Liku-liku Pembuatan Mesin Waktu
Pada tahun 1988, tiga orang fisikawan asal Amerika  Serikat mengajukan usulan serius pertama untuk membuat sebuah mesin  waktu. Mereka adalah Kip Thorne – dia juga seorang ahli kosmologi -  dan  Michael Morris dari Institut Teknologi Kalifornia dan Ulvi Yutsever  dari Universitas Michigan. Usulan itu berhasil mereka terbitkan dalam Physical Review Letters, suatu majalah ilmiah paling bergengsi di dunia. 
Kip Thorne
Lima Keberatan Baku
Untuk  mengatasi kesangsian komunitas ilmiah, Thorne dan rekan-rekannya harus  menyoroti keberatan baku terhadap pemakaian lubang cacing sebagai mesin  waktu. Ada lima keberatan yang harus mereka atasi.
Pertama,  forsa gravitasional di pusat sebuah lubang hitam begitu dahsyatnya  sehingga pesawat ruang angkasa apa pun akan dicabik-cabik. Secara  matematik, lubang hitam punya potensi sebagai mesin waktu; secara  praktis, lubang hitam tidak punya kegunaan.
Kedua,  lubang cacing boleh jadi tidak stabil. Gangguan-gangguan kecil dalam  lubang cacing bisa mengakibatkan jembatan Einstein-Rosen ambruk.  Artinya, adanya sebuah kapal ruang angkasa di dalam sebuah lubang hitam  akan cukup untuk menimbulkan suatu gangguan yang akan menutup pintu  masuk ke dalam lubang cacing. 
Ketiga, orang  yang bepergian dengan mesin waktu harus melaju lebih cepat dari  kecepatan rambatan cahaya untuk menerobos lubang cacing ke sisinya yang  lain.
Keempat, efek-efek kuantum akan begitu  besarnya sehingga lubang cacing bisa saja menutup dirinya sendiri.  Misalnya, radiasi padat-kental yang dipancarkan oleh masuknya mesin  waktu ke dalam lubang hitam tidak saja akan membunuh siapa pun yang  mencoba memasuki lubang hitam tapi juga bisa menutup pintu masuk ke  lubang hitam itu.
Kelima, waktu melambat dalam  sebuah lubang cacing dan berhenti total di pusatnya. Artinya, lubang  cacing punya ciri yang tidak diinginkan: kalau dilihat dari arah bumi,  seorang penumpang mesin waktu di ruang angkasa tampak melambat dan  berhenti total di pusat lubang hitam itu. Dia tampak seolah-olah dia  membeku dalam waktu. Dengan kata lain, jumlah waktu yang dibutuhkannya  untuk menembus sebuah lubang cacing menjadi ananta. Anggaplah bahwa  seseorang dengan satu dan lain cara bisa melewati pusat lubang cacing  dan kembali ke bumi. Distorsi waktu baginya akan begitu besar sehingga  jutaan atau bahkan miliaran tahun bisa berlalu di bumi.
Karena  kelima alasan itu, pemecahan dengan memakai lubang cacing sebagai jalan  pintas menembus waktu di alam semesta tidak pernah ditanggapi serius  oleh para fisikawan. Sampai Thorne, Morris, dan Yurtsever muncul dengan  usulan serius mereka dalam majalah ilmiah bergengsi tadi.
Upaya Mengatasi Kelima Keberatan Itu
Upaya  Kip Thorne untuk mengatasi kelima keberatan tadi makin kuat melalui  suatu cara yang paling aneh. Pada musim panas 1985, Carl Sagan,
Carl Sagan (1939-1996)
seorang  ilmuwan dan penulis tenar asal AS tapi berdarah Yahudi, mengirimkan  kepada Sagan konsep bukunya yang berikut, sebuah novel berjudul Contact. (Novel  yang sudah diterbitkan dan beredar luas secara internasional ini sudah  muncul juga dalam versi filmnya, dengan judul yang sama.) Novel ini  secara serius menjelajahi pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan politik  seputar kemungkinan mengadakan kontak dengan kehidupan lain di luar  angkasa. Setiap ilmuwan yang merenungkan pertanyaan tentang kehidupan di  luar angkasa harus menghadapi pertanyaan tentang bagaimana mengatasi  halangan cahaya. 
 
Contact, novel karya Carl Sagan yang memasukkan beberapa gagasan Kip Thorne dan kedua koleganya.
Teori  relativitas khusus Einstein secara gamblang melarang perjalanan yang  melebihi kecepatan cahaya. Ini berarti bepergian ke bintang-bintang yang  jauh dalam sebuah kapal ruang angkasa konvensional bisa membutuhkan  ribuan tahun, dan, dengan cara demikian, mengakibatkan perjalanan  antar-bintang menjadi tidak praktis. Karena Sagan ingin membuat bukunya  seilmiah dan secermat mungkin, dia menulis ke Thorne dan bertanya  padanya apakah ada cara apa pun yang bisa diterima secara ilmiah untuk  mengelak dari halangan cahaya itu.
