Membaca Reformasi Birokrasi Jatim Siti Zuhro ; Peneliti Senior LIPI |
JAWA POS, 22 September 2012
SULIT diingkari bahwa kualitas birokrasi yang buruk menjadi salah satu sumber keterbelakangan Indonesia. Dalam rapat kabinet 23 Desember 2011, Presiden SBY mengakui, selain infrastruktur dan korupsi, birokrasi telah menjadi salah satu penghambat pembangunan.
Setelah diterapkannya otonomi daerah (otoda) sejak 2001, birokrasi cenderung bersifat lokal karena sulitnya mobilitas pegawai antardaerah. Dalam konteks daerah, relasi politik dan birokrasi ditandai oleh intervensi politik.
Dilihat dari hak-hak dasar masyarakat, nilai-nilai kesetaraan politik, serta akuntabilitas dan responsivitas lokal, pelaksanaan otoda semestinya memberikan peluang yang besar untuk menciptakan mekanisme dan sistem akuntabilitas pemda. Tetapi, realitasnya, pola relasi antara masyarakat dengan birokrasi dan politik belum proporsional.
Di negeri pluralis ini, era otodatelah memunculkan relasi birokrasi, politik, dan masyarakat yang variatif. Karena itu, membahas Indonesia berarti pula membahas daerah.
Studi kasus di Jawa Timur menunjukkan adanya peningkatan kemajuan birokrasi, khususnya pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan perizinan. Meski tantangannya cukup besar, Jatim merupakan salah satu provinsi yang mampu melaksanakan best practices dalam hal reformasi birokrasi.
Kecenderungan untuk memperbaiki kualitas birokrasi lokal menguat khususnya sejak 2001. Sebagai contoh, tak sedikit daerah di Jatim yang melakukan perbaikan standar pelayanan minimum. Provinsi juga mengeluarkan Perda No 11/2005 tentang Pelayanan Publik. Hasilnya, antara lain, terlihat dari meningkatnya kualitas pelayanan perizinan, pemberian pelayanan gratis di rumah sakit, dan pendaftaran online siswa di SMA.
Perbaikan birokrasi itu tidak terlepas dari peran masyarakat sipil, khususnya media massa dan LSM. Keberadaan media yang mandiri, kritis, dan fasilitatif sangat berperan dalam proses mendorong reformasi birokrasi tersebut. Media massa, terutama radio, merupakan salah satu kekuatan nonbirokrasi yang secara imperatif menekan birokrasi untuk lebih berorientasi pada pelayanan publik.
Di Surabaya dan Malang Raya, misalnya, keberadaan Radio Suara Surabaya dan RRI memberikan manfaat cukup signifikan. Selain itu, setiap tahun Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), yang melakukan survei dan kajian tentang praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik, memberikan penghargaan (Otonomi Awards) kepada kabupaten/kota yang mampu menunjukkan prestasi.
Awards tersebut relatif mendorong satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memperbaiki kinerjanya. Semangat untuk membenahi birokrasi melalui akselerasi kompetisi pelayanan publik dan pembangunan ekonomi serta bidang-bidang lainnya menghasilkan good practice/best practice di sejumlah kabupaten dan kota di Jatim. Dorongan JPIP menyemangati daerah-daerah untuk lebih berprestasi memajukan daerahnya.
Relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat di Jatim menunjukkan pola yang cenderung dinamis. Interaksi dan relasi antara birokrasi dan politik, khususnya DPRD, lebih didasarkan atas kesamaan kepentingan (common interest), terutama dalam pengelolaan anggaran.
Pola relasi yang mutual symbiotic tersebut pada dasarnya menegaskan dominasi kekuatan eksekutif dan DPRD dalam konteks politik lokal. Dari perspektif birokrasi, keterkaitan serta keterlibatan politisi dan aktivis atau LSM dalam program-program daerah dinilai lebih banyak mengganggu daripada membantu (Focus Group Discussion/FGD di Malang, 11 Juli 2011).
Peran kepala daerah di Jatim relatif cukup kuat jika dibanding DPRD. Hubungan antardua lembaga itu sangat dipengaruhi kepentingan masing-masing: ''harmonis'' ketika menyangkut dana APBD, tapi tidak akur ketika kepentingannya terancam. Orientasinya berkompetisi, bukannya pola relasi profesional sesuai kompetensi masing-masing.
Kemajuan ekonomi Jatim memengaruhi dinamika kinerja birokrasi. Birokrasi di Kota Surabaya dan Malang Raya, misalnya, relatif memberikan pelayanan yang cukup baik kepada para investor. Birokrasi juga proaktif dengan dunia usaha dengan respons yang relatif cepat terhadap tuntutan dinamika ekonomi di daerahnya. Sebagai daerah hasil pemekaran, Kota Batu, misalnya, cukup aktif dalam menarik investor dan ekonominya tumbuh baik. Kota Surabaya juga memperoleh dukungan pengusaha.
