|    Mencetak   Sarjana Intelektual Muhammad Abu Nadlir ;  Dosen   STEBank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta dan Peneliti The Fatwa Center  |  
SUARA KARYA, 15 Oktober 2012
|    Belajar   di sebuah perguruan tinggi telah menjadi harapan setiap siswa-siswi setelah   menyelesaikan pendidikan tingkat SMA atau sederajat. Belajar di sebuah   perguruan tinggi menjadi impian yang sangat besar bagi setiap individu.   Bahkan, tidak sedikit yang melakukan kerja ekstra keras untuk dapat mengikuti   dan merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Semua itu dilakukan tidak lain   agar bisa sampai ke titik puncak, lulus dan memperoleh julukan 'sarjana'. Sarjana   dianggap sesuatu yang prestisius oleh kebanyakan masyarakat. Ada banyak   sekali definisi sarjana. Sarjana adalah lulusan akademik atau perguruan   tinggi yang menempuh jenjang studi berdasarkan spesifikasi jurusan tertentu.   Sarjana juga bisa berarti seseorang yang lulus dari perguruan tinggi dengan   membawa gelar tertentu. Kebanyakan masyarakat beranggapan apabila kesarjanaan   telah di tangan, uang akan segera berdatangan (mendapat pekerjaan).Dewasa   ini, jutaan orang Indonesia sudah mempunyai gelar sarjana. Setiap tahun   jumlahnya pun terus meningkat. Lembaga statistik ITS mencatat bahwa populasi   penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 241.000.000 jiwa, 9.640.000 orang   adalah sarjana. Namun,   di balik kuantitas sarjana yang semakin meningkat, terdapat sejumlah tanda   tanya yang terlintas di pikiran masyarakat. Karena, peningkatan kuantitas   sarjana pada zaman sekarang, tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas atau   mutu pada setiap individu. Bisa kita amati bersama melalui data BPS yang   mencatat bahwa pengangguran di Indonesia tahun 2010 saja sudah mencapai   jumlah 8,32 juta orang dan 11,92 persen adalah bergelar sarjana. Lalu,   bagaimana bila setiap tahun jumlah sarjana terus meningkat? Sarjana   selama ini menjadi mitos agar bisa meraih penghidupan layak (survival of   live). Meraih sarjana tak ubahnya sebagai pemenuhan naluri mempertahankan   diri (self preservation drive) daripada naluri ideologis untuk lebih peka   terhadap situasi sosial. (Sigmund Freud, 1979: XVII-XX). Sarjana diraih an   sich hanya untuk bekerja agar terpenuhi naluri dasar hidupnya kelak (makan,   tidur dan berhubungan seks/berkeluarga), bukan untuk mengabdi dan berbakti   tentang masa depan masyarakat banyak. Gelar   sarjana yang memiliki amanat sebagai pembelajar, pengembang dan pengabdi   keilmuan kepada publik tak begitu tampak di pabrik para sarjana, yaitu   kampus. Yang ada, setelah memperoleh gelar sarjana, pertanyaan yang muncul   'kerja di mana?' Dan, pekerjaan apa? Padahal, gelar sarjana yang sebenarnya   mengusung tugas menjadikan seseorang yang berintelektual. Karena, masyarakat   butuh perubahan. Dan perubahan hadir melalui kalangan intelektual yang mampu   berpikir demi kemaslahatan sosial. Mitos   sarjana yang berorientasi hanya untuk meraih uang dan pekerjaan, maka dalam   proses meraih gelar sarjana tidak ada niat untuk menjadikan mahasiswa yang   peduli sosial. Akhirnya gelar sarjan diraih tanpa adanya proses pembelajaran   yang benar untuk menjadikan dirinya sebagai pengabdi masyarakat. Dan,   parahnya, akan melahirkan manusia-manusia yang berlogika pragmatis dan   hedonis. Plagiarisme   adalah contoh nyata bukti tak terbantahkan betapa orientasi pragmatis   berjalan beriringan dalam proses mencetak para sarjana. Bagi mereka yang   berpikir pragmatis, yang penting adalah gelar untuk bekerja, bukan gelar   untuk belajar dan mengabdi. Sudah   jelas kiranya pokok permasalahan yang ada di Indonesia terkait minimnya   kualitas para sarjana adalah dikarenakan orientasi akan gelar sarjana. Gelar   sarjana hanya dimaknai pada bagaimana memenuhi kebutuhan hidup untuk kemudian   mati sebagai manusia yang tidak pernah merasa kekurangan memenuhi kebutuhan   hidup. Sesungguhnya   ada tanggung jawab baru yang harus dipenuhi oleh seorang saraja. Tanggung   jawab itu menjadi sebuah keniscayaan karena seseorang dapat memperoleh   fasilitas pendidikan (kampus dengan segala fasilitas penunjang) yang   mengantarkannya menjadi sarjana bukan semata-mata karena prestasinya saja,   tetapi juga karena ada kontribusi yang diberikan oleh - dan sesungguhnya juga   pengorbanan - pihak-pihak lain. Gelar   sarjana bisa mereka dapatkan karena pajak rakyat. Pajak itu dipungut dari   seluruh warga negara, termasuk para pedagang kecil di pasar-pasar pinggiran.   Karena itu, kaum sarjana memiliki kewajiban untuk membalas jasa rakyat yang   telah memberikan pajak yang digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan   mereka. Fenomena   yang terjadi saat ini, lebih banyak sarjana yang tidak menyadari tanggung   jawab itu, karena tidak memahami dengan baik tentang asal muasal biaya   pendidikan yang mereka nikmati. Lebih banyak di antara mereka yang berpikir   simplistis bahwa mereka dapat memasuki dunia perguruan tinggi karena mereka   adalah manusia-manusia terpilih karena prestasi pribadi mereka belaka. Memprihatinkan Mereka   sesungguhnya adalah orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan diri sendiri.   Mereka tidak memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki keadaan. Mereka   meninggalkan orang-orang yang sesungguhnya telah memberikan pengorbanan untuk   kesuksesan mereka. Kapan mereka akan membalas pengorbanan rakyat jika mereka   hanya memikirkan kesuksesan pribadi dan tidak memiliki etos kejuangan untuk   melakukan perbaikan. Sudah saatnya   pemerintah memberikan orientasi kepada semua elemen akademis dalam hal ini   kampus untuk sesegera mungkin mencetak kelompok sarjana intelektual, bukan   berpendidikan tinggi. Karena, kelompok intelektual selalu berdialektika   dengan segala problem kehidupan, seperti kemiskinan, kebodohan,   ketidakadilan, keangkaramurkaan, ketidakpedulian dan seterusnya. Sarjana yang   memiliki ghirrah intelektual tak akan pernah menganggur karena banyak hal   yang harus dipikirkan dan harus dicarikan jalan keluar olehnya. Semoga   sarjana kita masih layak diharapkan aksinya. ●  |