Publik Memerlukan TVRI
Sabam Leo Batubara ; Anggota Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000 |
KOMPAS, 01 September 2012
Dalam rangka memperingati TVRI genap berusia 50 tahun, 24 Agustus 2012, lewat tulisan ”TVRI Mau ke Mana?”, mantan Dirjen Radio, Televisi, dan Film Ishadi SK mengajukan pertanyaan, masihkah kita memerlukan TVRI? (Kompas, 26/8/2012).
Pesan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2012 tentang Penyiaran jelas, TVRI sangat diperlukan. UU Penyiaran Pasal 14 Ayat (1) mengamanatkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Pasal 16 Ayat (1) menyatakan, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial.
Ketentuan bahwa LPS bersifat komersial dan LPP TVRI tidak komersial mengandung makna tugas pokok setiap lembaga itu berbeda tetapi saling melengkapi. Bagi pemodal LPS adalah wajar bertujuan meraih laba. Untuk itu, fokus utama LPS adalah melayani kebutuhan dan keinginan pasar. Jumlahnya ditaksir kurang lebih 32 persen dari 230 juta penduduk, yang dinilai berkemampuan sebagai pembelanja barang dan jasa.
Sementara tugas utama LPP TVRI adalah melayani kebutuhan publik, yakni 230 juta rakyat minus yang 32 persen itu. Tugas suci TVRI adalah memasok aneka ragam program untuk aneka ragam suku bangsa yang berbeda geografis, demografis, dan psikografis. Program-program itu bermuatan hiburan yang menambah kualitas kehidupan serta tayangan yang memberi pencerahan dan mencerdaskan bangsa. Karena TVRI didesain tak komersial, tentu negaralah yang mendanai.
TVRI Semakin Redup
Karena jumlah khalayak sasaran TVRI jauh lebih besar dari target pasar LPS dan juga karena salah satu tujuan kita bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, keberadaan TVRI menjadi sangat diperlukan.
Pertimbangan lain, pembuat UU Penyiaran—pemerintah dan Pansus RUU Penyiaran DPR— menunjukkan keberpihakan kepada LPP TVRI. Pasal 31 UU Penyiaran sebenarnya memberikan perintah kepada LPP TVRI untuk menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara LPS hanya dapat melakukan siaran secara nasional dengan jangkauan wilayah terbatas. UU Penyiaran membatasi jangkauan wilayah LPS dan ingin LPP TVRI menjangkau seluruh wilayah. Realisasinya, capaian setiap lembaga penyiaran itu bertolak belakang. Selama 10 tahun ini, penetrasi media televisi maju pesat. Ditaksir 80 persen masyarakat pemirsa televisi. Namun, sebagian besar dari jumlah itu adalah penonton LPS.
Mengapa LPS, khususnya 10 televisi komersial Jakarta, kian maju pesat, sementara LPP TVRI kian redup, seperti dikemukakan Ishadi SK? Jawabannya, penyebab utamanya, menurut saya, karena inkonsistensi kepentingan. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 1999 yang membuat UU Penyiaran itu masih berorientasi kepentingan publik. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004 dan 2009 terkesan lebih mendahulukan kepentingan kelompok dan individu. Akibat ikutannya, ketika LPS semakin berkembang pesat, justru pemerintah dan DPR tidak memedulikan misi luhur LPP TVRI dan membiarkannya redup.
Untuk memenangkan pasar yang disasar, 10 televisi komersial Jakarta dari kurang lebih 400 LPS tampil profesional. Anggaran triliunan rupiah disediakan. SDM yang kompeten direkrut dan digaji profesional. Peralatan yang paling modern dioperasikan. Dibantu hasil survei, LPS memasok aneka ragam program untuk memenuhi selera pasar yang disasar. Tak mengherankan, dari kue iklan media massa Rp 74 triliun, 61,5 persen pangsa pasar LPS. Dan, 98 persen dari jumlah itu diraih 10 LPS komersial Jakarta (Media Scene, 2010/2011).
Bagaimana dengan kinerja TVRI? Fungsi LPP itu adalah untuk memenuhi layanan untuk kepentingan masyarakat dari Sabang hingga Merauke. Merekalah yang disebut publik, terutama warga yang paling butuh pencerahan dan pencerdasan. Bagaimana mungkin TVRI menjangkau seluruh wilayah NKRI jika DPR dan pemerintah yang memiliki otoritas penentu anggaran mengalokasikan anggaran jauh dari yang dibutuhkan TVRI. Ketika tiga market leaders LPS masing-masing mendapat anggaran 2012 sekitar Rp 2 triliun, anggaran TVRI hanya Rp 715 miliar, dan Rp 400 miliar di antaranya untuk menggaji 7.000 awak TVRI. Dengan sisa anggaran Rp 300 miliar, bagaimana TVRI mampu membeli peralatan baru dan menyusun aneka ragam program untuk memenuhi aneka ragam selera publik?
TVRI perlu pimpinan yang paham konsep TV publik. Berdasarkan ketentuan UU Penyiaran, TVRI dipimpin lima anggota dewan direksi dan diawasi lima dewan pengawas untuk lima tahun. Dewan direksi diangkat dan ditetapkan dewan pengawas. Dewan pengawas dipilih DPR setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan. Selama 10 tahun ini yang terpilih bukan dewan pengawas yang paham konsep TV publik, yang terpilih adalah calon-calon yang memenuhi kepentingan kelompok dan individu. Dampaknya dewan direksi dan dewan pengawas hanya berkinerja sebagai pegawai yang tunduk pada tekanan sejumlah fraksi DPR dan pemerintah. Mereka tak pernah risau TVRI semakin redup.
”Quo vadis” TVRI
Nasib TVRI ke depan tergantung dari niat DPR. Jika niat DPR masih tampil sekadar
mewakili kepentingan parpol dan individu seperti yang mereka tunjukkan pasca-Pemilu 2004 dan 2009, berarti TVRI memang tak diperlukan. Jika DPR masih menganggap mereka representasi rakyat pemilik kedaulatan, TVRI wajib diupayakan jadi pilihan sebagian besar rakyat.
Langkahnya, pertama, memilih pimpinan TVRI yang paham konsep LPP. Caranya, uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh tim seleksi profesional yang paham konsep LPP, independen, dan punya integritas. Hasilnya disetujui DPR, kecuali bagi calon yang cacat hukum sesuai temuan DPR. Kedua, memastikan tersedianya anggaran yang cukup.
Anggaran TVRI tak lagi lebih kecil dibandingkan anggaran belanja televisi komersial yang jadi market leader, yakni sekitar Rp 2 triliun posisi tahun 2012.
DPR dan pemerintah dapat memilih salah satu dari tiga sumber pembiayaan berikut. Jerman dan Korsel membebankan sumber pembiayaan LPP-nya dari iuran pemilik pesawat TV dan radio, Australia dari APBN, serta Thailand dari sin tax, cukai rokok dan pajak minuman keras.
Ketiga, untuk merekrut SDM yang kompeten, pimpinan baru TVRI mempertimbangkan agar jumlah kru TVRI cukup sekitar 2.500 awak dengan penggajian tidak kalah dari market leader TV komersial. Sebagian dari jumlah itu direkrut dari pasar kerja berlandaskan standar kompetensi. Pilihan ini mengharuskan TVRI mengalihtugaskan sebagian besar dari 7.000 krunya ke instansi pemerintah lainnya. Jumlah karyawan yang terlalu gemuk membuat TVRI lamban, tidak efisien, dan tidak efektif. ●