Secara politik, Jatim relatif matang menjaga keseimbangan antara karakter budaya dan modernisasi. Daerah ini juga prospektif karena dari sisi ekonomi keuangannya relatif stabil, politik lokalnya cukup kondusif, dan SDM-nya cukup menjanjikan. Semua itu menjadi modal penting bagi Jatim dalam menjaga konsistensi melakukan reformasi, pembaruan, dan inovasi.
Berbeda dari Sumatera Selatan. Relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat cenderung mengarah pada pembangunan aliansi yang kuat antara birokrasi, politik, dan pengusaha. Tiga kekuatan tersebut berinteraksi, bersinergi, dan berkolaborasi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Aliansi di antara tiga kekuatan tersebut telah memperlemah kekuatan LSM, sehingga mereka tidak bisa menjalankan fungsi kontrolnya secara memadai terhadap pemerintah (hasil FGD dengan stakeholders lokal di Palembang, 15 Juni 2011).
Fenomena yang hampir sama terjadi di Kalimantan Selatan. Ada relasi tarik-menarik antara politik dan birokrasi. Fungsi saling imbang saling kontrol (checks and balances) antara eksekutif dan DPRD tidak bisa berjalan optimal. Sementara itu, masyarakat cenderung gagap dalam merespons perubahan. Komunikasi, interaksi, serta relasi antara birokrasi dan politik tampak kurang maksimal dan cenderung saling mengunci, saling menyandera.
Di sana, peran pengusaha sangat menentukan. Mereka bermetamorfosis menjadi elite baru yang masuk ke dalam setiap lini kehidupan, termasuk menjadi pemimpin daerah lewat proses politik. Meski tidak tampak di permukaan, tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa terdapat politik premanisme yang menguat yang melingkupi relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat (FGD dengan stakeholders lokal di Banjarmasin, 26 Juli 2011).
Ke depan, reformasi birokrasi harus mampu mengubah mindset PNS/birokrat melalui pendidikan, pelatihan, dan penerapan bill of government ethics (UU etika pemerintah). Intervensi politik ke birokrasi sudah saatnya dihentikan dan internal birokrasi perlu menolak. Selain itu, harus ada kejelasan batas antara pejabat karir dan pejabat politik, baik di pusat maupun daerah. Maksudnya, untuk membatasi pejabat politik dalam birokrasi.
Relasi perlu sejajar dan seimbang antara politik dan birokrasi. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan karir yang lebih panjang dibanding politisi. Berbeda dari birokrat, tidak sedikit ditemukan politisi karbitan yang lahir karena KKN.
Logikanya, meski apolitis dan nonpartisan, birokrasi juga memiliki power dan sumber daya tersendiri ketika berhadapan dengan pejabat politik, terutama terkait dengan kemampuan profesionalnya. Konsekuensinya, birokrasi tidak sekadar menjadi subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat menjadi kekuatan penyeimbangnya. ●
Setelah diterapkannya otonomi daerah (otoda) sejak 2001, birokrasi cenderung bersifat lokal karena sulitnya mobilitas pegawai antardaerah. Dalam konteks daerah, relasi politik dan birokrasi ditandai oleh intervensi politik.
Dilihat dari hak-hak dasar masyarakat, nilai-nilai kesetaraan politik, serta akuntabilitas dan responsivitas lokal, pelaksanaan otoda semestinya memberikan peluang yang besar untuk menciptakan mekanisme dan sistem akuntabilitas pemda. Tetapi, realitasnya, pola relasi antara masyarakat dengan birokrasi dan politik belum proporsional.
Di negeri pluralis ini, era otodatelah memunculkan relasi birokrasi, politik, dan masyarakat yang variatif. Karena itu, membahas Indonesia berarti pula membahas daerah.
Studi kasus di Jawa Timur menunjukkan adanya peningkatan kemajuan birokrasi, khususnya pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan perizinan. Meski tantangannya cukup besar, Jatim merupakan salah satu provinsi yang mampu melaksanakan best practices dalam hal reformasi birokrasi.
Kecenderungan untuk memperbaiki kualitas birokrasi lokal menguat khususnya sejak 2001. Sebagai contoh, tak sedikit daerah di Jatim yang melakukan perbaikan standar pelayanan minimum. Provinsi juga mengeluarkan Perda No 11/2005 tentang Pelayanan Publik. Hasilnya, antara lain, terlihat dari meningkatnya kualitas pelayanan perizinan, pemberian pelayanan gratis di rumah sakit, dan pendaftaran online siswa di SMA.
Perbaikan birokrasi itu tidak terlepas dari peran masyarakat sipil, khususnya media massa dan LSM. Keberadaan media yang mandiri, kritis, dan fasilitatif sangat berperan dalam proses mendorong reformasi birokrasi tersebut. Media massa, terutama radio, merupakan salah satu kekuatan nonbirokrasi yang secara imperatif menekan birokrasi untuk lebih berorientasi pada pelayanan publik.
Di Surabaya dan Malang Raya, misalnya, keberadaan Radio Suara Surabaya dan RRI memberikan manfaat cukup signifikan. Selain itu, setiap tahun Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), yang melakukan survei dan kajian tentang praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik, memberikan penghargaan (Otonomi Awards) kepada kabupaten/kota yang mampu menunjukkan prestasi.