Potret suatu potongan adegan dalam film “Contact” berdasarkan novel karya Carl Sagan, dengan judul yang sama.
Bekerja ke arah belakang
Permintaan  Sagan menimbulkan minat intelektual Thorne. Baginya, itulah suatu  permintaan yang jujur, secara ilmiah relevan, bersifat luar biasa, tapi  membutuhkan suatu jawaban yang serius.  Sifat yang tidak konvensional  dari permintaan Carl Sagan ternyata menguntungkan. Keuntungannya, Thorne  dan kedua koleganya mendekati permintaan Sagan menurut suatu cara yang  paling tidak lazim: mereka menanggapi permintaan itu dengan bekerja ke arah belakang.  Biasanya, fisikawan mulai dengan suatu benda astronomik tertentu yang  sudah diketahui – seperti sebuah bintang neutron, sebuah lubang hitam,  atau Dentuman Besar – lalu memecahkan persamaan-persamaan Einstein untuk  menemukan lengkungan ruang angkasa di sekitar benda-benda angkasa itu.  Kita ingat, inti persamaan-persamaan matematik Einstein adalah bahwa isi  materi dan energi suatu benda menetapkan jumlah lengkungan dalam ruang  dan waktu di sekitarnya. Kalau kita berangkat dengan cara ini, kita  mendapat jaminan akan menemukan pemecahan-pemecahan atas  persamaan-persamaan Einstein bagi benda-benda yang secara astronomik  relevan yang kita harap akan kita temukan dalam ruang angkasa.
Akan  tetapi, karena pertanyaan Sagan aneh, Thorne dan rekan-rekannya  mendekati pertanyaannya dengan bekerja ke arah belakang. Mereka mulai  dengan suatu gagasan yang kasar tentang apa yang ingin mereka temukan.  Mereka menginginkan suatu pemecahan atas persamaan-persamaan Einstein  yang di dalamnya seorang pelancong ruang angkasa tidak akan  dicabik-cabik oleh akibat-akibat dahsyat dari medan gravitasional yang  sangat kuat. Mereka menghendaki sebuah lubang cacing yang stabil dan  tidak tertutup secara tiba-tiba di tengah suatu perjalanan di ruang  angkasa. Mereka menghendaki sebuah lubang cacing yang di dalamnya waktu  yang dibutuhkan untuk pulang-pergi bisa diukur dalam hari, bukan jutaan  atau miliaran tahun di bumi, dan seterusnya. Sesungguhnya, azas yang  menuntun mereka adalah bahwa mereka menginginkan seseorang yang  bepergian di ruang angkasa mengalami perjalanannya yang menembus waktu  secara nyaman kembali ke bumi  sesudah kapal ruang angkasa yang dia  tumpangi memasuki lubang cacing. Begitu ketiga fisikawan itu memutuskan  seperti apa lubang cacingnya, barulah mereka mulai menghitung jumlah  energi yang dibutuhkan untuk menciptakan lubang hitam seperti itu.
“Peradaban yang  secara serampangan maju”
Dari  sudut-pandangnya yang tidak ortodoks, mereka secara khusus tidak peduli  apakah kebutuhan akan energi itu jauh melampaui kemampuan sains abad  ke-20 untuk menyediakannya. Bagi mereka, masalah ini adalah suatu  masalah teknik mesin atau rekayasa teknologis yang akan dipecahkan  melalui rancangan suatu mesin waktu oleh suatu peradaban masa depan.  Mereka ingin membuktikan bahwa gagasan ini secara ilmiah bisa  terlaksana, bukan karena ia ekonomis atau di dalam batas-batas sains di  bumi abad ke-20. 
Dalam majalah ilmiah yang  sudah disebutkan, mereka di antaranya menulis, “Kami mulai dengan  bertanya apakah hukum-hukum ilmu fisika mengizinkan suatu peradaban yang  secara serampangan maju membangun dan memelihara lubang-lubang cacing  untuk perjalanan antar-bintang.”
Tentu, frasa  kuncinya adalah “peradaban yang secara serampangan maju.” Hukum-hukum  ilmu fisika mengatakan kepada kita apa yang mungkin ada, bukan apa yang  praktis. Hukum-hukum ilmu fisika terlepas dari apa yang mungkin menjadi  ongkos untuk mengujinya. Jadi, apa yang secara teoritis mungkin ada bisa  melampaui produk nasional kotor planet bumi. Thorne dan kedua koleganya  berhati-hati untuk menyatakan bahwa peradaban imajinatif ini yang bisa  menambang tenaga lubang-lubang cacing haruslah “secara serampangan maju”  – yaitu, mampu melakukan semua eksperimen yang mungkin ada (sekalipun  eksperimen-eksperimen itu tidak praktis untuk penduduk bumi).
