“The Big Village” Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 22 September 2012
Setiap kota di dunia, apalagi ibu kota, pasti punya sejarah politik. Untuk memudahkan, ada empat era sejarah politik Ibu Kota kita: era kolonialisme sampai 1945, era kemerdekaan (1945-1967), era Bang Ali (1967-1977), dan era stagnasi (1977-kini).
Batavia pada era kolonialisme ”zaman normal” yang stabil, damai, dan klasik berkat perencanaan tata kota yang bagus. Dengan jumlah penduduk sedikit, pengelolaan Batavia tak terlalu kompleks dan tak menimbulkan gejolak sosial, politik, ataupun kultural.
Dalam era kemerdekaan, Jakarta simbol politik paling penting ketika republik baru dipimpin bangsa sendiri. Ibu Kota tempat lahir kemerdekaan, sentra perjuangan diplomasi, dan pusat pengembangan birokrasi. Persaudaraan warga subur karena berkobarnya kebinekaan.
Pembangunan Jakarta terasa ketika sistem politik mencengkeram setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bung Karno muak terhadap ulah partai-partai yang disebutnya ”akan saya kubur hidup-hidup”.
Lewat Demokrasi Terpimpin bertangan besi itu— pemberedelan surat kabar dan penangkapan oposisi—Jakarta merekah. Dengan dana tak sedikit, Bung Karno membangun kota satelit Kebayoran Baru, Tugu Monas, Masjid Istiqlal, Jalan Sudirman, Kompleks Olahraga Bung Karno, dan lain-lain.
Tidak ada presiden yang melanjutkan peranan historis Bung Karno yang memang insinyur perkotaan, kecuali Bang Ali. Semua sependapat, Bang Ali gubernur terbaik dan tak heran warga hidup rukun, damai, dan memiliki sense of belonging.
Namun, seorang Bang Ali pun mengidolakan Babe Mohammad Hoesni Thamrin. Seorang penulis Belanda, DMG Koch, dalam buku berjudul Om de Vrijheid: de Nationalistische Beweging in Indonesia, menulis, ”Mohammad Thamrin tokoh pergerakan nasional paling menonjol, paling dihargai semua golongan. Kepandaian otaknya serta kehebatannya berdebat acap kali mendesak Belanda ke posisi yang sulit”.
MH Thamrin, anak Betawi dari kalangan berada yang tak sungkan menyingsingkan lengan baju, membantu warga Batavia. Dalam sebuah sidang Volksraad, ia mengatakan, ”Hargailah kebiasaan dan kepentingan semua golongan masyarakat menghindarkan bukan saja jangan sampai terjadi perlakuan yang tidak adil, juga mencegah jangan sampai timbul kecewa dan sakit hati masyarakat.”
Ada sebuah cerita legendaris Babe Thamrin membela Haji Karsiman yang rumahnya mau dibongkar Bugermester Meyer. Bang Thamrin menemui atasan Meyer, yakni Gubernur Jenderal, untuk menggagalkan pembongkaran rumah Haji Karsiman, dan ia berhasil.
Selain sejarah berkilau emas pada masa lalu, Jakarta pernah punya tiga ikon politik dan budaya: Babe Thamrin, Bung Karno, dan Bang Ali. Sayang, estafet kepemimpinan mereka tak dijalankan secara mulus oleh para gubernur pasca-Bang Ali.
Jika mengilas balik kepemimpinan Bang Ali, apa yang dilakukan cuma satu, yakni bekerja. Ia dikenal sebagai gubernur yang tak kenal lelah turun ke bawah untuk membangun komunikasi dengan warga, terutama dari kalangan bawah.
Ia tak segan menindak tegas warga yang melanggar aturan, misalnya menempeleng sopir bus atau truk yang menyopir ugal-ugalan. Saya masih ingat ketika masih SD melihat Bang Ali langsung turun tangan mengurus selokan yang mampet.
Dari mana Bang Ali mengetahui perkembangan Jakarta sehari-hari? Masih banyak yang ingat bagaimana repotnya staf dia setiap hari harus menyuguhkan berita-berita koran tentang Ibu Kota.
Dari sikap mau menyapa warga, bekerja tak kenal lelah, lalu terus mengawasi apa yang terjadi, Bang Ali berhasil membangun karisma. Dari karisma itulah warga tergerak untuk ikut peduli dengan lingkungan masing-masing.
Secara otomatis setiap warga mempunyai rasa memiliki. Apalagi Bang Ali kerap menyebut Jakarta sebagai ”the big village” alias ”desa besar” milik semua golongan yang numplek di Ibu Kota.
Desa besar mencerminkan bahwa kita warga Jakarta menjaga erat kerekatan antara suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kita warga belum modern, tetapi bangga dengan persaudaraan itu.
Persaudaraan itu disimbolisasi dari berbagai kebijakan yang prorakyat miskin, antara lain proyek perbaikan kampung MH Thamrin yang terkenal itu. Pada zaman itu, perjudian diizinkan, tetapi hasilnya jelas disalurkan untuk kesejahteraan warga.
Mungkin Bang Ali diuntungkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dibarengi pula oleh stabilitas politik yang terkendali. Apa pun, Bang Ali tokoh larger than life yang belakangan dianggap sebagai ancaman politik bagi Orde Baru.
Berbeda dengan era pasca-Bang Ali, warga kurang lagi punya rasa memiliki. Semua masa bodoh, hidup sendiri-sendiri. Barangkali kita, sebagai warga, tak lagi yakin bahwa Jakarta sudah tidak pantas lagi dijuluki ”desa besar”, tetapi metropolitan yang serba modern dengan puluhan mal.
Kini, kita akan punya ”Bang Ali” yang memenangi Pilkada DKI, memiliki rekam jejak bagus. Joko Widodo adalah tokoh bersahaja yang lebih suka bekerja di lapangan ketimbang duduk di balik meja.
Seperti Bang Ali, Jokowi kurang pandai bicara. Namun, sama seperti Bang Ali, Jokowi terkesan seperti orang bersahaja yang nyaris serupa dengan sebagian besar dari kita semua.
Mirip dengan Bang Ali, Jokowi mampu menjalin komunikasi dengan warga. Kita yakin, sebagian warga setidaknya tergerak untuk bersama-sama ikut menyingsingkan lengan membenahi berbagai persoalan Jakarta.
Kita sama-sama ”orang desa” dari berbagai pelosok Nusantara yang bertekad membangun ”the big village”. Selamat bekerja, Bang Jo! ●