| Pertahanan   atau Ketahanan Pangan Wasisto Raharjo Jati ; Analis Politik dan Kebijakan Publik,   Fisipol UGM | 
MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2012
| HENRY Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika   Serikat, pada 1974 pernah mengeluarkan gagasan food as weapon (pangan sebagai senjata) sebagai cara untuk   menekan populasi manusia yang kian melonjak, tetapi tidak diimbangi   pertambahan jumlah lahan pertanian yang kian terbatas karena tanah terkonversi   menjadi lahan permukiman. Gagasan tersebut timbul atas ancaman krisis pangan yang   akan terjadi di masa depan. Kissinger menilai pembatasan konsumsi pangan   berkorelasi dengan penurunan jumlah populasi manusia karena manusia akan   berupaya dengan cara apa pun untuk mendapatkan pangan. Timbulnya peperangan   yang terjadi di dunia disebabkan gairah kuasa menambah lahan pertanian untuk   mencukupi stabilitas pangan domestik. Hal itu yang kemudian coba dipakai   Kissinger dengan mereduksi redistribusi pangan dunia dengan tujuan manusia   mereduksi pula jumlah konsumsinya. Ide Kissinger yang acap kali disebut juga   sebagai genosida pangan (food genocide)   tersebut memang mendasarkan pada pemikiran Thomas Robert Malthus tentang   pertambahan deret hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan   penduduk) pada 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi   ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan akan konsumsi pangan. Malthus   menilai kelangkaan suplai pangan ialah masalah manusia sehingga manusia memerlukan   kearifan untuk mengelolanya. Ada Perbedaan  Dari situlah kemudian masalah krisis pangan berkembang   dalam dua wacana besar, yakni ketahanan pangan (food security) dan pertahanan pangan (food defense). Dari dua wacana tersebut, wacana ketahanan pangan   kemudian berkembang menjadi wacana dominan pasca-1980 sampai sekarang ini.   Paradigma ketahanan pangan sendiri menitikberatkan pada keadaan ketika semua   orang pada setiap saat punya akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap   kecukupan pangan, aman, dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan   seleranya un tuk hidup produktif dan sehat (Mercy Corps, 2007). Premis   tersebut cukup berbeda dengan swasembada pangan yang kerap dilontarkan para   pejabat kementerian yang lebih pada peningkatan dan kemandirian pangan.   Berbicara mengenai ketahanan pangan berarti berbicara mengenai ketersediaan   pangan (food availability), akses   terhadap sumber pangan (food   accessibility), dan penyerapan pangan (food utilization) yang kemudian output yang dihasilkan stabilitas   dan peningkatan gizi penduduk. Dalam konteks politik pangan Indonesia, antara swasembada   dan ketahanan pangan kerap kali dicampuradukkan dalam setiap perumusan   kebijakan pangan dengan nalar berpikir yang muncul ialah asalkan bahan pangan   konsumsi itu ada di pasar dan mampu dibeli penduduk, itulah yang dimaksudkan   dengan ketahananswasembada pangan versi pemerintah Indonesia. Hal itulah yang kemudian memicu terjadinya liberalisasi   pangan di Indonesia dengan komoditas impor pertanian dari luar negeri   kemudian membanjiri pasar. Indonesia yang konon katanya negeri agraris justru   menjadi negara yang memiliki ketergantungan pangan tinggi di kawa san ASEAN,   dengan kebergantungan impor pangan penting seperti halnya susu (90%)   mengalami peningkatan dari 1 juta liter (2011) menjadi 2,5 juta liter (2012),   gula (30%) meningkat dari 27,344 ton (2011) menjadi 45,301 ton (2012), garam   (50%) dari 1,5 juta ton (2011) menjadi 2,5 juta ton (2012), gandum (100%)   mengalami peningkatan dari sebanyak 6,6 juta ton (2010) menjadi 7,4 juta ton   (2012), dan kedelai (80%) mengalami peningkatan 1,90 juta ton (2010) menjadi   1,95 juta ton, daging sapi (30%). Adanya arus peningkatan komoditas pangan   impor tersebut disebabkan rendahnya bea masuk impor yang ditetapkan   pemerintah pusat sehingga komoditas pangan domestik sendiri kemudian tergusur   oleh hadirnya pangan impor tersebut.  Sebagai contoh, pemerintah mematok bea masuk impor untuk   beras, gula dan susu hanya 5%, sedangkan jagung, gandum, dan kedelai 0%.   Rendahnya bea impor tersebut berimplikasi kepada kerugian negara yang harus   ditanggung mencapai Rp400 miliar setiap tahunnya. Kondisi tersebut mencerminkan kondisi pangan di negara   kita memang telah rapuh dihantam globalisasi pangan yang merajalela di   pasaran domestik.  Menuju Pertahanan Pangan  Pertahanan pangan yang dimaksudkan di sini ialah upaya   keberlanjutan produksi pangan untuk mencukupi stabilitas konsumsi pangan   penduduk. Berbeda halnya dengan ketahanan pangan yang mengasumsikan tanaman   pangan sebagai objek pasif yang digunakan mencukupi manusia, pertahanan   pangan sendiri melihat tanaman pa ngan sebagai objek aktif yang harus   diberdayakan. Dimensi keberlanjutan (food   sustainability) dapat ditempuh dengan membuka lahan pertanian   seluas-luasnya, subsidi kepada petani, harga pembelian pangan pemerintah yang   di naikkan, dan ada proteksi pangan domestik yang dilakukan pemerintah   terhadap pangan impor. Secara eksplisit, paradigma pertahanan pangan mulai   coba dijalankan pemerintah melalui program Masterplan Percepatan dan   Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Kementan 2012 ini yang   mencakup lima poin, yakni 1) pencapaian swasembada berkelanjutan padi dan   jagung, 2) pencapaian swasembada kedelai 2014, 3) pengembangan komoditas   spesifik lokasi di kawasan timur (direktif presiden), 4) penguatan pangan   nasional berbasis koridor MP3EI, serta 5) pengembangan produksi di   kawasan-kawasan khusus lainnya seperti kawasan perbatasan dan kawasan   agropolitan. Kita tunggu saja hasil yang akan dicapai MP3E1 Kementan pada   2014 nanti mengenai keberlanjutan tanaman pangan untuk ketersediaan pangan   demi mencapai stabilitas dan angka penyerapan gizi yang maksimal.  Apakah   pangan Indonesia benar-benar mandiri ataukah masih tergantung dengan pangan   impor. ●  |