| Memotong   Reproduksi Kekerasan Mahasiswa Kacung Marijan ;  Guru   Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud | 
KOMPAS, 17 Oktober 2012
| Belum senyap perbincangan mengenai   perkelahian antarsiswa di Jakarta, kita kembali melihat perkelahian   menggunakan instrumen kekerasan oleh mahasiswa di Makassar.  Dua mahasiswa tewas. Yang mengerikan,   keduanya justru tewas di rumah sakit saat mengunjungi kawan-kawannya yang   sedang dirawat karena terluka. Kekerasan yang melibatkan mahasiswa memang   cukup unik di Makassar. Selain frekuensi cukup tinggi, pola kekerasannya pun   berbeda dengan apa yang terjadi di banyak daerah lain. Di banyak tempat, kekerasan biasanya   terjadi antara mahasiswa dan aparat keamanan, misalnya saat mahasiswa sedang   berdemonstrasi menentang ketidakadilan. Di Makassar, tidak hanya demikian.   Kekerasan acap terjadi antarmahasiswa di dalam satu perguruan tinggi. Yang   menyedihkan, kekerasan seperti ini terkesan direproduksi dan tidak ada   pemotongan rantai informasi sehingga terus berulang. Dari 1992 sampai 2011, paling tidak   terdapat 69 kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa di Makassar. Dari   jumlah ini, 41 persen terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), 28 persen   di Universitas Hasanuddin (Unhas), 9 persen di Universitas Muslim Indonesia   (UMI), dan 21 persen di kampus-kampus lain. Pemicu terjadinya kekerasan sebagian besar   tidak berkaitan dengan gerakan ideologis sebagaimana terjadi di banyak   gerakan mahasiswa, misalnya menentang kebijakan tertentu yang mereka anggap   tidak memihak kepada rakyat. Sebagian besar, 29 persen, dipicu oleh   permasalahan antarfakultas/program studi disusul oleh permasalahan pribadi   (23 persen). Kekerasan akibat kebijakan hanya 9 persen. Reproduksi Baik yang terjadi di UNM maupun Unhas, dua   kampus yang sering menjadi tempat terjadinya kekerasan, terdapat pola yang   sama. Kedua kampus itu selalu melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan   fakultas nonteknik. Di UNM, lebih banyak melibatkan mahasiswa fakultas teknik   dan fakultas bahasa dan seni, sedangkan di Unhas lebih banyak melibatkan   mahasiswa fakultas teknik dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Kekerasan yang memola ini tidak lepas dari   adanya reproduksi yang belum terputus. Para mahasiswa baru memperoleh   ”sosialisasi” dari para senior, bahkan alumni, tentang siapa yang menjadi   ”musuh”. ”Sosialisasi” semacam ini biasanya terjadi saat penerimaan mahasiswa   baru. Pemahaman tentang ”musuh” kolektif ini   acapkali menjadi minyak pada konflik-konflik yang sebetulnya sangat kecil.   Misalnya, ada mahasiswa dari fakultas teknik yang sedang berselisih dengan   mahasiswa fakultas bahasa dan seni untuk masalah yang sangat personal dan   tidak ada hubungannya dengan kepentingan kolektif. Namun, tawuran terjadi   begitu mahasiswa yang bertikai itu membawanya ke wilayah kolektif. Memotong Pertikaian semacam itu memang tidak masuk   akal, tetapi inilah realitas yang terjadi. Para petinggi kampus juga tak   kurang-kurang berupaya mengatasi masalah yang sangat memalukan itu. Di UNM   pernah dibuat ”Tembok Berlin” yang memisahkan fakultas teknik dengan fakultas   bahasa dan seni. Namun, upaya ini tidak cukup efektif. Unhas bahkan   memindahkan fakultas teknik ke daerah lain. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini   memang perlu diapresiasi. Namun, upaya yang lebih sistematis dan terintegrasi   harus terus-menerus dilakukan. Upaya ”memisahkan” kelompok mahasiswa yang   berkonflik, misalnya, pada akhirnya hanya bersifat temporer karena mereka   masih bisa bertemu di ruang lain yang lebih terbuka. Ujung dari semua upaya yang dilakukan   adalah bagaimana memotong reproduksi kekerasan yang melibatkan mahasiswa   sehingga tidak akan terulang di kemudian hari. Semua pemangku   kepentingan, mulai dari mahasiswa, alumni, dosen, komunitas lain yang   terakhir, harus sama-sama memiliki kesadaran bahwa konflik kolektif itu harus   menjadi catatan hitam dan catatannya harus ditutup. Semua pihak harus   menyadari bahwa kekerasan semacam itu tidak hanya tidak masuk akal, tetapi   juga akan merugikan diri sendiri, korps mahasiswa, dan institusi. Pandangan Negatif Seorang kawan dari Makassar dalam suatu   kesempatan bercerita tentang branding mahasiswa yang jelek di mata   masyarakat. Suatu hari seorang tukang becak mendapati dua kawannya sedang   bertikai dan hendak berkelahi. Tukang becak itu berkata kepada temannya,   ”Kalian bertengkar kayak mahasiswa saja!” Memang, memangkas reproduksi kekerasan   semacam itu tidak mudah dilakukan. Selain berkaitan dengan kegiatan dan   organisasi mahasiswa, pemangkasan itu juga tidak lepas dari kurikulum yang   kita ajarkan. Untuk kurikulum, misalnya, perlu kita   pikirkan untuk merumuskan ulang nilai-nilai keberagaman, toleransi (terhadap   perbedaan identitas dan keilmuan), dan resolusi konflik serta perdamaian di   dalam mata kuliah pengembangan kepribadian dengan melibatkan universitas dan   fakultas. Kurikulum semacam ini diharapkan bisa menjadi pembunuh semangat   kolektif yang tidak masuk akal selama ini. Melihat realitas bahwa pertikaian   antarmahasiswa di Makassar sering melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan   fakultas nonteknik, perlu dipikirkan penataan organisasi fakultas teknik. Di dua universitas itu, fakultas teknik   bercorak tunggal, melibatkan program studi dan mahasiswa yang cukup besar. Ke   depan perlu dipikirkan upaya memecah fakultas teknik ke dalam dua atau lebih   fakultas. Dengan demikian, kesadaran kolektif yang berlebihan di fakultas   yang bercorak macho tersebut bisa diredam dan tawuran pun dihentikan. ● |