–40%.
Dari sudut pandang anggaran, mengurangi subsidi listrik untuk kemudian dialokasikan pada belanja yang lebih produktif,akan memperkuat struktur perekonomian dan produktivitas anggaran. Akan tetapi,hal itu dapat dicapai jika kinerja sektor kelistrikan nasional berada pada kondisi optimal.
Kenaikan tarif dilakukan setelah upaya efisiensi, termasuk optimalisasi dalam manajemen energi primer pembangkit. Pada kondisi itu, pendapatan dari penaikan tarif dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur kelistrikan nasional. Sehingga sekitar 30% masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik, dapat segera memperoleh haknya. ●