Penyidik Independen KPK Henry MP Siahaan ; Koordinator Program Antikorupsi di Kemitraan/Partnership, Jakarta |
KORAN TEMPO, 22 September 2012
Penyidik KPK harus memiliki SDM dengan kejelasan masa kerja, kompetensi, dan pengetahuan yang canggih serta perlu dilatih secara khusus dan tidak pernah memikirkan akan ditarik kembali oleh institusi asalnya.
Pertikaian KPK dengan kepolisian akibat kasus simulator ujian SIM berbuntut panjang dan berlarut. Setelah "penahanan" penyidik KPK di gedung Korlantas sesaat setelah KPK menyita sekian banyak dokumen yang dapat dijadikan barang bukti, perdebatan siapa yang lebih dulu melakukan penyidikan dan berhak atas kasus ini lalu berkembang dalam penetapan tersangka yang sama. Terakhir, rencana penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari instansi kepolisian.
Semua orang menyadari bahwa dengan penarikan sejumlah penyidik KPK itu akan langsung ataupun tidak langsung memperlemah KPK dalam melanjutkan banyak kasus yang sedang ditanganinya. Berbekal hanya 58 penyidik dengan sekitar 240 kasus yang sedang diusut, jelas hal itu akan membuat para penyidik overload (kelebihan beban) dan sebagian kasus akan terbengkalai.
Akibatnya, masyarakat beranggapan bahwa KPK bekerja lamban dan semakin tebang pilih. Lalu, langkah apa yang harus ditempuh KPK? Apakah KPK hanya meratapi nasibnya atau mencari terobosan dengan merekrut penyidik independen?
Pro-Kontra
Akses, Keterjangkauan, dan Struktur Ketenagakerjaan Sebenarnya istilah penyidik independen secara hukum kurang tepat. Namun, karena sudah telanjur dimengerti masyarakat untuk membedakan penyidik yang berasal dari sipil di luar kejaksaan dan kepolisian, baiklah saya akan tetap menggunakannya. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik didefinisikan sebagai penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK (pasal 45 ayat 1). Tidak ada perbedaan dan pemisahan asal-usul penyidik.
Bila dicermati, cukup kencang silang pendapat yang mengemuka terkait dengan rekrutmen penyidik independen di KPK. Pertama, berkaitan dengan dasar hukum. Sebagian pihak berpandangan bahwa perekrutan penyidik independen oleh KPK tidak memiliki dasar hukum. Tapi pandangan ini keliru. Disebut keliru karena KPK dimandatkan oleh UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk memiliki penyidik independen. Kewenangan KPK tersebut sama dengan instansi lainnya di republik ini yang memiliki penyidik.
Pada banyak UU, beberapa instansi pemerintah/departemen telah diberi ruang untuk memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sendiri. Sebut saja misalnya pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pasal 6 ayat 1. Dengan analogi di atas, mengacu pada asas hukum lex specialis derogat legi generalis dan lex posterior derogat legi priori, Pasal 45 ayat 1 UU KPK diartikan berhak memiliki penyidik independen. Penyidik independen ada di banyak institusi negara. Jika polisi berusaha melakukan penyidikan yang berada di instansi lain dan tidak sesuai dengan kewenangannya, polisi pun tidak dapat meneruskannya. Saya hanya mengatakan bahwa penyidik di negeri ini ada di banyak instansi, dan setiap instansi memiliki penyidik masing-masing sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Penyidik bukan hanya polisi atau jaksa.
Putusan hakim PN Jakarta Selatan pada gugatan praperadilan oleh Abdul Waris Halid yang menyatakan PPNS Dirjen Bea-Cukai-lah yang lebih berwenang melakukan penangkapan dan penahanan daripada penyidik kepolisian, dapat dijadikan salah satu bukti bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya yang spesifik, sah secara hukum.
Perdebatan kedua, tidak adanya jenjang karier para penyidik independen. Penyidik independen di berbagai instansi memiliki jenjang karier, tapi pada awalnya mereka tidak direkrut khusus sebagai penyidik. Selain itu, jika sudah menjadi penyidik dan mereka memikirkan karier, posisi sebagai penyidik diserahkan ke pihak lain di internal institusi tersebut.
Pertanyaannya, apakah penyidik independen KPK harus memiliki jenjang karier yang sama persis dengan penyidik di institusi negara lainnya? Saya pikir tidak. KPK bisa memiliki sistem karier yang lain. Karier penyidik independen KPK bila mengacu pada PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK dimulai sebagai pegawai tidak tetap (pasal 3) dengan masa kerja waktu tertentu sesuai dengan peraturan KPK, dan tidak dapat menduduki jabatan struktural (pasal 8).
Jenjang karier dari pegawai tidak tetap ini dapat saja meningkat bila penyidik itu kemudian dijadikan pegawai tetap KPK (pasal 4), sehingga dapat menduduki jabatan struktural. Dengan begitu, sesungguhnya ada jenjang karier penyidik KPK walaupun secara terbatas. Namun, kalaupun hal itu tidak dianggap sebagai jenjang karier, jenjang karier tersebut bisa diantisipasi dengan remunerasi yang baik.
Namun persis di sini problematikanya ketika penyidik dari instansi lain yang ditugaskan/dipinjamkan ke KPK, yang juga dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap, mengharapkan karier/posisi lebih baik. Mereka akan kembali ke instansinya masing-masing dan beban tugasnya di KPK ditinggalkan. Situasi seperti ini akan menghambat tugas KPK dan dapat mengurangi kepercayaan publik akan kemampuan kerja KPK.
Bukan Karier
Demi menjaga public trust dan selalu dapat menunjukkan kinerjanya, KPK membutuhkan penyidik sendiri. Penyidik KPK nantinya tidak memiliki jenjang karier sebagaimana dipahami secara awam selama ini. Bahwa yang disebut karier adalah posisi struktural di kantor. Bukankah anggota DPR, DPRD, kepala daerah, hakim agung yang berasal dari non-karier, hakim konstitusi, serta hakim ad hoc di berbagai peradilan juga tidak memiliki jenjang karier? Bahkan pada tiap-tiap UU, pengaturan masa kerjanya berbeda untuk masing-masing jabatan.
Terlalu naif bila kita selalu membatasi suatu pekerjaan dengan jenjang karier semata. Masih banyak variabel lain yang menyebabkan seseorang betah menekuni suatu pekerjaan. Gallup mendapati lima penyebab utama betah-tidaknya seseorang bekerja, yaitu seberapa besar kontribusi yang diharapkan, alat bantu kerja, berkesempatan melakukan hal terbaik, dihargai secara pribadi, dan pendapatnya didengar. Mengutip Sean Covey bahwa, "Life is a mission, not a career. A career is a profession, a mission is a cause. A career asks, what's in it for me? A mission asks, how can I make a difference?".
Karena itu, mempertimbangkan modus, pelaku, dan metode kejahatan korupsi yang semakin canggih, penyidik khusus KPK patut segera diwujudkan, sehingga persoalan teknis-administratif, sebagaimana terjadi dalam kasus rencana penarikan penyidik Polri, tidak terulang di masa mendatang. Penyidik KPK harus memiliki SDM dengan kejelasan masa kerja, kompetensi, dan pengetahuan yang canggih, serta perlu dilatih secara khusus dan tidak pernah memikirkan akan ditarik kembali oleh institusi asalnya. Jadi, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak segera merekrut penyidik independen.
Bergeraklah, rakyat Indonesia selalu mengikuti dan menjaga setiap langkahmu. ●