Biarkan Kepala Negara Bicara Radhar Panca Dahana ; Budayawan |
KOMPAS, 15 Oktober 2012
Ketika saya melaksanakan gagasan untuk mengoordinasi seniman dan budayawan dan pergi ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, seorang seniman bertanya secara retoris: ”Apakah momennya masih tepat?” Pertanyaan itu tentu bertalian dengan pidato Presiden tentang penyelesaian kisruh antara KPK dan Polri pada Senin malam, 8 Oktober 2012, sehari sebelum 20-an seniman dan budayawan menyambangi KPK. Bahkan ada budayawan yang menyatakan, ”KPK sudah menang 2-0!” Artinya, buat apa kita menambah gol untuk pertempuran yang sudah dimenangi? Saya tidak merenung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris itu. Saya segera menyatakan, persoalan mutakhir di seputar korupsi di negeri ini bukanlah soal kemenangan temporer, setelak apa pun, apalagi jika hanya ditujukan pada ”pertempuran” antara dua lembaga yang memiliki wewenang penyidikan korupsi itu. Persoalan juga bukan soal momen yang tepat atau tidak. Pemberantasan korupsi adalah momen yang tepat sepanjang tindak pelanggaran kemanusiaan atau kriminalitas luar biasa itu tetap terjadi, terlebih secara massif dan sebagian mengalami internalisasi dalam diri publik. Pemberantasan korupsi adalah upaya eternal, terus-menerus, sebagaimana kejahatan itu memang abadi sejak kebudayaan berdiri. Karena itu, semua upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelembagaannya dalam KPK, tidak lagi bisa bersifat ad hoc atau temporer. Perlawanan terhadap kedegilan manusia, yang memang integral dalam diri manusia, yang memang jadi sisi lain dari mata uang kebudayaan yang sama, haruslah permanen. Upaya ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kerja kebudayaan, yang pada intinya ingin mempertahankan keluhuran budi dan kebaikan dalam tindakan. Maka, tidak ada argumentasi yang bisa menghalangi apabila kebudayaan harus terus bekerja melawan semua tindakan manusia yang coba mengikir, apalagi menghancurkan budi dan kebaikan itu. Mestinya, tak ada kekuatan atau kepentingan apa pun yang kita permisikan untuk menghalangi, memperlemah, apalagi menghancurkan kerja apa pun yang dilakukan KPK. KPK telah menjadi sebuah kerja kebudayaan dari bangsa yang ingin tetap memelihara hati dan nuraninya, yang terus memperjuangkan sisi positif, konstruktif dan produktif dari kebudayaan melawan sisi lain yang menegasi atau memeranginya. Ini adalah pertarungan abadi kebudayaan, dan sesungguhnya pertarungan abadi manusia, hingga di tingkat pribadi: jihad akbar, manusia memerangi sisi buruk dari diri dirinya sendiri. Itulah alasan mengapa seniman dan budayawan harus ikut bicara, memasang badan dan karya-karyanya mendukung KPK, sebagai satu simbol dari perang di atas. Tidak ada urusannya dengan Polri, kemenangan telak, bahkan tak ada hubungannya dengan pidato A dan retorika B, yang bisa jadi hanya ingin mengambil profit politik yang menjadi penumpang gelap dari penyelesaian kasus ini. Bukan Presiden Saya tidak ingin mengatakan pidato Presiden SBY Senin malam lalu ditumpangi secara gelap oleh kepentingan tertentu, atau jadi parfum yang menebarkan aroma harum bagi pencitraan (partai) politiknya. Bersama banyak kalangan saya juga memberikan apresiasi kesimpulan, keputusan dan tindakan yang akan dilakukan Presiden berkait dengan kasus ”cicak-buaya” episode dua ini. Apa yang paling saya apresiasi dari pidato itu adalah bagian yang menampilkan sosok SBY sebagai kepala negara, bukan sekadar sebagai kepala pemerintahan. Di bagian awal, seperti biasa, dengan retorikanya yang defensif, SBY dengan tekun dan—berusaha—meyakinkan bahwa ia dan kabinetnya ”benar-benar bekerja, lho” dalam semua urusan, apalagi yang dianggap kritis oleh masyarakat. Sebuah cattenaccio yang tidak perlu untuk seorang yang akan aman dan selamat di periode akhir kekuasaannya. Dalam bagian berikutnya, SBY tidak lagi memosisikan diri sebagai ”presiden yang tidak bisa mengintervensi proses hukum”, tapi berdiri sebagai pemimpin negara atau bangsa yang meng-atas-i seluruh lembaga kebangsaan dan kenegaraan untuk mengatasi situasi yang