Kisah Tentang Dahlan Iskan, Syi’ah dan Iran
Dahlan Iskan, nama yang begitu santer belakangan ini karena  sikap-sikap politisnya yang tidak wajar dan melabrak kemapanan. Namanya  semakin populer setelah ia mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  pada Pemilu 2009 melalui jaringan media Jawa Pos miliknya. Ganjarannya,  ia diangkat menjadi Direktur Perusahaan Listrik Negara.
Sebagai  seorang jurnalis, Dahlan Iskan mampu menuliskan dengan apik berbagai  pengalaman dan harapannya. Di seluruh jaringan media yang dimilikinya,  saban pekan ia menulis kolom tentang “Pabrik Harapan”. Tulisannya  tersebut memang mirip buku harian, tapi peminatnya ternyata sangat  banyak
Dahlan  Iskan, yang pernah menjabat sebagai Presiden Lions Club Charter  Surabaya ini, digadang-gadang akan menggantikan posisi Presiden SBY pada  Pemilu 2014 mendatang sebagai presiden. Perlu diketahui, Lions Club  merupakan salah satu organisasi yang berada di bawah kendali Freemasonry  Internasional.
Dalam sebuah tugas dinasnya ke luar negeri tahun  2011 lalu, saat ia masih menjadi Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan  menceritakan pengalamannya ke negeri Syiah Iran.
Masjid untuk Shalat Jum’at di Iran
“Kami  mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang  waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang  Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas  terlihat bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus  yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu. Memang  ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat,”  tulisnya.
Dahlan pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil  terdekat. Ternyata ia kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang  menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu  kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat  sembahyang Jumat. Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran.  Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota  suci Qum. Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Syiah Iran, Jumatan  hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?” tanya Dahlan.
“Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.
Salat  Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Iran yang menganut aliran  Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun yang  salat Jumat tetap harus salat duhur.
Ke Kota Suci Qum
Karena  Jumat adalah hari libur, Dahlan tidak dijadwalkan rapat atau meninjau  proyek. Maka, waktu setengah hari itu ia manfaatkan untuk ke kota Qum.  Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun. Sejauh mata  memandang, yang terlihat hanya  gurun, gunung tandus, dan jaringan  listrik. Begitu juga letak kota suci Qum.
Jika umat Islam hanya  mengenal 2 kota suci, yakni Makkah dan Madinah, kadangkala ditambah  Yerusalem, maka Syiah memiliki kota-kota suci sendiri, misalnya kota  suci Qum ini. Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang  tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada  dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali  menonjol sejak dari jauh.
“Tujuan utama kami tentu ke masjid itu,” tulis Dahlan dalam memoarnya tersebut.
Inilah  masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Syiah. Kalau  pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat  mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama.  Presidennya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua  kali. Tapi, sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama  yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri  sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi  oleh dewan ulama.
Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak.  Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85  mullah. Setiap mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh  rakyat.
Wanita, Kerudung, dan Celana Ketat
“Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum,” papar Dahlan.
Banyak  sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di  jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang  Iran  menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang  wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya  negara Islam.
Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk  di kota suci Qum. Memang, semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung  (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan  jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh  menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode  bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting  dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat  dibuat modis dengan cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada  pula yang kemerah-merahan.
Bagaimana baju mereka? Pakaian atas  wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau  sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang  yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak juga  yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan  tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis.
Apalagi,  seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada  sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa,  itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah. Demikian tulisan Dahlan  Iskan.
Shalat di Makam Fathimah
Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid.
“Saya  pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu  15. Setelah salat  Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi ribuan jamaah  itu,” kata Dahlan.
Makam itu berada di dalam masjid sehingga  suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid  Nabawi. Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Al  Quran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.
Embargo, Tapi Tetap Berdagang
Dahlan  Iskan dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau perusahaan  pembangkit listrik Iran di Asaleuyah. Mulai A hingga Z. Termasuk  memasuki laboratorium metalurginya.
Mesin-mesin Siemens lama dari  Jerman atau GE dari USA bisa dirawat sendiri. Iran sudah bisa  memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE.  Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain.
“Anak  perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN  dengan menggunakan suku cadang dari sini,” kata manajer di situ.
Pabrik  tersebut memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang  yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus  bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.
Bisnis kelihatannya tetap bisnis.
“Saya  tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat  produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa:  Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tidak habis pikir  bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa mendapatkan lisensi dari  Siemens,” tutur Dahlan.
“Rupanya, meski membenci Amerika dan  sekutunya, Iran tidak sampai membenci produk-produknya….   Itu jauh dari  bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun  yang datang dari Amerika. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual  secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci,  Prada, dan seterusnya.”
itulah Kisah Tentang Dahlan Iskan, Iran dan Syi’ah 
[sumber;http://fimadani.com]