Awards tersebut relatif mendorong satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memperbaiki kinerjanya. Semangat untuk membenahi birokrasi melalui akselerasi kompetisi pelayanan publik dan pembangunan ekonomi serta bidang-bidang lainnya menghasilkan good practice/best practice di sejumlah kabupaten dan kota di Jatim. Dorongan JPIP menyemangati daerah-daerah untuk lebih berprestasi memajukan daerahnya.
Relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat di Jatim menunjukkan pola yang cenderung dinamis. Interaksi dan relasi antara birokrasi dan politik, khususnya DPRD, lebih didasarkan atas kesamaan kepentingan (common interest), terutama dalam pengelolaan anggaran.
Pola relasi yang mutual symbiotic tersebut pada dasarnya menegaskan dominasi kekuatan eksekutif dan DPRD dalam konteks politik lokal. Dari perspektif birokrasi, keterkaitan serta keterlibatan politisi dan aktivis atau LSM dalam program-program daerah dinilai lebih banyak mengganggu daripada membantu (Focus Group Discussion/FGD di Malang, 11 Juli 2011).
Peran kepala daerah di Jatim relatif cukup kuat jika dibanding DPRD. Hubungan antardua lembaga itu sangat dipengaruhi kepentingan masing-masing: ''harmonis'' ketika menyangkut dana APBD, tapi tidak akur ketika kepentingannya terancam. Orientasinya berkompetisi, bukannya pola relasi profesional sesuai kompetensi masing-masing.
Kemajuan ekonomi Jatim memengaruhi dinamika kinerja birokrasi. Birokrasi di Kota Surabaya dan Malang Raya, misalnya, relatif memberikan pelayanan yang cukup baik kepada para investor. Birokrasi juga proaktif dengan dunia usaha dengan respons yang relatif cepat terhadap tuntutan dinamika ekonomi di daerahnya. Sebagai daerah hasil pemekaran, Kota Batu, misalnya, cukup aktif dalam menarik investor dan ekonominya tumbuh baik. Kota Surabaya juga memperoleh dukungan pengusaha.
Secara politik, Jatim relatif matang menjaga keseimbangan antara karakter budaya dan modernisasi. Daerah ini juga prospektif karena dari sisi ekonomi keuangannya relatif stabil, politik lokalnya cukup kondusif, dan SDM-nya cukup menjanjikan. Semua itu menjadi modal penting bagi Jatim dalam menjaga konsistensi melakukan reformasi, pembaruan, dan inovasi.
Berbeda dari Sumatera Selatan. Relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat cenderung mengarah pada pembangunan aliansi yang kuat antara birokrasi, politik, dan pengusaha. Tiga kekuatan tersebut berinteraksi, bersinergi, dan berkolaborasi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Aliansi di antara tiga kekuatan tersebut telah memperlemah kekuatan LSM, sehingga mereka tidak bisa menjalankan fungsi kontrolnya secara memadai terhadap pemerintah (hasil FGD dengan stakeholders lokal di Palembang, 15 Juni 2011).
Fenomena yang hampir sama terjadi di Kalimantan Selatan. Ada relasi tarik-menarik antara politik dan birokrasi. Fungsi saling imbang saling kontrol (checks and balances) antara eksekutif dan DPRD tidak bisa berjalan optimal. Sementara itu, masyarakat cenderung gagap dalam merespons perubahan. Komunikasi, interaksi, serta relasi antara birokrasi dan politik tampak kurang maksimal dan cenderung saling mengunci, saling menyandera.
Di sana, peran pengusaha sangat menentukan. Mereka bermetamorfosis menjadi elite baru yang masuk ke dalam setiap lini kehidupan, termasuk menjadi pemimpin daerah lewat proses politik. Meski tidak tampak di permukaan, tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa terdapat politik premanisme yang menguat yang melingkupi relasi antara birokrasi, politik, dan masyarakat (FGD dengan stakeholders lokal di Banjarmasin, 26 Juli 2011).
Ke depan, reformasi birokrasi harus mampu mengubah mindset PNS/birokrat melalui pendidikan, pelatihan, dan penerapan bill of government ethics (UU etika pemerintah). Intervensi politik ke birokrasi sudah saatnya dihentikan dan internal birokrasi perlu menolak. Selain itu, harus ada kejelasan batas antara pejabat karir dan pejabat politik, baik di pusat maupun daerah. Maksudnya, untuk membatasi pejabat politik dalam birokrasi.
Relasi perlu sejajar dan seimbang antara politik dan birokrasi. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan karir yang lebih panjang dibanding politisi. Berbeda dari birokrat, tidak sedikit ditemukan politisi karbitan yang lahir karena KKN.
Logikanya, meski apolitis dan nonpartisan, birokrasi juga memiliki power dan sumber daya tersendiri ketika berhadapan dengan pejabat politik, terutama terkait dengan kemampuan profesionalnya. Konsekuensinya, birokrasi tidak sekadar menjadi subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat menjadi kekuatan penyeimbangnya. ●