Melawan Para Penghina Islam Amir Santoso ; Guru Besar FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta |
REPUBLIKA, 22 September 2012
Secara diam-diam, sejak dulu saya sering sepakat dengan pernyataan-pernyataan KH Hasyim Muzadi yang terasa berbeda dibandingkan pemuka Islam lainnya ketika Islam mendapat hinaan. Secara lugas Kiai Hasyim selalu membela Islam tanpa tedeng aling-aling dan tanpa takut terhadap pandangan negatif tokoh lain ataupun khawatir dianggap sebagai tokoh yang tidak toleran.
Dalam pertemuan dialog lintas agama yang membahas kasus film “Innocence of Muslims”, Kiai Hasyim menyatakan bahwa umat Islam harus melawan berbagai serangan yang ditujukan terhadap Islam, tidak boleh hanya mengurut dada dengan alasan Nabi Muhammad SAW sangat penyabar.
Menurut Kiai Hasyim, Rasulullah bersabar ketika cercaan ditujukan kepada dirinya pribadi, tetapi jika syariat Islam dilecehkan, Nabi bisa sangat marah.
Umat Islam memang sangat kurang memiliki tokoh yang warnanya jelas dalam membela hinaan dan kepentingan Islam serta umat Islam. Sebagian tokoh Islam selalu berbicara abu-abu, tidak jelas, takut membela Islam dengan dalih menjaga toleransi. Mereka tidak tegas menyatakan sikap. Akibatnya, pihak lain selalu memanfaatkan kelemahan ini untuk terus menghina Islam.
Padahal, sebagai tokoh umat, mereka pasti sangat paham bahwa Islam adalah agama yang toleran, tetapi dengan syarat: jangan diserang. Sebab, jika diserang apalagi dilecehkan, jatuhlah hukum wajib untuk membela diri, bahkan dibolehkan menyerang balik. Islam adalah agama toleran, tetapi bukan agama lembek yang membolehkan wajah umatnya ditampari kiri-kanan tanpa membalas sedikit pun. Harga diri dalam Islam diberi nilai sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada nilai toleransi.
Apa yang disinyalir oleh Kiai Hasyim bahwa serangan terhadap Islam memang telah direncanakan serta dilakukan secara berkala dan teratur, bisa kita pahami bahwa hal itu benar adanya. Tidak mungkin hinaan-hinaan itu terjadi seolah berurutan apabila tanpa perencanaan yang matang dibantu dengan sikap negara-negara Barat dan AS yang membela penghinaan itu dengan dalih kebebasan asasi untuk berekspresi.
Yang kita baca di media massa, para tokoh AS dan Barat hanya bersikap menyesalkan, jijik terhadap film itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Celakanya, sebagian tokoh Islam ikut menyetujui sikap Barat itu mungkin karena takut tidak diundang lagi ke AS dan ke negara-negara Barat yang “permai” itu. Memiliki pemimpin abu-abu seperti ini memang membuat umat Islam seperti ayam kehilangan induk, berkotek ke sana ke mari, tapi induknya menghilang bersama ayam lain, bahkan hidup bersama musang yang berbulu ayam.
Saya pikir ketinggian ajaran Islam dan harga diri umat Islam akan terus dilecehkan oleh musuh-musuh Islam apabila sebagian tokoh Islam lebih suka berminyak air daripada bersikap tegas dalam menghadapi agresi terhadap Islam. Bersikap tegas bukan berarti harus kehilangan toleransi terhadap umat lain.
Selama dan sepanjang umat lain menghormati Islam dan umat Islam, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk menghormati mereka. Bersikap tegas dalam membela Islam jangan diartikan sebagai berangasan, hantam kromo kiri-kanan. Tegas itu bermakna jelas warnanya dalam membela Islam, yaitu hitam atau putih, bukan warna abu-abu, mencla-mencle demi toleransi yang kini makin tidak jelas maknanya.
Sudah tiba saatnya bagi para tokoh Islam untuk memperlihatkan warna Islamnya kepada tokoh agama lain. Jangan hadir dalam pertemuan dengan tokoh agama lain dengan pakaian Islami, tetapi sikapnya tidak Islami. Jangan membuat pernyataan dengan kamuflase seolah membela kepentingan Islam, padahal yang dibela adalah kepentingannya sendiri.
Indonesia ini akan damai apabila umat Islam memiliki tokoh-tokoh yang bisa dipanuti sikap keislamannya. Berbagai tindakan ekstrem sebagian kecil umat Islam justru didorong oleh sikap dan ucapan tokoh-tokoh Islam yang abu-abu itu. Sikap abu-abu itu sungguh membuat umat Islam menjadi kesal, lalu sebagian kecil bertindak sendiri untuk membela agamanya.
Karena itu, apabila kita tidak menginginkan terjadinya sikap ekstrem tadi, berhentilah para tokoh Islam itu bersikap pura-pura. Toleransi itu penting, tapi harga diri jauh lebih penting.
Penghormatan dari pihak lain akan datang apabila kita memiliki sikap yang jelas dalam membela Islam dan umat Islam. Dengan berminyak air, bukan penghormatan yang didapat, melainkan cemoohan diam-diam di balik punggung kita. ●