bisa memancing krisis kehidupan berbangsa dan negara. Ia pun membuat ”sabda” berkait Polri maupun KPK yang notabene—menurut presiden sendiri—tidaklah di dalam atau di bawah otoritas pemerintahannya. Itulah antara lain tugas dan fungsi kepala negara. Persoalan ini perlu dieksplisitkan lantaran terjadi kekaburan dan kerancuan yang hampir imanen dalam diri kita, antara peran seorang presiden dan kepala negara dalam diri seseorang yang kita serahi dua tugas dan peran itu sekaligus. Presiden memang tak bisa mengintervensi kerja lembaga-lembaga negara independen, tapi kepala negara punya otoritas untuk menyentuh apa pun dan siapa pun ketika sebuah krisis memanggil segenap bangsa dan aparatus negara untuk meresponsnya. Persoalannya, tak ada ketentuan tegas dalam undang-undang, bahkan konstitusi, yang mengatur kapan seseorang—dengan tugas-ganda itu—harus memainkan peran satu atau yang lainnya. Tumpang tindih ini mengakibatkan seorang pemimpin dapat saja sibuk tiada habisnya untuk memenuhi portofolio kabinet atau pribadinya, dan melalaikan tugasnya yang di-”atas”-itu. Sistem yang Memasung Peran seorang presiden dapat dilakukan oleh seorang politikus ulung plus manajer yang andal. Tapi peran seorang kepala negara tak bisa tidak harus dilakukan oleh seorang yang melampaui kualifikasi itu, untuk kemudian kita, seluruh bangsa, menobatkannya sebagai seorang negarawan: stateman bukan man of state. Dalam dunia yang secara global menghadapi berbagai krisis akut, di bidang energi, keamanan, moneter, perdagangan, politik, hingga lingkungan dan kebudayaan ini, tentu saja dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, kreatif dalam menyiasati keadaan, juga keteguhan atau keberanian dalam implementasi kebijakan. Dengan kepercayaan dan dukungan dari hampir seperempat miliar penduduk negeri ini, pemimpin yang tidak memiliki kapasitas seperti itu lebih baik dikandangkan atau berlatih memimpin dulu dengan simulator, yang tidak murahan karena dikorupsi. Persoalannya kemudian, apakah sistem politik dan mekanisme perekrutan atau kaderisasi pemimpin kita saat ini memungkinkan lahirnya pemimpin dengan kapasitas seperti di atas? Menyaksikan cara bagaimana para ”calon” pemimpin kita saat ini bermunculan, lewat pencitraan kosong via media massa dan media sosial, lewat politik uang yang menggelikan sekaligus memalukan, lewat rekayasa karakter dari ambisi-ambisi personal yang over-estimate dalam refleksi-dirinya, rasanya kita bersama harus pesimistis. Sistem dan mekanisme yang kita pilih sendiri ini ternyata hanya menjadi field¬- nya Bourdieu yang mempertarungkan juragan-juragan modal dalam sebuah pertandingan semu di antara segelintir adipati di kerajaan elite negeri ini. Pertandingan semu, yang di baliknya terjadi ”dagang sapi” sebagaimana jadi sejarah dan ”tradisi” politik kita, memberi izin terjadinya konspirasi oligarkis para (adipati) elite politik kita, yang lewat regulasi—produk mereka sendiri—memasung secara dini potensi tumbuhnya pemimpin nasional sejati, bahkan dari tingkat bibit. Situasi ini tentu memberikan ancaman bagi kita, bagi bangsa dan negara kita, dalam usaha mencapai cita-cita ideologis maupun praktisnya. Tak akan lahir pemimpin yang visioner, budayawan dan negarawan, tidak akan pernah kita dapatkan kepala negara yang bekerja bukan di momen tertentu saja, atau karena ”tidak sengaja”. Tidak perlu seperempat miliar manusia, pantai terpanjang dunia, kepulauan terluas di atas bumi, atau kebudayaan mendapat respek sepanjang sejarah, bahkan negeri sekecil Singapura dan Timor Timur pun membutuhkan seorang negarawan. Negarawan alias kepala negara inilah yang mampu bertindak dan mencegah kedegilan-kedegilan manusia yang diakibatkan sisi negatif dari manusia itu sendiri. Menjadi pembela dan pejuang kebudayaan—yang mengintegrasikan ambisi politik, ekonomi, hukum, hingga artistik—untuk mencapai keluhurannya tertinggi, meraih martabat puncaknya, meninggikan hingga optimum kemanusiaannya, dan akhirnya menjadi panglima bagi bangsanya guna memenangi masa depan. Maka, biarkanlah (para kandidat) kepala negara saat ini bicara. ● |