“Lubang cacing yang bisa dilintangi”
Mereka  bertiga sangat senang karena dengan begitu mudahnya mereka segera  menemukan suatu pemecahan yang secara mengejutkan sederhana yang  memenuhi semua kendala yang ketat. Itu sama sekali bukanlah sebuah  lubang hitam yang khas, jadi mereka tidak perlu kuatir tentang semua  masalah dicabik-cabik oleh sebuah bintang yang ambruk. Mereka menjuluki  pemecahannya “lubang cacing yang bisa dilintangi (transversible wormhole)”,  untuk membedakannya dengan pemecahan-pemecahan lubang cacing yang lain  yang tidak bisa dilintangi oleh kapal ruang angkasa. Mereka begitu  bersemangat karena pemecahannya sehingga mereka menulis kepada Sagan,  yang kemudian memasukkan beberapa gagasan mereka ke dalam novelnya. 
Suatu  gambar tentang pemakaian suatu lubang cacing sebagai suatu jalan pintas  untuk bepergian melalui ruang hiper dari Bumi ke Sirius, suatu sistem  bintang yang jarak sesungguhnya dari Bumi adalah 90 triliun kilometer!   Jarak antara Bumi dan sistem Sirius sejauh 8,6 tahun cahaya, bisa  dicapai dalam 8,6 tahun kalau orang bepergian dengan kapal ruang angkasa  yang melaju pada kecepatan cahaya. Tapi suatu lubang cacing melalui  ruang hiper antara Bumi dan Sirius bisa menyingkatkan secara luar biasa  perjalanan ke arah depan atau belakang dalam waktu.
Ternyata,  beberapa sifat lubang cacing yang digagaskan Thorne dan rekan-rekannya  agak mengejutkan. Suatu perjalanan melewati sebuah lubang cacing yang  bisa dilintangi bisa senyaman orang yang terbang dengan pesawat terbang  komersial. Forsa gravitasional maksimum yang dialami seorang penumpang  kapal ruang angkasa yang melewati sebuah lubang cacing tidak akan  melebihi 1 g. Dengan kata lain, bobotnya di kapal ruang angkasa  itu tidak akan melebihi bobotnya di bumi. Selanjutnya,  pelancong atau  petualang  luar angkasa itu tidak perlu kuatir tentang lubang cacing  yang tertutup selama perjalanannya. Sesungguhnya, lubang cacing Thorne  tetap terbuka. Alih-alih memakan waktu sejuta atau semiliar tahun, suatu  perjalanan di luar angkasa melalui lubang cacing yang bisa dilintangi  bisa dikendalikan. Morris dan Thorne menulis bahwa “perjalanan itu akan  benar-benar nyaman dan membuktikan sejumlah atau kira-kira 200 hari,”  atau “kurang dari itu.” 
Sejauh ini, Thorne  menyimak bahwa paradoks-paradoks waktu yang biasanya dijumpai seseorang  dalam film-film tidak ditemukan.  Misalnya, skenario-skenario film  rekaan ilmiah tentang orang yang pergi ke masa lampau dan membunuh  dirinya sendiri mengandaikan bahwa CTCs menghasilkan lintasan-lintasan (trajectories)  awal dengan multiplisitas nol. Artinya, lintasan-lintasan itu tidak  mungkin dihasilkan. Akan tetapi, Thorne sudah menunjukkan bahwa CTCs  yang muncul dalam lubang cacingnya sendiri tampaknya menggenapi masa lampau, bukan mengubahnya atau memulai paradoks-paradoks waktu.
Masalah yang Mengganjal
Tentu,  ada masalah yang mengganjal pada semua gagasan tadi, dan itulah salah  alasan mengapa kita tidak punya mesin waktu masa kini. Langkah terakhir  dalam perhitungan Thorne adalah menarik kesimpulan tentang hakekat  sesungguhnya dari materi dan energi yang perlu untuk untuk menciptakan  lubang cacing hebat karena bisa dilintangi ini. Thorne dan kedua  rekannya menemukan bahwa di pusat lubang cacing itu, harus ada suatu  bentuk materi “eksotik”, meskipun tidak lazim, tampaknya tidak melanggar  hukum-hukum ilmu fisika apa pun yang sudah diketahui. Secara hati-hati,  dia mengatakan pada suatu titik di masa depan, para ilmuwan bisa  membuktikan bahwa materi eksotik (aneh-aneh) tidak ada. Akan tetapi, di  masa kini (dasawarsa 1980-an), materi eksotik tampaknya adalah suatu  bentuk materi yang bisa diterima seluruhnya kalau ada yang  punya akses pada teknologi yang cukup maju. Secara meyakinkan, Thorne  menulis bahwa “dari sebuah lubang cacing tunggal suatu peradaban yang  maju secara serampangan bisa membuat suatu mesin untuk perjalanan  menembus waktu ke arah belakang.”
Itulah Liku-liku Pembuatan Mesin Waktu   ,
Semoga Menghibur dan Bermanfaat, 
Di Poskan Oleh : www.armhando.com . 
Berita Aneh,Unik,Lucu,Hot Terbaik dan Terbaru. 
[sumber;infoiptek21.blogspot.com]